Kedudukan Anak Luar Nikah
Pada: August 02, 2011
Undang-undang Perkawinan atau Aturan pelaksanaannya yang merupakan hukum positif kita yang berlaku sekarang ini adalah Undang-undang No. 1 Tahun 1974 (L.N. No. 1/1974.TLN. Nomor 3019) dan peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (L.N. Nomor 12/1975. TLN. Nomor 3050).Khusus mengenai status (kedudukan) anak yang diatur di dalam Bab IX pasal 42. pasal 43 dan pasal 44 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sedangkan peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak mengatur sama sekali tentang status (kedudukan) anak.
Pasal 42 berbunyi:
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.
Dalam penjelasannya dinyatakan cukup jelas oleh pembuat undang-undang.
Selanjutnya pasal 43 berbunyi:
- Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
- Kedudukan anak pada ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Dalam penjelasannya dinyatakan cukup jelas oleh pembuat undang-undang. Pada akhirnya pasal 44 berbunyi :
Seorang suami dapat mengangkat sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzinah dengan anak itu akibat dari pada perzinahan tersebut. Pengadilan memberi keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Dalam penjelasannya dinyatakan cukup jelas oleh pembuat undang-undang. Yang perlu mendapat perhatian kita untuk dibahas dalam hal ini ialah pasal 43 ayat (1) dan ayat (2).
Ayat (1) menyatakan bahwa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Dalam masalah ini tidak perlu dipersoalkan tentang siapa ayah anak itu secara biologis karena mungkin ayahnya tidak mau mengakuinya. Bagi lingkungan masyarakat yang menganut garis keturunan kebapakan (patriliniar) yang menggunakan nama marga atau fam maka selanjutnya anak itu menggunakan nama marga atau fam ibunya (marga atau fam ayah dari ibunya).
Pada umumnya masyarakat bangsa kita, memahami dan menerima keadaan ini sebagai suatu hal yang suadh sewajarnya demikian, sehingga tidak perlu dipersoalkan.
Menurut hemat penulis keadaan yang demikian telah memenuhi isi ketentuan pasal 43 ayat (1) tersebut di atas tadi. Persoalan akan menjadi lain, apabila sepasang laki-laki dan perempuan yang masih dalam tahap hubungan pertunangan ataupun sementara pacaran telah melangkah lebih jauh sehingga belum tiba saatnya mereka melangsungkan perkawinan secara sah menurut hukum telah terlebih dahulu lahir seorang ataupun beberapa orang anak. Maka timbullah persoalan bagaimana dengan anak-anak yang dilahirkan sebelum perkawinan tersebut ? hal ini harus dijawab secara yuridis (menurut hukum).
Pasal 43 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa :
Kedudukan anak tersebut ayat (1) yaitu : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah”.
Kalau yang dimaksudkan dengan pembuat Undang-undang dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan dalalam pasal 43 ayat (1) tersebut yang status (kedudukan) hanya mempunyai hubungan hukum (hubungan perdata) dengan ibunya dan keluarga ibunya yang tidak diikuti lagi dengan perkawinan yang sah oleh ayah/ibu biologisnya di kemudian hari, maka tidak perlu dipersoalkan dan diatur dengan peraturan lebih lanjut, oleh karena secara umum masyarakat bangsa kita telah menerima keadaan ini sebagai suatu yang wajar (sudah seharusnya) demikian, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas.
Lain halnya apabila anak-anak yang dilahirkan diluar perkawinan itu, kemudian diikuti dengan perkawinan yang sah oleh ayah dan ibu biologisnya maka timbullah persoalan/permasalahan bagaimana status (kedudukan) anak-anak itu selanjutnya.
Apalagi jika kedua suami/isteriitu meminta supaya anak-anak itu dijadikan menjadi anak yang sah dalam perkawinan mereka. Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak dapat memberikan jawaban atas hal ini atau dengan kata lain belum mengaturnya.
Apakah Peraturan Pemerintah yang dijanjikan dalam pasal 43 ayat (2) tersebut akan mengaturnya lebih jauh, belum dapat ditentukan sekarang ini, namun demikian harapan penulis, Peraturan Pemerintah yang dimaksud kelak dapat mengatur hal tersebut, karena sepanjang pengetahuan penulis Peraturan Pemerintah yang dimaksud sampai sekarang belum ada.
Undang-undaang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 1975 kini telah berusia kurang lebih 20 tahun dan selama 20 tahun tersebut dalam pelaksanaannya sudah tentu hal yang dikemukakan di atas pernah diketemukan oleh para pelaksananya, khususnya pegawai catatan sipil dan hakim pengadilan negeri. Tetapi bagaimana para pelaksana Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat memberikan jawaban dalam menyelesaikan hal ini dalam praktek, sampai sekarang nampaknya belum dipermasalahkan.
