Biografi Syekh Yusuf
Pada: January 05, 2012
Sejak kecil nama yang disandangnya adalah Yusuf. Dalam berbagai sumber, Syekh Yusuf dilahirkan pada tanggal 8 Syawal 1036 H atau 3 juli 1926 M di MoncongloE Gowa. Asal usul Syekh Yusuf sendiri masih diperselisihkan karena tidak adanya keseragaman dalam sumber-sumber yang mencatat hal itu. Bahkan dari seluruh sumber yang ada tidak satu pun yang memberikan identitas jelas tentang Syekh Yusuf, baik mengenai nama, asal, maupun silsilah keturunannya.
Menurut lontara Riwayana Turatea Salamaka ri Gowa versi Gowa, ibu Syekh Yusuf adalah putri Gallarang MoncongloE yang bernama Aminah, sedang ayahnya dikatakan seorang tua yang tidak diketahui asal kedatangannya, yang kemudian dianggap Nabi Khaidir. Ketika pasangan itu cerai, ibu Yusuf dinikahi oleh Raja Gowa (I Manggarani Daeng Marabia Sultan Abdullah, 1593-1639). Dalam versi yang lain disebutkan bahwa nama ayahnya adalah Abdullah Khaidir. Agaknya nama Khaidir dibelakan nama Abdullah (ayah Yusuf), inilah yang dapat diterima. Sebab kajian silsilah yang disimpan oleh anak cucunya di Makassar (Takalar dan Sudiang) terdapat catatan yang menyebutkan bahwa nama ayahnya Abdullah Khaidir.
Syekh Yusuf tumbuh di lingkungan istana bersama anak-anak raja lain. Sejak kecil ia memperoleh pendidikan Islam. Ia belajar al-Quran sampai khatam dari seorang guru bernama Daeng ri Tasammang. Kemudian dilanjutkan mempelajari Sharaf, Nahwu, Mantiq, dan kitab-kitab lainnya yang dipelajari dari Sayed bin Alwy bin Abdullah al-Allamah Thahir di Bontoala sebagai pusat pendidikan dan pengajaran Islam, Sejak tahun 1634. Dalam tempo beberapa tahun ia sudah tamat mempelajari kitab-kitab fikih dan tauhid, tetapi yang menarik perhatiannya hanya bidang mistik Islam, yaitu tarekat dan tasawuf.
Kemajuan yang dicapai dirasakan Syekh Yusuf belum memuaskan, sehingga ia berniat mencari ulama lain. Hal ini pula menjadi tradisi dalam pendidikan Islam, jika siswa dianggap cakap dan berbakat menerima ilmu, maka disarankan mencari ilmu ke tempat lain.
Dalam usia 15 tahun, Syekh Yusuf melanjutkan pelajarannya di Cekoang dengan berguru kepada Syekh Jalaluddin al-Aidit. Setelah kembali dari Cekoang, tahun 1645 Yusuf menikah dengan putri Raja Gowa, I Sitti Daeng Nisanga, yang hanya sempat digauli selama 40 hari (riwayat lain 6 bulan), karena ia harus segera belajar meninggalkan tanah asalnya untuk memulai pengembaraannya menuntut ilmu dan sekaligus menunaikan ibadah haji di Mekah, tepatnya pada tanggal 22 September 1645.
Keberangkatan Syekh Yusuf tidak langsung ke tanah suci, melainkan singgah di beberapa negeri seperti Banten, Acah, dan Yaman. Di Banten beliau sempat jalin persahabatan dengan putra mahkota waktu itu, yang kelak menjadi Sultan Banten dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Dari Banten ia berlayar ke Aceh. Di sana menemui Syekh Nuruddin Arraniry dan mempelajari tarekat Qadariyah sampai berhasil mendapatkan ijazah dari ulama besar itu. Dari Aceh ia meneruskan perjalanan ke Yaman mendapatkan Syekh Abdullah Muhammad Abdul Baqi dan menerima tarekat Naqsyabandiyah darinya. Di Negeri itu pula di Zubaid, ia menerima ijazah tarekat al-Sa’adah Ba’lawiyyah dari Sayyid Ali. Dari Yaman ia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Di sini ia memperoleh ijazah Tarekat Syattariyah dari Syekh Burhanuddin al- Mullah bin Syekh Ibrahim bin Husain bin Syihabuddin al-Madani.
Dari Madinah ia meneruskan perjalanannya ke Damaskus dan mengambil ijazah tarekat al-Khalwatiyah dan sekaligus gelar Taj al-Khalwati al-Quraiyi masih banyak tarekat lain yang diperoleh ijazah dari guru-guru yang disebutkan semuanya dari Syekh Yusuf dalam karangannya berjudul Safinat al-Najat. Dalam risalah Syekh Yusuf itu disebutkan bahwa penerima ijazah kelima tarekat tersebut dan sisilahnya adalah sebagai bukti bahwa ia juga termasuk pewaris dan berhak mengajarkannya.
