Manajemen Kultur Pesantren
Pada: July 12, 2011
Kultur pesantren dengan keunikannya masih diharapkan menjadi penopang berkembangnya sistem pendidikan di Indonesia. Keaslian dan kekhasan pesantren di samping sebagai khazanah tradisi budaya bangsa, juga merupakan kekautan penyangga pilar pendidikan untuk memunculkan pemimpin bangsa yang bermoral.
Manajemen Kultural dalam manajemen kultur pesantren sebagai model manajemen keenam merupakan manajemen yang menggunakan nilai-nilai (keyakinan/kepercayaan) sebagai dasar pengembangan organisasi, termasuk pendidikan (sekolah) tidak dapat dikelola secara struktural/birokratis yang lebih menekankan pada perintah atasan, pengarahan, dan pengawasan, karena dapat terjadi anggota organisasi hanya bekerja apabila ada perintah dan pengawasan. Setiap orang bekerja dengan dasar nilai (keyakinan) yang mendorong adanya keterlibatan emosional, sosial, dan pikiran demi melaksanakan tugas pekerjaannya.
O’Neil (1994: 105) merujuk pada ungkapan Deal (1988) tentang beberapa elemen kultur yang dibuat dalam beberapa variasi cara:
- Nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang diekspresikan dalam bentuk tertulis.
- Pahlawan pria/wanita yang melambangkan perilaku organisasi dan kualitas personal yang diinginkan.
- Ritual yang mengarahkan semua anggotanya untuk bersama-sama memperkuat nilai-nilai inti.
- Upacara-upacara yang merayakan nilai-nilai tersebut.
- Kisah-kisah yang mengkomunikasikan dan meluaskan filosofi dan praktek yang berarti.
- Suatu jaringan pelaku kultural informal yang bersedia untuk menjaga kultural dalam menghadapi tekanan-tekanan perubahan.
Salah satu basis kultural pesantren adalah bentuk pendidikan pesantren yang bercorak tradisionalisme. Menurut Mochtar Buchori (1989), pesantren merupakan bagian struktural internal pendidikan Islam di Indonesia yang diselenggarakan secara tradisional yang telah menjadikan Islam sebagai cara hidup. Sebagai bagian struktur internal pendidikan Islam Indonesia, pesantren mempunyai kekhasan, terutama dalam fungsinya sebagai institusi pendidikan, di samping sebagai lembaga dakwah, bimbingan kemasyarakatan, dan bahkanperjuangan. Mukti Ali (1987) mengindetifikasikan beberapa pola umum pendidikan Islam tradisional sebagai berikut:
- Adanya hubungan yang akrab antara kyai dan santri.
- Tradisi ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap kyai.
- Pola hidup sederhana (zuhud).
- Kemandirian atau independensi.
- Berkembangnya iklim dan tradisi tolong-menolong dan suasana persaudaraan.
- Displin ketat.
- Berani menderita untuk mencapai tujuan.
- Kehidupan dengan tingkat religiusitas tinggi.
Dari pendapat di atas, nampak sekali bahwa pola tradisionalisme merupakan basis kultur pesantren yang menjadikan keunikan tersendiri bagi pesantren. Kalau kita kaitkan dengan manajemen kultur, maka pola pendidikan tradisionalisme di pesantren merupakan basis nilai-nilai, keyakinan, dan budaya, yang dapat dijadikan dasar pengembangan manajemen kultur di pesantren. Misalnya: hubungan akrab antar kyai dan santri, ibarat hubungan antara ayah dan anak. Hubungan akrab ini bisa mendorong keterlibatan emosional kyai dan santri untuk mengembangkan pesantren bersama-sama, apalagi hal ini didukung oleh sikap ketundukkan dan kepatuhan seorang santri pada kyainya. Sikap inilah yang akan mendukung keberhasilan kepemimpinan seorang kyai di pesantren.
Sisi positif (kelebihan) dari lembaga pendidikan pesantren adalah walaupun dipimpin oleh seorang kyai secara otokratif, akan tetapi watak inklusifnya begitu mendalam. Kebersahabatannya dengan budaya lokal telah berhasil memperkokoh funda-mentasi kebangsaan. Maka tidak heran pesantren menjadi akulturasi kebudayaan antar daerah. Berkenaan dengan ini, tipe kepemimpinan pesantren memiliki watak pemersatu. Daulat P. Tampubolon (2001) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan pemersatu berarti mampu mempersatukan semua unsur dan potensi yang berbeda-beda sehingga menjadi kekuatan sinergis yang bermanfaat bagi semua pihak.
Kaitannya dengan gejala modernitas dan perkembangan ilmu pengetahuan (the rise of educations), sebaiknya sikap otokrasi dalam kepemimpinan seorang kyai dikurangi dan lebih mengedepankan sikap “mengayomi” santri dengan nilai-nilai, budaya maupun keyakinan agama sebagai basis manajemen kultur di pesantren. Sikap otokrasi akan menghasilkan peserta didik yang tidak kritis dan jumud (kaku) dalam pemikiran. Padahal, perkembangan ilmu pengetahuan membutuhkan keterbukaan dan partisipasi aktif antara peserta didik dengan seorang kyai atau guru. Model pembelajaran bukan kyai-centered tapi santri-centered.
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber