Biografi TM Hasbi Ash-Shiddieqy; Ahli Fikih Indonesia
Pada: August 04, 2011
Mencatat penggagas awal dalam sejarah adalah suatu kewajiban, demi tegaknya kebenaran sejarah. Karena mengetahui Biografi Hasbi, akan melengkapi pemahaman tentang konsep fikih Indonesia.
Fikih Indonesia sendiri, yaitu fikih yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabiat dan watak Indonesia. Fikih dalam kerangka demikian, pada mulanya digagas oleh Hasbi Ash-Shiddieqy, namun ketika itu pula ia mendapat tantangan terutama antara tahun 1940-1960. Setelah tahun-tahun itu berlalu, suara-suara yang menyatakan masyarakat (muslim) Indonesia memerlukan “fikih Indonesia” terdengar kembali. Namun sangat disayangkan, mereka enggan menyebut siapa penggagas awalnya.
Hasbi Ash-Shiddieqy bernama lengkap Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, lahir di Lhokseumawe, Aceh Utara, pada 10 Maret 1904. Ayahnya bernama al-Haj Tengku Muhammad Husen ibn Muhammad Su’ud, menduduki jabatan Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi di Simeuluk Samalanga Aceh, sedangkan ibunya bernama al-Hajjah Tengku Amrah, adalah putri Tengku Abdul Aziz.
Pada awalnya, Hasbi Ash-Shiddieqy belajar qira'ah dan tajwid serta dasar-dasar tafsir dan fikih pada ayahnya sendiri, dan dalam usianya 8 (delapan) tahun ia telah khatam mengaji al-Quran. Setelah memperoleh ilmu-ilmu keagamaan dari ayahnya, ia nyantri di pesantren-pesantren. Pada tahun 1912, ia nyantri di pesantren Tengku Piyeung; pada tahun 1913 ia nyantri di pesantren Bluk Bayu; pada tahun 1914, ia nyantri di pesantren Blang Kabu; pada tahun 1916, nyantri di pesantren Tengku Idris; pada tahun 1918 di pesantren Tengku Chik Hasan.
Selanjutnya, pada tahun 1920 dari Tengku Chik Hasan Kruengkale, TM. Hasbi Ash-Shiddieqy memperoleh syahadah sebagai pernyataan bahwa ilmunya telah cukup dan berhak untuk membuka pesantren sendiri.
Pada tahun 1926, Hasbi Ash-Shiddieqy bersama Syaikh al-Kalāli, berangkat ke Surabaya, untuk melanjutkan pendidikan di Perguruan al-Irsyād. Setelah di tes, ia dapat diterima di jenjang takhaşşuş. Setelah belajar di al-Irsyad, ia mengembangkan dan memperkaya diri dengan ilmu melalui belajar sendiri (otodidak). Baginya, buku adalah guru terbaik.
Pada tahun 1960 Hasbi Ash-Shiddieqy memperoleh dua gelar Doktor Honoris Causa sekaligus. Dr. HC, pertama ia peroleh dari Unisba (Universitas Bandung) dan Dr. HC yang kedua ia terima dari PTAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang sekarang ini telah berubah status menjadi UIN Sunan Kalijaga. Dengan penganugerahan Dr. HC ini, Hasbi kemudian mengajar beberapa mata kuliah di kedua Perguruan Tinggi Tersebut.
Pada tahun 1966, Hasbi Ash-Shiddieqy dikukuhkan sebagai Guru Besar di PTAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN) dalam bidang keilmuan Hadis dan Hukum Islam. Selanjutnya, ia menjabat Dekan pada Fakultas Syariah sampai tahun 1972.
Hasbi Ash-Shiddieqy juga mengajar dan memangku jabatan struktural pada Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi Islam Swasta. Dalam hal ini, pada tahun 1961 sampai 1971, dia juga menjabat Rektor Universitas Al-Irsyad Surakarta; pada tahun 1964, ia mengajar di Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta; pada tahun 1967 ia mengajar dan menjabat Dekan Fakultas Syari’ah Unissula (Universitas Islam di Sultan Agung) di Semarang.
Di samping itu, Hasbi juga pernah terpasang namanya sebagai dosen di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, dalam kurun waktu tahun 1960-an. Memasuki tahun 1975 Hasbi Ash-Shiddieqy menjalani perawatan inaf (opname) di Rumah Sakit Islam Jakarta, dan tepatnya pada hari Senin, 9 Desember 1975, pukul 17.45, Hasbi wafat. Jika kembali ditelusuri tahun kelahirannya (1904) dan tahun wafatnya (1975), maka diketahui bahwa Hasbi berusia 71 tahun.
TM Hasbi Ash-Shiddieqy telah banyak mewariskan berbagai karya ilmiah, dan telah mencetak generasi ulama dan intelektual fikih Indonesia. Murid-murid Hasbi yang perlu dicatat di sini adalah Ali Hasjmiy, Ismail Ya’qub, Nouruzzaman Shiddieqy, Rasdiyanah Amir, dan selainnya. Sepeninggal Hasbi Ash-Shiddieqy, muncul sebuah buku yang berjudul Fikih Indonesia; Penggagas dan Gagasannya yang ditulis Nourouzzaman Shiddiqi. Buku ini, menempatkan Hasbi sebagai tokoh utama penggagas fikih yang berwawasan Indonesia. Pikiran-pikiran dan tulisan Hasbi mengenai “konsep fikih Indonesia” yang terserak-serak dalam lebih dari 100 judul, besar dan kecil, termuat intisarinya dalam buku tersebut.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Baso Midong, Riwayat Hidup TM. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam “Tesis Magister”, Kualitas Hadis Tafsir al-Nur Karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, (Ujung pandang: PPS IAIN Alauddin, 1994). Nourouzzaman Shiddiqi, Fikih Indonesia; Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).
Fikih Indonesia sendiri, yaitu fikih yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabiat dan watak Indonesia. Fikih dalam kerangka demikian, pada mulanya digagas oleh Hasbi Ash-Shiddieqy, namun ketika itu pula ia mendapat tantangan terutama antara tahun 1940-1960. Setelah tahun-tahun itu berlalu, suara-suara yang menyatakan masyarakat (muslim) Indonesia memerlukan “fikih Indonesia” terdengar kembali. Namun sangat disayangkan, mereka enggan menyebut siapa penggagas awalnya.
Hasbi Ash-Shiddieqy bernama lengkap Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, lahir di Lhokseumawe, Aceh Utara, pada 10 Maret 1904. Ayahnya bernama al-Haj Tengku Muhammad Husen ibn Muhammad Su’ud, menduduki jabatan Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi di Simeuluk Samalanga Aceh, sedangkan ibunya bernama al-Hajjah Tengku Amrah, adalah putri Tengku Abdul Aziz.
Pada awalnya, Hasbi Ash-Shiddieqy belajar qira'ah dan tajwid serta dasar-dasar tafsir dan fikih pada ayahnya sendiri, dan dalam usianya 8 (delapan) tahun ia telah khatam mengaji al-Quran. Setelah memperoleh ilmu-ilmu keagamaan dari ayahnya, ia nyantri di pesantren-pesantren. Pada tahun 1912, ia nyantri di pesantren Tengku Piyeung; pada tahun 1913 ia nyantri di pesantren Bluk Bayu; pada tahun 1914, ia nyantri di pesantren Blang Kabu; pada tahun 1916, nyantri di pesantren Tengku Idris; pada tahun 1918 di pesantren Tengku Chik Hasan.
Selanjutnya, pada tahun 1920 dari Tengku Chik Hasan Kruengkale, TM. Hasbi Ash-Shiddieqy memperoleh syahadah sebagai pernyataan bahwa ilmunya telah cukup dan berhak untuk membuka pesantren sendiri.
Pada tahun 1926, Hasbi Ash-Shiddieqy bersama Syaikh al-Kalāli, berangkat ke Surabaya, untuk melanjutkan pendidikan di Perguruan al-Irsyād. Setelah di tes, ia dapat diterima di jenjang takhaşşuş. Setelah belajar di al-Irsyad, ia mengembangkan dan memperkaya diri dengan ilmu melalui belajar sendiri (otodidak). Baginya, buku adalah guru terbaik.
Pada tahun 1960 Hasbi Ash-Shiddieqy memperoleh dua gelar Doktor Honoris Causa sekaligus. Dr. HC, pertama ia peroleh dari Unisba (Universitas Bandung) dan Dr. HC yang kedua ia terima dari PTAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang sekarang ini telah berubah status menjadi UIN Sunan Kalijaga. Dengan penganugerahan Dr. HC ini, Hasbi kemudian mengajar beberapa mata kuliah di kedua Perguruan Tinggi Tersebut.
Pada tahun 1966, Hasbi Ash-Shiddieqy dikukuhkan sebagai Guru Besar di PTAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN) dalam bidang keilmuan Hadis dan Hukum Islam. Selanjutnya, ia menjabat Dekan pada Fakultas Syariah sampai tahun 1972.
Hasbi Ash-Shiddieqy juga mengajar dan memangku jabatan struktural pada Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi Islam Swasta. Dalam hal ini, pada tahun 1961 sampai 1971, dia juga menjabat Rektor Universitas Al-Irsyad Surakarta; pada tahun 1964, ia mengajar di Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta; pada tahun 1967 ia mengajar dan menjabat Dekan Fakultas Syari’ah Unissula (Universitas Islam di Sultan Agung) di Semarang.
Di samping itu, Hasbi juga pernah terpasang namanya sebagai dosen di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, dalam kurun waktu tahun 1960-an. Memasuki tahun 1975 Hasbi Ash-Shiddieqy menjalani perawatan inaf (opname) di Rumah Sakit Islam Jakarta, dan tepatnya pada hari Senin, 9 Desember 1975, pukul 17.45, Hasbi wafat. Jika kembali ditelusuri tahun kelahirannya (1904) dan tahun wafatnya (1975), maka diketahui bahwa Hasbi berusia 71 tahun.
TM Hasbi Ash-Shiddieqy telah banyak mewariskan berbagai karya ilmiah, dan telah mencetak generasi ulama dan intelektual fikih Indonesia. Murid-murid Hasbi yang perlu dicatat di sini adalah Ali Hasjmiy, Ismail Ya’qub, Nouruzzaman Shiddieqy, Rasdiyanah Amir, dan selainnya. Sepeninggal Hasbi Ash-Shiddieqy, muncul sebuah buku yang berjudul Fikih Indonesia; Penggagas dan Gagasannya yang ditulis Nourouzzaman Shiddiqi. Buku ini, menempatkan Hasbi sebagai tokoh utama penggagas fikih yang berwawasan Indonesia. Pikiran-pikiran dan tulisan Hasbi mengenai “konsep fikih Indonesia” yang terserak-serak dalam lebih dari 100 judul, besar dan kecil, termuat intisarinya dalam buku tersebut.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Baso Midong, Riwayat Hidup TM. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam “Tesis Magister”, Kualitas Hadis Tafsir al-Nur Karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, (Ujung pandang: PPS IAIN Alauddin, 1994). Nourouzzaman Shiddiqi, Fikih Indonesia; Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).