Kemajuan pada Masa Dinasti Umayyah
Pada: August 19, 2011
Kemajuan utama yang terwujud dalam masa Dinasti Umayyah adalah terciptanya suasana yang kondusip dalam negara dan bersatunya kembali seluruh umat Islam dalam arti berhentinya perang antara rakyat dalam negeri. Karena itulah, pada tahun 41 H dikenal dengan istilah ‘Am al-Jama’ah (tahun persatuan seluruh umat).
Hal tersebut tercapai dikarenakan Mu’awiyah (pada awal kepemimpinannya) mampu men-jalankan roda pemerintahan dengan baik, dengan cara menguasai dirinya secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, serta memberikan solusi yang terbaik atas segala permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Sikapnya seperti ini, sebagaimana yang ia ucapkan sendiri yakni: "Aku tidak cukup menggunakan pedangku kalau cambuk saja sudah cukup, dan tiada pula kupergunakan cambukku kalau perkataan saja sudah memadai. Andaikata aku dengan orang lain memperebutkan rambut tiadalah akan putus rambut itu. Karena apabila mereka mengencangkanya akan kukendorkan, dan apabila mereka mengendorkannya, akan kukencangkannya".
Dengan prinsip itu pula, maka pada masa Dinasti Umayyah, wilayah pemerintahan Islam semakin meluas. Bahkan pemerintahannya terkenal sebagai era agresip dengan perhatian utamanya tertumpuh pada usaha penaklukan wilayah-wilayah lain. Sehingga dalam masa ini, tercatat tiga front penting, yaitu:
Pertama: Pertempuran melawan bangsa Romawi di Asia kecil. Per-tempuran ini meluas meliputi pengepungan terhadap Constantinopel dan beberapa pulau di Laut Tengah.
Kedua: Afrika Utara sampai ke Pantai Atlantik kemudian menyeberangi Selat Jabal Tarik (Gibraltar) sampai ke Spanyol. Front pertama dan kedua ini bisa diistilahkan dengan front Barat.
Ketiga: Front Timur yang meluas dan terbagi pada dua cabang, yang satu ke Utara ke seberang Sungai Jihun (Amudariah) yang lain ke Selatan meliputi daerah Sinda dan sekitarnya. Dengan demikian, daerah-daerah yang dikuasai oleh kaum muslimin pada masa Bani Ummayah adalah Spanyol, Afrika Utara, Suria, Palestina Semenanjung Arabia, Irak, sebagian Asia kecil Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenia, Uzbet, Dan Kirgis (di Asia Tengah).
Di samping itu, kemajuan lain yang dicapai oleh Dinasti Umayyah secara garis besarnya ada empat, yakni: Perkembangan Sastra Pada umumnya, pemimpin Dinasti Umayyah sangat mencintai syair dan pujaan serta kemegahan, sehingga kesusastraan berkembang pesat pada saat itu.
Hal ini dapat terlihat dalam beberapa aspek sebagai berikut: Pertentangan Kabilah, yakni masing-masing kabilah merasa megah dengan unsur sukunya sehingga muncullah para pujangga (penyair) utama untuk membela dan meninggikan kabilahnya masing-masing.
Penghamburan uang, yakni para khalifah dan pembesarnya memelihara para penyair khusus dengan gaji / hadiah yang besar. Di samping memberi hadiah yang berganda kepada para pujangga yang mau memuja dan membela rezim mereka.
Fanatik Arab, yakni menghidupkan dan mengembangkan nilai-nilai kesusastraan yang terdapat dalam bahasa Arab. Gerakan Adab, yakni adanya hubungan antara orang-orang Muslim dengan bangsa-bangsa yang telah maju, sehingga bagi kaum Muslimin giat menyusun dan membina riwayat Arab, seni bahasa dan hikmah.
Dari keempat hal di atas, menyebabkan bidang kesusastraan pada masa Dinasti Umayyah memeliki keistimewaan tersendiri, yakni terpeliharanya dari bahasa kasar. Dengan kata lain, mereka meng-gunakan bahasa berdasarkan kaidah-kaidah balaghah yang tinggi. Bahkan dalam melantunkan syair-syair tentang khamar pun di-lukiskannya dengan indah dan salah satu judulnya adalah خمر لزيز, yang mengungkap keindahan dan kelezatan khamar.
Adapun penyair tentang Khamar yang pertama adalah al-Walid bin Yazid. Di antara penyair yang termasyhur dalam masa ini adalah Nukman bin Basyir al-Anshari (w. 65 H), Ibn Mafragh al-Hamiri (w. 69 H), Abu Aswad al-Duwali (w. 69), Miskin al-Darimiy (w. 90).
Ilmu Pengetahuan Pemerintahan Dinasti Umayyah yang dibina atas dasar kekerasan dan mata pedang, serta jiwanya yang sangat kental dengan kefilsafatan membuatnya sangat menghormati para cendekiawan sebagai tempat mengadu, bahkan mereka menyediakan dana khsusus untuk para ulama dan filosof. Penghormatan kepada ulama, karena didorong oleh semangat keagamaan mereka, sedangkan penghormatannya kepada filosof karena didorong oleh keinginan mereka untuk menggunakan filsafat guna melawan Yahudi dan Nasrani.
Kota-kota yang menjadi pusat kegiatan keilmuan di masa ini adalah Damaskus, Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Kairawan, Kordova, Granada. Di kota-kota ini, terdapat beberapa cendekiawan yang mendalami ilmu-ilmu keislaman dan melahirkan karya-karya ilmiah. Cendekiawan yang terkenal di masa ini adalah antara lain; Hasan al-Bashri (pakar Tafsir), Ibn Syihab al-Zuhri (pakar Hadis), Washil bin Atha (pakar Bahasa), Khalid bin Yazid (pakar Astronomi) dan selainnya.
Disiplin ilmu yang berkembang pesat saat itu pada garis besarnya terdiri atas dua bidang, yakni:
1. Al-Adab al-Haditsah (Ilmu-ilmu baru) yang terdiri atas dua yakni; al-‘Ulum al-Islamiyah, misalnya ilmu-ilmu Qur’an, hadis, fiqh, tarikh dan geografi. al-‘Ulum al-Dakhilyah, yakni ilmu-ilmu yang diperlukan dalam kemajuan Islam, misalnya ilmu tentang kedokteran, filsafat, ilmu pasti dan ilmu eksakta yang disalin dari bahasa Persia dan Romawi.
2. Al-Adab al-Qadimah (Ilmu-ilmu lama), yaitu ilmu-ilmu yang telah ada di zaman jahiliyah, misalnya ilmu-ilmu lughah, syair, khitabah dan amtsal. Khalifah yang terkenal dalam memajukan ilmu pengetahuan di masa Dinasti Umayyah adalah Umar bin Abd. Aziz (99-101 H) beliaulah yang menginstruksikan untuk men-tadwin-kan kitab-kitab hadis, sehingga menjadi disiplin ilmu tersendiri. Ekonomi Dalam upaya membiayai roda pemerintahan, maka dibentuklah Bait al-Mal sebagai kas pembendaharaan negara. Semua hasil bumi dan pajak lainnya dimasukkan ke Bait al-Mal tersebut yang dikoordinir oleh Diwan al-Kharaj. Hasil bumi yang digarap oleh masyarakat disetor 5 % ke pemerintah, sedangkan pajak untuk setiap transaksi disetor sebasar 10%. Khusus barang dagangan yang nilainya kurang dari 200 dirham tidak dikenakan pajak.
Sumber dana lain untuk pengisian Bait al-Mal ialah pajak kekayaan yang khusus ditujukan kepada non Muslim yang daerahnya dikuasai oleh pemerintahan Islam. Jumlah pajak yang harus dibayar berpariasi, yakni untuk orang kaya (komlomerat) pajaknya 48 dirham pertahun, untuk kelas menengah pajaknya 24 dirham pertahun, sedangkan untuk orang msikin pajaknya 12 dirham pertahun. Dana-dana tersebut, digunakan untuk pembangunan pada sektor-sektor penting, yakni jalan raya dan sumur umur di sepanjang jalan, pembangunan pabrik-pabrik.
