Pengertian Filsafat Perennial; Pengantar
Pada: August 16, 2011
Berangkat dari kesadaran untuk mendialogkan agama dari dataran substansinya, dimana agama pada dasarnya dipandang sebagai relatively absolute (hanya secara relatif absolut), atau jika dibalik absolutely relative, atas klaim-klaim kebenaran yang secara tradisional memang inheren dalam agama, maka agama bisa diharapkan kembali seperti sedianya mengambil peran pembebasan (interior dan eksterior) atas kemanusiaan. Perspektif yang terakhir inilah yang dikenal belakangan sebagai Filsafat Perennial.
Sangat perlu agaknya lebih awal mempertegas apa yang dimaksud dengan “Filsafat Perennial” (philosophia perennis) dalam tulisan ini yang bisa juga disebut “Kebijaksanaan Perennial” (sophia perennis). Meski demikian kedua kata itu tidak sepenuhnya identik, yang pertama lebih bersifat intelektual, sementara yang kedua lebih merupakan aspek perwujudannya.
Filsafat perennial (perennial Philosophy) adalah istilah Inggris untuk arti yang sama dengan philosophia perennis yang berasal dari bahasa Latin, telah digunakan secara luas oleh aliran-aliran pemikiran, dari kaum neo-Thomis hingga Aldous Huxley. Bahkan nama terakhir ini membuat istilah “Filsafat Perennial” demikian populernya dikalangan banyak mahasiswa yang bukan spesialis dalam studi agama dan filsafat, karena itu menggunakan istilah tersebut untuk judul bukunya The Perennial Philosophy, yang terkenal itu. Karena demikian luasnya istilah itu digunaka sehingga perlu dijernikan dalam konteks studi ini.
Kata Filsafat perennial seperti ditekankan selama ini oleh A.K. Coomaraswamy dimaksudkan sebagai pengetahuan yang selalu ada dan akan selalu ada, yang bersifat universal “Ada” dalam pengertian diantara orang-orang yang berbeda ruang dan waktu maupun yang berkaitan dengan prinsip-prinsip universal. Disamping itu, pengetahuan yang diperoleh intelek ini terdapat dalam jantung semua agama dan tradisi.
Sementara itu, Aldous Huxley, menyebutkan bahwa filsafat perennial adalah (1) metafisika yang memperlihatkan suatu hakekat kenyataan Ilahi, dalam segala sesuatu kehidupan dan pemikiran; (2) suatu psikologi yang memperlihatkan adanya sesuatu jiwa (soul) manusia yang identik dengan kenyataan Ilahi itu; dan (3) etika yang meletakkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan yang bersifat imanen maupun transenden mengenai seluruh keberadaan.
Filsafat Perennial memperlihatkan kaitan seluruh eksistensi yang ada di alam semesta ini dengan Realitas Mutlak. Wujud pengetahuan tersebut dalam diri manusia hanya dapat dicapai melalui Intelek,istilah yang telah dikenal sejak zaman Plotinus lewat karyanya The Six Eneads sebagai ungkapan lain dari soul atau spirit. “Jalan” inipun hanya dapat dicapai melalui tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol dan sarana-sarana yang memang diyakini oleh kalangan perennial ini sebagai berasal dari Tuhan.
Sesungguhnya, dasar-dasar teoretis pengetahuan Filsafat Perennial terdapat dalam setiap agama yang otentik, yang dikenal dengan berbagai konsep: dalam agama Budha disebut Dharma, dalam Taoisme disebut tao, dalam Hinduisme dikenal sebagai Sanathana atau dalam Islam dikenal dengan konsep al-Din, dalam filsafat abad pertengahan dikenal dengan sebutan Sophia Perennis dan sebagainya. Dengan cara, yang dalam Filsafat Perennial disebut sebagai “transenden” itu, semua ritus-ritus, doktrin-doktrin dan simbol-simbol keagamaan yang dipakai untuk mencapai pengertian mengenai dasar keagaman itu, mendapatkan penjelasan yang menyeluruh melewati bentuknya yang formal.
Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa Filsafat Perennial adalah satu perspektif yang memandang adanya “kesatuan transenden” pada setiap agama dan tradisi otentik. Perspektif itu, tidak mengedepankan aspek-aspek “dalam” (esoteris) dari setiap bentuk keagamaan, tapi juga punya kemampuan mengeleminir sejumlah perbedaan. Meskipun demikian, tidak dengan sendirinya berarti Filsafat Perennial berpandangan semua agama adalah sama-suatu pandangan yang sama sekali tidak menghormati religiusitas yang partikular. Padahal, Filsafat Perennial justru berpandangan kebenaran mutlak (the truth) hanyalah satu, tidak terbagi. Tetapi dari Yang Satu ini memancarkan berbagai “kebenaran” (truth) sebagaimana halnya matahari yang secara niscaya memancarkan cahayanya.
Meski demikian, tidak berarti Filsafat Perennial sunyi dari kritik. Sebut saja misalnya para ahli agama yang tidak percaya akan adanya “kesatuan transenden”, memandang Filsafat Perennial sebagai sesuatu yang tidak ada dan hanya merupakan imajinasi dari para penganut Filsafat Perennial saja. Apalagi jika secara empiris mereka hanya mampu melihat pertengahan-pertengahan yang terdapat dalam agama-agama sementara mereka tidak mau melihat adanya the common vision dari agama dan tradisi yang otentik tersebut.
F. Zaehner umpamanya, sebagai seorang Kristen yang ahli Hindu dan Sufi menyebut, alih-alih kesatuan, justru lebih banyak pertentangan dalam agama yang satu dengan yang lain. Di kalangan tradisional Islam juga tidak sedikit yang menolak gagasan “kesatuan transenden” ini, seperti Seyyed Naquib al-Attas. Padahal dengan Filsafat Perennial ini tentu saja bagi penganut filsafat ini disadari adanya yang “infinite” di balik kenyataan ini (Levels of Reality [alam terrestrial, intermediate, celestial). Juga dalam diri manusia yang dalam Filsafat Perennial disebut levels of selfhoodterdiri dari body, mind, soul, atau dalam istilah Islam, jism, nafs, dan ‘aql, dipercayai adanya apa yang disebut “spirit” (ruh). Alam semesta dan manusia pada dasarnya hanyalah tajalli atau bentuk perwujudan dari Yang infinite/spirit ini, yang dalam Islam disebut al-Haqq.
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber