Pengertian Sunnatullah
Pada: February 01, 2013
Kata sunnatullah dari segi bahasa terdiri dari kata sunnah dan Allah. Kata sunnah antara lain berarti kebiasaan. Sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan Allah dalam memperlakukan masyarakat. Dalam al-Quran kata sunnatullah dan yang semakna dengannya seperti sunnatina atau sunnatul awwalin terulang sebanyak tiga belas kali.
Sunnatullah adalah hukum-hukum Allah yang disampaikan untuk umat manusia melalui para Rasul, undang-undang keagamaan yang ditetapkan oleh Allah yang termaktub di dalam al-Quran, hukum (kejadian) alam yang berjalan tetap dan otomatis.
Sunnatullah menurut pakar teologi, seperti yang dikatakan oleh Mulyadi Kartanegara bahwa alam diatur melalui apa yang oleh al-Quran disebut sebagai sunnatullah. Sunnatullah menurut hemat saya berbeda dengan hukum alam (natural law), karena sementara hukum alam tidak mengizinkan suatu pengertian kreatifitas apapun, sunnatullah memberikannya. Sunnatullah adalah kebiasaan atau cara Allah dalam menyelenggarakan alam. Sunnah mengandaikan sebuah kebiasaan (adat, menurut istilah al-Ghazali).
Dalam hukum alam, kemungkinan mukjizat tidak mendapat tempat, sementara dalam sunnatullah, kemungkinan tersebut tidak dinafikan. Kalau hukum alam mengandaikan sebuah aturan yang tidak mungkin dilanggar, dalam sunnah atau adat pelanggaran terhadap kebiasaan tidak menimbulkan sesuatu yang mustahil. Justru adanya kekecualian atau penyimpangan maka adat menjadi adat atau sunnah dan bukan sebuah hukum yang tidak bisa dirubah.
Sunnatullah berlaku secara umum di alam semesta ini, yang menyebabkan adanya kesan keteraturan di dalamnya, sehingga alam semesta disebut kosmos bukan chaos. Tetapi pada level yang lebih tinggi tindak kreatifitas Tuhan mempunyai batas-batas determistik dunia mekanik. Kalau pada level dunia normal, hukum mekanik menjadi ciri yang dominan maka pada level sub atomic hukum mekanik tidak berlaku lagi pada prinsip indeterminisme yang justru dominan.
Sebagian orang berpendapat bahwa hukum alam mendahului hukum Tuhan. Yang pertama dianggap berubah menjadi yang kedua, ketika manusia mengambilnya, maka dia menisbahkan hukum alamnya kepada Tuhan, dan keyakinannya mengkristalkan bahwa dia berhutang budi pada wujud, sistem dunia, dan kaidah-kaidah kemasyarakatannya pada kekuatan transenden yang gaib. Menurut keyakinan ini, tidak ada artinya bagi manusia untuk memperoleh dari dirinya dan tidak ada hukum yang dia lahirkan sendiri. Manusia memiliki tujuan yang melampaui dirinya, manusia tidak merealisasikan wujudnya kecuali dengan meraih tujuan gaib dan telah ditakdirkan ini.
Pengikut hukum alam dan pengikut hukum Tuhan mencapai titik temu, terlepas dari perbedaan keduanya. Jadi hukum alam adalah imanen sedangkan hukum Tuhan adalah transenden.
Dalam alam pertentangan, perkelahian, dan konflik adalah abadi. Manusia hanya tunduk pada kecenderungan-kecenderungannya dan hanya taat pada dirinya, dan tidak berjalan kecuali demi eksistensinya di hadapan pihak lain. Hukum alam adalah penetapan diri pada batas yang lebh tinggi, dan ia adalah yang benar yang tidak terbatas dalam segala hal yang diinginkan, dijauhi dan dikuasai atau diraih oleh manusia, sebagaimana dikatakan sebagai yang benar atas segala hal.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Lentera Hati, Jakarta, 2002). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, Jakarta, 1992).