Perbandingan Antara Kisah al-Quran dengan Riwayat Taurat dan Injil
Pada: July 07, 2011
Walaupun didapatkan adanya kemiripan dalam beberapa kisah antara Taurat dan al-Quran, tidaklah hal ini berarti bahwa al-Quran mengadopsi Taurat atau bahwasannya al-Quran merupakan bentuk salinan dari Taurat, melainkan disebabkan karena Taurat pada asalnya merupakan sebuah kitab suci samawi dan bahwasannya Islam mempercayai Musa sebagai seorang nabi, rasul dan kalim Allah sebagaimana telah diturunkan kepadanya lembaran-lembaran (shahiifah) dan Taurat, akan tetapi perjalanan sejarah menyatakan bahwa apa yang telah diturunkan kepada Nabi Musa telah banyak didistorsi oleh kaumnya sendiri sehingga selaras dengan propaganda-propaganda yang mereka canangkan. Mereka mengklaim setelah itu bahwasannya ia merupakan Taurat yang pernah diturunkan Tuhan kepada Nabi Mûsâ: “Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka, mereka tidak mengatakan ‘sesuatu’ kecuali dusta” (18:5).
Perbandingan Antara Kisah al-Quran dengan Riwayat Taurat dan Injil
Akan lebih obyektif kalau kita lakukan sebuah studi komparatif antara kisah al-Quran dengan yang semisalnya dalam Taurat dan Injil dalam upaya untuk membuktikan adanya perbedaan-perbedaan yang karakternya fundamental antara keduannya disamping untuk meyakinkan bahwasannya sumber-sumber yang pertama sama sekali tidaklah berlandaskan kepada yang kedua sebagaimana yang diyakini dan disimpulkan oleh mayoritas orientalis (bahkan dari mereka-mereka yang fanatik) bahwasannya Rasulullah saw tidaklah pernah membaca Taurat atau buku lain dari buku-buku Ahli Kitab.
Sebagai satu contoh dari perbandingan diatas adalah dalam konteks siapakah yang dijadikan korban oleh Nabi Ibrahim di antara kedua anaknya tatkala turun perintah dari Tuhan untuk menyembelih anaknya? Sebuah pertanyaan yang jawabannya sampai saat ini masih menjadi polemik antara kaum Yahudi dan Nasrani di satu pihak dan agama Islam pada pihak yang lainnya.
Pandangan Yahudi dan Nasrani
Kaum Yahudi dan Nasrani menyatakan bahwasannya dari kedua anak Nabi Ibrahim yang dijadikan sebagai tumbal adalah Ishak, bukanlah Ismail sebagaimana yang diyakini oleh Islam. Polemik ini kalau kita lihat dari sisi historis agama yahudi akan terlihat jelas bahwasannya perbedaan pandangan di atas memiliki sisi-sisi lain yang lebih signifikan daripada sisi historis, hal ini dalam pandangan mereka dikarenakan menyangkut permasalahan siapakah yang memiliki presedensi (hak lebih tinggi) untuk menjadi al-Sya‘b al-Mau‘uud (bangsa yang dijanjikan)? Disamping kisah pengorbanan di atas juga sebagai sebuah upaya koroborasi (penguat) siapakah diantara kedua keturunan (Ishak : “Bani Israil”dan Ismâ‘îl: “Arab”) yang lebih tinggi derajatnya?
Demikianlah ideologi yang diyakini oleh penganut Yahudi dan Nasrani, bahwasannya Ishaklah yang dijadikan sebagai tumbal oleh sang bapak guna memenuhi perintah Tuhannya, adapun diantara beberapa faktor yang dijadikan pijakan bagi mereka dalam hal ini adalah:
- Sebuah riwayat dalam kitab Taurât: “Bawalah anak satu-satumu yang engkau sayangi Ishak dan pergilah ke tempat penyembelihan kemudian angkatlah dia dalam keadaan tersembelih ke sebuah gunung yang telah Aku tunjukkan kepadamu”.
- Sebuah riwayat dalam kitab Injil: “Dengan penuh keimanan, Ibrahim sembahkan anak satu-satunya Ishak sedangkan ia saat itu sedang dalam keadaan teruji . . .”