Pemerataan pembangunan bukan hanya pada satu daerah, akan tetapi dilakukan upaya-upaya distribusi ke daerah-daerah secara adil.
Administrasi Negara Sistem administrasi pemerintahan Dinasti Ummayah terbentuk dalam empat departemen pokok (diwan) atau lebih tepatnya empat kementerian, yakni : Kementerian Pajak Tanah (Diwan al-Kharraj), petugasnya adalah pegawai resmi (Shahib al-Kharraj) dengan tugas mengawasi Departemen Keuangan. Kementerian al-Khatam (Diwan al-Khatam) yang bertugas me-rancang peraturan pemerintah, mengesahkan dan mengecap/ menyegel. Dalam hal ini, Mu’awiyah adalah orang pertama yang memperkenalkan materai untuk mengirimkan memorandum dari khalifah. Setiap duplikat memorandum itu dibuat, ditembus dengan benang dan disegel dengan lilin dan dipress dengan segel kantor.
Kementerian Surat Menyurat (Diwan al-Rasa’il) yang bertugas mengontrol permasalahan di daerah-daerah dan semua komunikasi dari gubernur-gubernur. Kementrian Urusan Pajak (Diwan al-Mustaghalat). Disamping keempat kementrian ini, ada pula badan yang tidak kalah pentingnya dibanding kementrian-kementrian yang ada, yaitu badan yang bertugas mencatat setiap peraturan yang dikelola oleh khalifah dengan satu register. Barangkali bisa disamakan dengan kesekretariatan negara di Indonesia dewasa ini.
Referensi Makalah®
Kepustakaan: Abu al-A’la al-Maududi, al-Khilafah wa al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan Bandung: Mizan, 1984. Pernyataan Mu’awiyah di atas dikutip dari Ahmad Syalabi, Tarikh al-Islam, diterjemahkan oleh H. Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latif dengan judul, Sejarah Kebudayaan Islam 2 Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992. A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1993. M. Syhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis Bandung: Angkasa, 1988. Muhammad Jalal al-Syaraf dan Ali Abdul Muthy, Al-Fikr al-Siyasi fiy al-Islam, Iskandariah: Dar al-Jama’ah al-Mishriyah, 1978. Abd. Al-Sami Salim al-Harwy, Lughah al-Idarah, t.tp.: al-Haiah al-Misrishriyah, 1986
Hal tersebut tercapai dikarenakan Mu’awiyah (pada awal kepemimpinannya) mampu men-jalankan roda pemerintahan dengan baik, dengan cara menguasai dirinya secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, serta memberikan solusi yang terbaik atas segala permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Sikapnya seperti ini, sebagaimana yang ia ucapkan sendiri yakni: "Aku tidak cukup menggunakan pedangku kalau cambuk saja sudah cukup, dan tiada pula kupergunakan cambukku kalau perkataan saja sudah memadai. Andaikata aku dengan orang lain memperebutkan rambut tiadalah akan putus rambut itu. Karena apabila mereka mengencangkanya akan kukendorkan, dan apabila mereka mengendorkannya, akan kukencangkannya".
Dengan prinsip itu pula, maka pada masa Dinasti Umayyah, wilayah pemerintahan Islam semakin meluas. Bahkan pemerintahannya terkenal sebagai era agresip dengan perhatian utamanya tertumpuh pada usaha penaklukan wilayah-wilayah lain. Sehingga dalam masa ini, tercatat tiga front penting, yaitu:
Pertama: Pertempuran melawan bangsa Romawi di Asia kecil. Per-tempuran ini meluas meliputi pengepungan terhadap Constantinopel dan beberapa pulau di Laut Tengah.
Kedua: Afrika Utara sampai ke Pantai Atlantik kemudian menyeberangi Selat Jabal Tarik (Gibraltar) sampai ke Spanyol. Front pertama dan kedua ini bisa diistilahkan dengan front Barat.
Ketiga: Front Timur yang meluas dan terbagi pada dua cabang, yang satu ke Utara ke seberang Sungai Jihun (Amudariah) yang lain ke Selatan meliputi daerah Sinda dan sekitarnya. Dengan demikian, daerah-daerah yang dikuasai oleh kaum muslimin pada masa Bani Ummayah adalah Spanyol, Afrika Utara, Suria, Palestina Semenanjung Arabia, Irak, sebagian Asia kecil Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenia, Uzbet, Dan Kirgis (di Asia Tengah).