Menurut fikih, anak zina ialah anak yang lahir diluar perkawinan yang sah, sedangkan perkawinan yang diakui di Indonesia, ialah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan dicatat menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (vide pasal 2 (1) dan (2) Undang-ndang Nomor 1/1974). Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat dari KUA untuk mereka yang melangusngkan perkawinannya menurut hukum Islam; sedangkan untuk mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut hukum agamanya dan kepercayaannya selain Islam, maka pencatatan perkawinannya dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil (vide pasal 2 (1) daan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9/1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1/1974 tentang perkawinan).
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal dan ayat-ayat tersebut di atas, maka perkawinan penduduk di Indonesia yang dilakukan menurut hukum Islam misalnya, tetapi tidak dicatat oleh pegawai pencatat dari KUA, atau perkawinan yang dicatat oleh pegawai pencatat dari Kantor Catatan Sipil, tetapi perkawinan tersebut tidak dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya, maka perkawinan tersebut tidak menurut negara. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (vide pasal 43 (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9/1975).
Menurut hukum perdata Islam, anak zina/jadah itu suci dari segala dosa orang yang menyebabkan eksistensinya di dunia ini, sesuai dengan hadis Nabi Muhammad saw :
“Semua anak dilahirkan atas kesucian/kebersihan (dari segala dosa/ noda) dan pembawaan beragama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi Yahudi, atau Nasrabi atau Majusi. (Hadis riwayat Abu Ya’la,al-Thabrani dan al-Baihaqi dari al-Aswad bin Sari’).
Karena itu, anak zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnyadi masyarakat nanti. Yang bertanggungjawab untuk mencukupi kebutuhan hidupnya materil dan spiritual adalah terutama ibunya yang melahirkannya dan keluarga ibunya. Sebab anak zina hanya mempunyai hubungan nasab atau perdata dengan ibunya.
Dari apa yang dikemukakan di atas, kiranya cukup jelas bahwa masalah anak-anak yang dilahirkan diluar perkawinan belum diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sehingga merupakan kekosongan hukum, setidak-tidaknya selama peraturan pemerintah yang dijanjikan dalam pasal 43 ayat (2) tersebut belum aada.
Untuk mengisi kekosongan hukum itu, dalam praktek umumnya para prakitis hukum menoleh dan memperlihatkan ketentuan-ketentuan pasal peralihan atau ketentuan pasal penutup dari Undang-undang yang bersangkutan dalm hal ini Undang-undang 1 Tahun 1974.
Dalam Bab XIV yang mengatur tentang ketentuan penutup , pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dinyatakan bahwa :
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketetuan yang diatur dalam kitab Undang-undang hukum perdata (Burgerlijk Wet Boek), Ordonansi perkawinan Indonesia Kristen (Stb. 1933 No. 74), peraturan perkawinan campuran (Stb. 1898 No. 158) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan, sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku”.
Dari keterangan tersebut di atas menyatakan bahwa pada umumnya para praktisi hukum, menafsirkan pasal ini pada bahagian anak kalimat (kata-kata) “sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini”, dalam arti bahwa apabila ada hal-hal yang belum diatur dalam Undang-undang ini, maka untuk hal tersebut berlaku perundang-undangan lama.
Dalam hubungan ini perlu diperhatikan bagian awal kalimat pasal 66 yang berbunyi :
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan … maka masalah anak-anak yang dilahirkan diluar perkawinan adalah merupakan hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan, yang ternyata belum diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974”.
Peraturan perundang-undangan lama yang dimaksud adalah sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata (B.W) dan sebagainya.
Mengenai masalah ini maka bagi mereka yang tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum perdata dan ordonansi perkawinan orang-orang Indonesia Kristen di Jawa dan Madura, Minahasa dan Ambon (Stb. 1933 Nomor 74 Jo. Stb 1989 Nomor 607) ternyata ada ketentuan yang mengaturnya. Sedangkan peraturan perkawinan campuran (Stb. 1898 Nomor 158) tidak mengaturnya sama sekali.
Dalam hal anak-anak yang lahir di luar perkawinan yang namanya tidak dimuat dalam akta perkawinan atau tidak dibuat pernyataan pengakuan anak karena orang tuanya lalai melaporkan pada waktu perkawinan mereka dilangsungkan, pasal 47 (3) Stb.1933 Nomor 47 Jo. Stb. 1936 Nomor 607 menyatakan ditentukan oleh hukum adat.
Dalam perspektif Islam orang yang hamil sebelum menikah, menurut jumhur fuqaha wanita tersebut harus menunggu selama 6 bulan. Sedangkan batas maksimunnya adalah menurut Malik 5 tahun, Syafi’i 4 tahun, Hanafi 2 tahun dan al-Zahiri 9 bulan.
Menurut hemat penulis, hal tersebut masih ada kaitannya dengan masalah perkawinan yaitu mencantumkan/membubuhkan nama dan umur anak-anak yang bersangkutan dalam akte perkawinan, maka prosedur yang harus ditempuh ialah kedua suami/isteri itu mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri yang berwenang agar memerintahkan kepada Pegawai Catatan Sipil bersangkutan untuk melakukan perbaikan/penambahan dimaksud dalam akte perkawinan dan dalam daftar yang bersangkutan.
*Dikutip dari berbagai sumber