Pandangan Filosof Muslim tentang Emanasi (2)
Pada: August 02, 2011
Sebagaimana di akhir Referensi makalah sebelumnya tentang emanasi dan pandangan filosof muslim tentang emanasi, maka untuk memperjelas hal tersebut menurut al-Farabi, berikut adalah bagannya:
(subyek)
Akal Yang Ke
|
Sifat
|
Berpkir tentang
|
Keterangan
| |
Allah sebagai wajib al-wujud, menghasilkan
|
Dirinya sendiri sebagai mumkin al- wujud, menghasilkan
| |||
I
II
III IV V VI VII VIII IX X |
Mumkin wujud
Sda
Sda
Sda
Sda
Sda
Sda
Sda
Sda
Sda
|
Akal II
Akal III
Akal IV
Akal V
Akal VI
Akal VII
Akal VIII
Akal IX
Akal X
|
Langit pertama
Bintang-bintang
Saturnus
Yupiter
Mars
Matahari
Venus
Merkuri
Bulan
Bumi, roh, materi pertama yang menjadi keempat unsure: udara, api, air dan tanah
|
Masing-masing Akal mengurusi satu planet
Akal ke X tidak lagi memancarkan akal-akal berikutnya karena kekuatannya sudah melemah.
|
Menurut al-Farabi, alam ini qadim karena diciptakan oleh Allah sejak qidam dan azali. Akan tetapi, qadimnya Allah berbeda dengan alam. Keberadaan alam tidak didahului oleh zaman, maka alam qadim dari segi zaman (taqaddum zamany). Adapun dari segi esensi, sebagai hasil ciptaan Allah secara pancaran, alam ini baharu (huduts zaty). Sementara itu, Allah adalah taqaddum zaty, Ia sebab semua yang ada dan ia pencipta alam.
Mengapa jumlah akal dibatasi kepada bilangan sepuluh? Hal ini disesuaikan dengan bilangan bintang yang berjumlah Sembilan, dimana untuk tiap-tiap akal diperlukan satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak disertai sesuatu planet ketika keluar dari Tuhan. Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada Sembilan? Karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian al-Farabi menambah dua lagi yaitu benda langit yang terjauh (al- falak al-aqsha) dan bintang-bintang tetap (al-kawakib ats-tsabitah), yang diambil dari Ptolomey (atau Caldius Ptolomaeus) seorang ahli astrronomi dan ahli bumi Mesir, yang hidup pada pertengahan abad kedua masehi.
Ibnu Sina juga berpandangan bahwa dari ‘satu’ tidak melahirkan kecuali ‘satu’. Yang pertama kali lahir dari Allah adalah Akal Pertama, kemudian jiwa, kemudian benda-benda langit, kemudian materi-materi unsur yang empat. Ibn Sina mengatakan bahwa Akal Pertama-sesuatu yang paling pertama lahir dari Allah-mempunyai tiga akal. Akal Pertama berfikir tentang zatnya sendiri sebagai penciptanya yang Maha Tinggi, akal kedua berfikir tentang zatnya sendiri sebagai kewajiban terhadap yang pertama, dan akal ketiga berfikir tentang adanya sebagai yang mumkin karena zatnya sendiri.
Lalu dari proses pemikiran yang tiga ini, lahirlah tiga hal, yaitu; akal, jiwa dan jism hingga sampai pada akal kesepuluh yang darinya alam anasir terbentuk, yaitu alam kaun dan alam fasad (yang mengalami kerusakan), alam rendah (alam materi) dan dari unsur-unsur yang empat ini (empat elemen kehidupan; api, udara, air dan tanah) muncullah alam mineral (keadaan keadaan alamiah yang tidak hidup), alam nabati, alam hewani dan alam manusia.
Baik Al-Farabi maupun Ibn Sina, berkenaan dengan paham emanasi, sama-sama mengatakan bahwa hal tersebut lahir dari proses berfikir sang Khaliq dan proses emanasi terjadi dalam sepuluh tingkatan sebagaimana dijelaskan diatas. Namun bagi al-Farabi akal yang merupakan hasil emanasi dari zat yang esa hanya memiliki dua obyek pemikiran yakni tuhan dan zatnya sedang menurut Ibn Sina memiliki tiga obyek pemikiran yakni tuhan, zatnya sebagai wajib wujud dan zatnya sebagai mumkin wujud dan dari ketiganya melahirkan substansi jasmani, jiwa dan akal.
Filosof lainnya yang menganut teori emanasi adalah Ibnu maskwaih. Namun berbeda dengan al-Farabi. Menurutnya, entitas pertama yang memancarkan dari Allah ialah ‘aql fa’al (akal aktif). Akal aktif ini tanpa perantara sesuatu pun. Ia qadim, sempurna, dan tak berubah. Dari akal aktif ini timbullah jiwa dan dengan perantaraan jiwa pula timbullah planet (al-falak).
Jadi perbedaan antara Ibnu Miskawaih dan al-Farabi adalah:
- Bagi Ibnu Miskawaih, Allah menjadikan alam ini secara emanasi dari tiada menjadi ada. Sementara al-Farabi, alam dijadikan tuhan secara pancaran dari sesuatu atau bahan yang sudah ada menjadi ada.
- Bagi Ibnu Miskawaih ciptaan Allah yang pertama ialah akal aktif. Sementara al-Farabi, ciptaan Allah yang pertama ialah Akal Pertama dan akal aktif adalah akal yang kesepuluh.
Ikhwan al-Shafa juga terpengaruh emanasi. Dengan kemauan sendiri Allah menciptakan akal pertama atau akal aktif secara emanasi. Kemudian Allah menciptakan jiwa dengan perantaraan akal. Selanjutnya Allah menciptakan materi pertama (hayula al-ula). Dengan demikian, kalau Allah qadim, lengkap dan sempurna, maka akal pertama ini juga demikian. Jiwa tercipta secara emanasi dengan perantaraan akal, maka jiwa qadim dan lengkap, tetapi tidak sempurna.
Proses penciptaan secara emanasi menurut Ikhwan al-Shafa terbagi menjadi dua: 1) Penciptaan sekaligus, daf’atan wahidah, 2) Penciptaan secara gradual, tadrij. Penciptaan sekaligus apa yang mereka sebut alam rohani, yakni akal aktif, jiwa universal, dan materi pertama. Sementara itu, penciptaan secara gradual apa yang mereka sebut dengan alam jasmani, yakni jisim mutlak dan seterusnya. Jism mutlak tercipta dalam zaman yang tidak terbatas dalam priode yang panjang. Periode-periode ini akan membentuk perubahan-perubahan dalam masa, seperti penciptaan dalam masa enam hari.
Tentang alam semesta, menurut Ikhwan al-Shafa, bukan qadim tetapi baharu. Karena alam semesta ini diciptakan Allah dengan cara emansi secara gradual, mempunyai awal dan akan berakhir pada masa tertentu.
Demikianlah teori emanasi menurut para filosof muslim. Meski mereka meyakini bahwa penciptaan alam terjadi secara emanasi namun dalam berbagai hal mereka berbeda pendapat. Perbedaan tersebut bisa menyangkut proses emanasi alam maupun apakah alam qadim atau tidak.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Jamil Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafy, Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1982. Robert Audi, ed, The Cambridge Dictionary of Philosophy, New York: Cambridge University Press, 2001. Azyumardi Azra et all, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Jakarta, 1990. Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1989. Muhammad Afif al-Iraqi, al-Minhaj al-Naqd fi-Falsafah Ibn Rusyd, diterjemahkan oleh Aksin wijaya dengan judul, Metode Kritik Filsafat Ibnu Rusyd: Peletak Dasar-Dasar Filsafat Islam, Yogyakarta: Ircisod, 2003. Sirajuddin Zar, MA, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Rajawali: Jakarta, 2004. Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973. as-Said Muhammad ‘Aqil bin ‘Ali al-Mahdi, Dirasat fi al-Falsafah al-Islamiyyah, Kairo: Dar al-Hadits, tt.