Di samping itu, kemajuan lain yang dicapai oleh Dinasti Umayyah secara garis besarnya ada empat, yakni: Perkembangan Sastra Pada umumnya, pemimpin Dinasti Umayyah sangat mencintai syair dan pujaan serta kemegahan, sehingga kesusastraan berkembang pesat pada saat itu.
Hal ini dapat terlihat dalam beberapa aspek sebagai berikut: Pertentangan Kabilah, yakni masing-masing kabilah merasa megah dengan unsur sukunya sehingga muncullah para pujangga (penyair) utama untuk membela dan meninggikan kabilahnya masing-masing.
Penghamburan uang, yakni para khalifah dan pembesarnya memelihara para penyair khusus dengan gaji / hadiah yang besar. Di samping memberi hadiah yang berganda kepada para pujangga yang mau memuja dan membela rezim mereka.
Fanatik Arab, yakni menghidupkan dan mengembangkan nilai-nilai kesusastraan yang terdapat dalam bahasa Arab. Gerakan Adab, yakni adanya hubungan antara orang-orang Muslim dengan bangsa-bangsa yang telah maju, sehingga bagi kaum Muslimin giat menyusun dan membina riwayat Arab, seni bahasa dan hikmah.
Dari keempat hal di atas, menyebabkan bidang kesusastraan pada masa Dinasti Umayyah memeliki keistimewaan tersendiri, yakni terpeliharanya dari bahasa kasar. Dengan kata lain, mereka meng-gunakan bahasa berdasarkan kaidah-kaidah balaghah yang tinggi. Bahkan dalam melantunkan syair-syair tentang khamar pun di-lukiskannya dengan indah dan salah satu judulnya adalah خمر لزيز, yang mengungkap keindahan dan kelezatan khamar.
Adapun penyair tentang Khamar yang pertama adalah al-Walid bin Yazid. Di antara penyair yang termasyhur dalam masa ini adalah Nukman bin Basyir al-Anshari (w. 65 H), Ibn Mafragh al-Hamiri (w. 69 H), Abu Aswad al-Duwali (w. 69), Miskin al-Darimiy (w. 90).
Ilmu Pengetahuan Pemerintahan Dinasti Umayyah yang dibina atas dasar kekerasan dan mata pedang, serta jiwanya yang sangat kental dengan kefilsafatan membuatnya sangat menghormati para cendekiawan sebagai tempat mengadu, bahkan mereka menyediakan dana khsusus untuk para ulama dan filosof. Penghormatan kepada ulama, karena didorong oleh semangat keagamaan mereka, sedangkan penghormatannya kepada filosof karena didorong oleh keinginan mereka untuk menggunakan filsafat guna melawan Yahudi dan Nasrani.
Kota-kota yang menjadi pusat kegiatan keilmuan di masa ini adalah Damaskus, Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Kairawan, Kordova, Granada. Di kota-kota ini, terdapat beberapa cendekiawan yang mendalami ilmu-ilmu keislaman dan melahirkan karya-karya ilmiah. Cendekiawan yang terkenal di masa ini adalah antara lain; Hasan al-Bashri (pakar Tafsir), Ibn Syihab al-Zuhri (pakar Hadis), Washil bin Atha (pakar Bahasa), Khalid bin Yazid (pakar Astronomi) dan selainnya.
Disiplin ilmu yang berkembang pesat saat itu pada garis besarnya terdiri atas dua bidang, yakni:
1. Al-Adab al-Haditsah (Ilmu-ilmu baru) yang terdiri atas dua yakni; al-‘Ulum al-Islamiyah, misalnya ilmu-ilmu Qur’an, hadis, fiqh, tarikh dan geografi. al-‘Ulum al-Dakhilyah, yakni ilmu-ilmu yang diperlukan dalam kemajuan Islam, misalnya ilmu tentang kedokteran, filsafat, ilmu pasti dan ilmu eksakta yang disalin dari bahasa Persia dan Romawi.
