Material Makalah; Hadis tentang Korupsi
Pada: August 10, 2011
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa korupsi berarti penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korup berarti suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (memakai kekuasaan hanya untuk kepentingan pribadi.
Berdasarkan pengertian korupsi tersebut, maka hadis yang dapat dikategorikan hadis korupsi adalah hadis mengenai hadis bagi pejabat dalam melaksanakan tugas. Susunan sanad dan matan hadis tersebut, yaitu:
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعْمَلَ عَامِلًا فَجَاءَهُ الْعَامِلُ حِينَ فَرَغَ مِنْ عَمَلِهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي فَقَالَ لَهُ أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أُمِّهِ وَأََبِيْهِ فيَنَظُرْ أَيُهْدَى إلَيْه أَمْ لَا ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشِيَّةً بَعْدَ الصَّلَاةِ فَتَشَهَّدَ وَأَثْنَى عَلَى اللَّهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَمَا بَالُ الْعَامِلِ نَسْتَعْمِلُهُ فَيَأْتِينَا فَيَقُولُ هَذَا مِنْ عَمَلِكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي أَفَلَا قَعَدَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَنَظَرَ هَلْ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا جَاءَ بِهِ لَهُ رُغَاءٌ وَإِنْ كَانَتْ بَقَرَةً جَاءَ بِهَا لَهَا خُوَارٌ وَإِنْ كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُ فَقَدْ بَلَّغْتُAbu al-Yaman telah memberitakan kepada kami, berkata: Syua’in telah memberitakan kepada kami, berkata: dari al-Zuhri, berkata; ‘Urwah telah mmberitakan kepada kami, berkata; dari Humaid al-Saidiy bahwa Rasulullah mengangkat seorang pejebat pengumpul zakat (amil). Ketika pejabat telah selesai melaksanakan tugasnya, dia datang kepada Nabi dan berkata: “Ya Rasulullah, ini untuk anda dan ini hadia yang diberikan orang kepada saya”, maka Nabi saw bersabda kepada pejabat itu : “mengapa kamu tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu sehingga kamu dapat melihat apakah dengan kamu juga akan memperoleh hadiah atau tidak ?” kemudian pada waktu petang sesudah shalat Nabi saw berdiri (berpidato di hadapan orang banyak). Sesudah membaca kalimat syahadat dan memuji Allah dengan pujian yang Dialah sebagai pemilik pujian itu, Nabi mengatakan.” Adapun sesudah itu, bagaimanakah halnya bila seorang pejabat yang kami serahi tugas lalu dia datang melapor kepada kami seraya berkata: “ini adalah hasil tugas yang berasal dari anda. Sedangkan ini adalah (bagian) yang dihadiahkan kepada saya, “mengapa dia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya, sehingga ia dapat melihat apakah ia akan diberi hadiah (oleh orang) atau tidak. Demi Allah yang diri Muhammad berada dalam genggaman-Nya tiadalah seseorang dari kalian melakukan sesuatu pengkhianatan, kecuali nanti pada hari kiamat dia akan memikul beban dilehernya. Jika (yang dikorupsi) adalah seekor unta, maka dia datang dengan suara unta. Jika yang dikorupsi adalah seekor sapi, maka orang itu akan datang dengen melenguh seperti sapi; bila (yang dikorupsi) adalah seekor kambing, maka orang itu akan datang dengan mengembek. Sungguh (hal itu) telah kusampaikan kepada kalian.
Kata استعمل dalam matan hadis di atas adalah fi’il madhi yang berasal dari kata عمل . Kata ini memperoleh tiga huruf tambahan pada awalnya sehingga menjadi sesuai dengan timbangan استفعل, yang artinya : menjadikan seseorang sebagai pekerja atau meminta melakukan sesuatu. Dalam hal ini, makna yang dimaksud adalah mempekerjakan.
Jadi, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعْمَلَ عَامِلًا artinya : “bahwa- sanya Rasulullah saw mempekerjakan seseorang sebagai amil (pengumpul zakat)”. Lalu ia datang kepada Nabi setelah tugasnya selesai.
“Hadiah” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemberian yang berupa kenang-kenangan, penghargaan, penghormatan, atau ganjaran karena memenangkan perlombaan atau tanda mata. Sedangkan menurut al-Ta’rifat, hadiah ialah sesuatu yang berikan tanpa disyaratkan mengembalikan-nya. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa hadiah ialah pemberian sesuatu kepada seseorang sebagai kenang-kenangan, penghargaan, peng-hormatan yang tidak dituntut pengembaliannya.
Dalam hadis tersebut diketahui bahwa Nabi saw bersabda kepada pejabat-pejabat itu, mengapa kamu tidak duduk saja di rumah bapakmu atau ibumu sehingga kamu dapat melihat, apakah dengan demikian kamu juga akan memperoleh hadiah atau tidak?.
Klausa ini nampaknya memberi indikasi bahwa karena jabatan yang diembang pejabar (amil) itulah sehingga ia diberi hadiah. Dengan kata lain, hadiah itu tidak akan diperolehnya manakalah ia bukan pejabat.
Memahami hadis di atas, Imam Muslim secara tegas mengatakan ke-haraman menerima hadiah bagi seorang pejabat. Bahkan diletakkan sebagai judul bab: تحريم هدايا العمال . menurut Imam al-Nawawy, hadis ini menjelaskan bahwa hadiah bagi seorang pejabat adalah haram dan pengkhianatan. Oleh karena menerima hadiah bagi pejabat itu merupakan penyelewengan dalam kewenangan dan tanggung jawab pejabat.
Sejalan dengan itu, Ibn Hajar al-Asqalani menempatkan kedudukan hukum tahrim atas penerimaan hadiah bagi pejabat karena hal itu merupakan pengkhiatan terhadap jabatan. Demikian pula keterangan yang disampaikan oleh al-Hafizh Ibn Qayyim bahwa hadis ini meruoaan penjelasan bahwa hadiah atas para pejabat itu adalah haram dan pengkhiatan. Oleh karena tindakan itu adalah penyelewengan terhadap kekuasaan dan tanggungjawab nya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Nabi saw أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أُمِّهِ وَأََبِيْهِ فيَنَظُرْ أَيُهْدَى إلَيْه adalah dalil yang menunjuk bahwa setiap urusan yang mengantar kepada perbuatan mudharat, maka ia pula adalah mudharat sebagaimana peminjaman barang yang membawa kepada keuntungan.
Memperhatikan pendapat para muhaddisin di atas, dapat dipahami bahwa mereka memahami hadis ini dalam makna tekstual. Yakni memahami kandungan hadis berdasarkan teks hadis tersebut. Sehingga dapat dipahami bahwa tidak boleh seorang pejabat menerima hadiah selama ia menjalankan tugasnya, karena hadiah itu merupakan pengkhianatan dan penyelewengan dari tanggungjawab amanat yang diembangnya. Semakin besar kualias pe-nyelewengan itu, semakin besar pula beban yang dipikulkan di lehernya pada hari kemudian.
Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy membolehkan pemberian sesuatu kepada siapa saja yang terkait dengen kepentingan kita dalam rangka memperoleh hak kita yang sah. Meskipun pemberian itu tentu tidak diharapkan menimbulkan efek negatif bagi penerimanya. Misalnya, jika ia tidak diberikan sesuatu (seperti; uang pelicin), maka urusan hak itu akan tersendak-sendak.
Sejalan itu, Imam al-Syaukani seperti dikutip oleh M. Quraish Shihab juga membolehkan pemberian itu sepanjang pemberian itu dilakukan dengan hati yang tulus. Ia mengatakan bahwa agama pada dasarnya tidak membernarkan pemberian dan penerimaan sesuatu dari seseorang kecuali dengan hati yang tulus.
Lebih lanjut M. Quraish Shihab menyatakan bahwa pemberian hadiah kepada pejabat atau aparat negara seperti keadaan yang kita alami sekarang, dapat menumbuh suburkan praktek suap menyuap dalam masyarakat. Oleh karena itu memberikan sesuatu, walau dengan dalih meraih hak yang sah sekalipun tidak boleh dikembangkan. Sebab hal itu telah membantu si penerima melakukan sesuatu yang haram dan terkutuk dalam pelaksanaan tugasnya.
Memperhatikan beberapa pendapat di atas, dapat ditarik benang hijau sebagai llat pengharaman pemberian hadiah kepada pejabat atau aparat negara adalah kekhawatiran timbulnya tindakan penyelewengan atas tugas-tugasnya atau perbuatan korupsi terhadap kewenangannya. Sehingga jika illat ini dapat dihilangkan, maka tentu keharaman itupun dapat berubah menjadi boleh bahkan hukumnya adalah sunnat.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah, jilid I Bairut: Dar al-Masyriq, 1992. Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat Jeddah: al-Haramain, t.th. Imam al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, jilid VI Beirut: Dar al-Fikr, 1983. al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bary Bi Syarh Shahih al-Bukhari, juz XV Bairut: Dar al-Fikr, t.th. al-Hafidz Ibn Qayyim al-Jauziyah dan Abii al-Tayyib, ‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, juz VIII Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, juz III Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th. M. Quraish Shihab, Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan , Bandung, 1998. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2000.