Selain Safinah al-Najat, Syekh Yusuf juga menulis buku-buku antara lain: Bidayah al-Mubtadi, Muqaddimah, al-Fawaaid, Zubdatul Asraar, dan lain-lain. Dengan demikian semakin jelas bahwa Syekh Yusuf di bidang ini dapat dilihat dari lontara Riwayana Tuanta Salamaka ri Gowa Versi Gowa berupa ungkapan dalam bahasa Makassar, seperti yang dikutip oleh Abu Hamid sebagai berikut:
Tamparang Tanaya Sandakanna, Langik Tanaya Birinna, Kappalak Tanaya Gulinna.
Artinya: Laut tak dapat diduga, Langit yang tak berpinggir, Kapal yang tak berkemudi.
Sebelum pulang ke Nusantara Syekh Yusuf kawin dengan putri Imam Syafi’i yakni Imam Mesjid Haram di Mekkah pada masa itu, yang bernama Sitti Hadijah. Dari perkawinannya itu lahir seorang wanita yang diberi nama Sitti Sammang atau Puang Ammang (Lontarak RTSG Versi Tallo). Isterinya meninggal karena melahirkan, kemudian Syekh Yusuf menikah lagi di Jeddah dengan putri seorang Syekh di Jeddah, tanpa di sebutkan namanya. Dari perkawinan ini, lahir seorang anak laki-laki yang kemudian dikenal dengan nama Daeng Kare Sitaba.
Tidak begitu jelas Syekh Yusuf kembali ke Nusantara. Abu Hamid menyatakan bahwa dia kembali pada tahun 1664. Sedangkan sumber lain menyatakan tahun 1670. Penulis tidak bisa menentukan nama-nama yang benar, sebab sumber-sumber lain tidak memberitakan tahun kedatangan Syekh Yusuf. Tetapi, jika angka-angka tahun itu benar, berarti dia melewatkan antara 19 hingga 25 tahun dalam pelajaran menuntut ilmu. Ada juga riwayat-riwayat bertentangan mengenai apakah Syekh Yusuf kembali langsung ke tanah kelahirannya Gowa atau Banten.
Menurut pendapat pertama, ketika Syekh Yusuf kembali dari Arabia ke Gowa, dia mendapati ajaran-ajaran Islam tidak dipraktekkan penduduk Muslim, sisa-sisa kepercayaan setempat tidak Islami tetap merajalela, begitupun dengan perjudian dan minum arak. Syekh Yusuf menghimbau penguasa Gowa dan para bangsawan menghapuskan semua praktek yang tidak Islami itu, namun mereka berkeras mempertahan status quo. Maka setelah memberikan ijazah kepada beberapa murid kepercayaannya, seperti Syekh Nuruddin Abd al-Fattah Abd al-Bassir al-Darir (seorang yang buta), al-Raffani, Abd al-Qadir Fattah Karaeng Jeno. Syekh Yusuf menuju ke Banten di mana dia mulai karirnya dengan pesan agar murid-muridnya itu tetap melanjutkan pelajaran tasawuf dan tarekat, seperti yang telah diajarkan kepada mereka. Sebaliknya, pendapat kedua menyatakan bahwa Syekh Yusuf menetap di Banten ketika dia kembali ke Nusantara dan tidak pernah lagi ke Gowa.
Adapun riwayat tentang kembalinya Syekh Yusuf ke Gowa, didasarkan atas tradisi lisan yang telah diturunkan dari generasi ke generasi. Sulit memilih fakta dari mitos dalam sejarah lisan semacam itu, dan kita tidak mempunyai sumber-sumber tertulis untuk mendukungnya. Karena itu, lebih besar kemungkinan Syekh Yusuf langsung pergi ke Banten dan bukannya pergi ke Gowa.
Dia mungkin merencanakan singgah di Banten sebentar dalam perjalanannya pulang ke Gowa, tetapi perkembangan selanjutnya mendorongnya berubah pikiran, terlebih lagi setelah tali kekerabatannya dengan Sultan Ageng Tirtayasa tambah dipererat dengan jalan memperisterikan putri Sultan Ageng Tirtayasa. Jadi, ketika Syekh Yusuf kembali dengan membawa keunggulan keilmuan, Sultan Ageng dengan segala cara, termasuk lewat tali perkawinan berusaha untuk menahannya di Banten.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abu Hamid, Syekh Yusuf : Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994). Nabiah Lubis, Syekh Yusuf al-Taj al-Makassari, Menyingkap Intisari Segala Rahasia, (Bandung: Mizan, 1994). Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung : Mizan, 1994). Tudjimah, Syekh Yusuf Makassar, Riwayat dan Ajarannya. (Jakarta : UI Press, 1997). Andi Rasdiyanah Amir (ed), Bugis-Makassar dalam Peta Islamisasi Indonesia, (Ujungpandang : IAIN Alauddin, 1982)