2. Al-Adab al-Qadimah (Ilmu-ilmu lama), yaitu ilmu-ilmu yang telah ada di zaman jahiliyah, misalnya ilmu-ilmu lughah, syair, khitabah dan amtsal. Khalifah yang terkenal dalam memajukan ilmu pengetahuan di masa Dinasti Umayyah adalah Umar bin Abd. Aziz (99-101 H) beliaulah yang menginstruksikan untuk men-tadwin-kan kitab-kitab hadis, sehingga menjadi disiplin ilmu tersendiri. Ekonomi Dalam upaya membiayai roda pemerintahan, maka dibentuklah Bait al-Mal sebagai kas pembendaharaan negara. Semua hasil bumi dan pajak lainnya dimasukkan ke Bait al-Mal tersebut yang dikoordinir oleh Diwan al-Kharaj. Hasil bumi yang digarap oleh masyarakat disetor 5 % ke pemerintah, sedangkan pajak untuk setiap transaksi disetor sebasar 10%. Khusus barang dagangan yang nilainya kurang dari 200 dirham tidak dikenakan pajak.
Sumber dana lain untuk pengisian Bait al-Mal ialah pajak kekayaan yang khusus ditujukan kepada non Muslim yang daerahnya dikuasai oleh pemerintahan Islam. Jumlah pajak yang harus dibayar berpariasi, yakni untuk orang kaya (komlomerat) pajaknya 48 dirham pertahun, untuk kelas menengah pajaknya 24 dirham pertahun, sedangkan untuk orang msikin pajaknya 12 dirham pertahun. Dana-dana tersebut, digunakan untuk pembangunan pada sektor-sektor penting, yakni jalan raya dan sumur umur di sepanjang jalan, pembangunan pabrik-pabrik.
Pemerataan pembangunan bukan hanya pada satu daerah, akan tetapi dilakukan upaya-upaya distribusi ke daerah-daerah secara adil.
Administrasi Negara Sistem administrasi pemerintahan Dinasti Ummayah terbentuk dalam empat departemen pokok (diwan) atau lebih tepatnya empat kementerian, yakni : Kementerian Pajak Tanah (Diwan al-Kharraj), petugasnya adalah pegawai resmi (Shahib al-Kharraj) dengan tugas mengawasi Departemen Keuangan. Kementerian al-Khatam (Diwan al-Khatam) yang bertugas me-rancang peraturan pemerintah, mengesahkan dan mengecap/ menyegel. Dalam hal ini, Mu’awiyah adalah orang pertama yang memperkenalkan materai untuk mengirimkan memorandum dari khalifah. Setiap duplikat memorandum itu dibuat, ditembus dengan benang dan disegel dengan lilin dan dipress dengan segel kantor.
Kementerian Surat Menyurat (Diwan al-Rasa’il) yang bertugas mengontrol permasalahan di daerah-daerah dan semua komunikasi dari gubernur-gubernur. Kementrian Urusan Pajak (Diwan al-Mustaghalat). Disamping keempat kementrian ini, ada pula badan yang tidak kalah pentingnya dibanding kementrian-kementrian yang ada, yaitu badan yang bertugas mencatat setiap peraturan yang dikelola oleh khalifah dengan satu register. Barangkali bisa disamakan dengan kesekretariatan negara di Indonesia dewasa ini.
Referensi Makalah®
Kepustakaan: Abu al-A’la al-Maududi, al-Khilafah wa al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan Bandung: Mizan, 1984. Pernyataan Mu’awiyah di atas dikutip dari Ahmad Syalabi, Tarikh al-Islam, diterjemahkan oleh H. Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latif dengan judul, Sejarah Kebudayaan Islam 2 Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992. A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1993. M. Syhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis Bandung: Angkasa, 1988. Muhammad Jalal al-Syaraf dan Ali Abdul Muthy, Al-Fikr al-Siyasi fiy al-Islam, Iskandariah: Dar al-Jama’ah al-Mishriyah, 1978. Abd. Al-Sami Salim al-Harwy, Lughah al-Idarah, t.tp.: al-Haiah al-Misrishriyah, 1986