Apabila kita hendak mendiskusikan kedua argumen diatas, maka ada beberapa dalih dan pernyataan yang kami anggap cukup representatif guna mengcounter kedua argumen tersebut, di antaranya adalah:
- Pernyataan bahwasannya sang tumbal adalah Ishak dan merupakan anak Ibrahim satu-satunya merupakan sebuah pernyataan yang tidak akurat apabila ditinjau dari sisi historis kecuali apabila ditujukan kepada Ismail dalam empat belas tahun pertama dari umurnya, hal ini dikarenakan ia lahir lebih dahulu dari Ishak.
- Bagaimana mungkin Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih Ishak dimana pada saat yang sama ia merupakan anak yang dijanjikan akan lahir darinya sebuah bangsa yang dijanjikan, sebuah kontradiksi yang mustahil untuk diharmonisasikan antara keduanya, dimana problematika ini baru akan sirna jikalah Ishak telah tumbuh dewasa dan dianugerahi seorang anak untuk melestarikan keturunannya pada generasi-generasi selanjutnya.
Dalam upaya untuk memberikan solusi dari problematika diatas ada sebuah interpretasi baru yang digagas oleh para pemuka agama Nasrani yang menyatakan bahwasannnya disaat Tuhan memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih Ishak sesungguhnya telah terdetik dalam diri Ibrahim bahwasannya Tuhan berkuasa untuk menghidupkan kembali hambanya yang telah meninggal. Sesungguhnya solusi permasalahan diatas disamping merupakan hal yang baru dan belum terpikirkan oleh para pemuka agama Yahudi, juga tidak luput dari sebuah kepincangan yaitu rendahnya kualitas pengorbanan Ibrahim dan rasa kepatuhan kepada Tuhan, hal ini dikarenakan keyakinannya bahwasannya Tuhan hendak mengembalikan kehidupan kepada anaknya (Ishak) setelah beliau melakukan penyembelihan terhadapnya.
Demikianlah, adapun kesimpulan yang bisa kita tarik dari paparan di atas adalah bahwasannya kisah al-Quran bukanlah merupakan naskah imitasi atau salinan dari apa yang aslinya tertulis dalam Taurat maupun Injil, baik itu secara global maupun terperinci, hal ini dikarenakan kita dapatkan perbedaan persepsi yang cukup mendasar antara apa yang tersebut di dalam al-Quran pada satu sisi serta Taurat dan Injil pada sisi yang lainnya, walaupun dalam beberapa tempat kita dapatkan kesamaan antara keduanya.
Terdapat bukti lain yang menguatkan pendapat bahwasannya bangsa Arab mendapatkan sesuatu yang baru dalam kisah al-Quran, yaitu, bahwasannya diantara mereka seperti Nadr bin Harist dalam beberapa kesempatan datang ke tempat perkumpulan khalayak ramai untuk menceritakan beberapa kisah tentang Parsi dan Romawi atau Arab sekalipun dalam upaya untuk memalingkan penduduk Makkah dari pengaruh al-Quran, atas dasar itulah turun firman Tuhan dalam surat Luqman: 6,
“Dan diantara manusia ‘ada’ orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan ‘manusia’ dari jalan Allah tanpa berdasarkan pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu sebagai olok-olokan, mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan”.Jikalau bangsa Arab tidak mendapatkan hal yang baru dalam kisah al-Quran, tentulah mereka tidak membutuhkan dan akan memperdulikannya. Bahkan kisah-kisah al-Quran yang berhubungan dengan Ahli Kitab sekalipun sesungguhnya para Ahli Kitab sendiri mendapatkan sesuatu yang baru darinya, atas dasar itulah ada asumsi yang menyatakan bahwasannya bangsa Arab telah mengetahui hakekat kisah al-Quran merupakan sebuah gagasan yang menarik untuk kita diskusikan, dimana pemikiran diatas bisa jadi terilhami dari niat baik yang berupa pengokohan akan peradaban Arab sebelum Islam atau bahkan malah sebaliknya guna merendahkan apa yang dibawa oleh al-Quran, akan tetapi, walau bagaimanapun juga, dalam hal ini merupakan langkah yang tepat kalau kita merujuk kepada al-Quran tanpa dibarengi dengan tendensi hawa nafsu maupun fanatisme kesukuan dan jauh dari persangkaan-persangkaan yang tidak beralasan, karena sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai sebuah kebenaran (53:28).
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber