Penjelajahan Postmodernisme
Pada: August 11, 2011
Kata postmodernisme telah lazim terdengar dalam tiga dekade terakhir. Padahal, hingga kini kamus yang biasa dipakai pun belum memiliki kesamaan pandangan. Istilah postmodernisme, pertama kali dilontarkan oleh Frederico de Oniz pada tahun 1934 dalam sebuah konsep peralihan (dalam sastra) dari modernisme awal ke modernisme dengan kualitas lebih tinggi. Sementara Arnold Toynbee pada tahun 1947 menggunakan kata postmodern sebagai ciri peralihan politik dari pola pemikiran negara nasional ke interaksi global. Kendati sampai saat ini belum ada kesepakatan dalam pendefinisiannya, tetapi istilah tersebut berhasil menarik perhatian banyak orang di Barat.
Pada tahun 1960, untuk pertama kalinya istilah itu diekspor ke benua Eropa, sehingga banyak pemikir Eropa mulai tertarik pada pemikiran tersebut. J. Francois Lyotard, salah satu contoh pribadi yang telah terpikat dengan konsep tersebut dan dianggap sebagai orang yang mempopulerkan istilah tersebut dalam dunia filsafat. Ia berhasil menggarap karyanya yang berjudul “The Post-Modern Condition” sebagai kritikan atas karya “The Grand Narrative” yang dianggap sebagai dongeng hayalan hasil karya masa Modernitas. Ketidakjelasan definisi-sebagai mana yang telah disinggung menjadi penyebab munculnya kekacauan dalam memahami konsep tersebut. Tentu, kesalahan berkonsep akan berdampak besar dalam menentukan kebenaran berpikir dan menjadi ambigu. Sedang kekacauan akibat konsep berpikir akibat ketidakjelasan-akan membingungkan pelaku dalam pengaplikasian konsep tersebut.
Postmodern bila diartikan secara harfiah, kata-katanya terdiri atas “Post” yang artinya masa sesudah dan “Modern” yang artinya era Modern, karena itu dapat disimpulkan bahwa Postmodern adalah masa sesudah era Modern (era diatas tahun 1960-an).
Banyak versi dalam mengartikan istilah postmodernisme ini. Foster menjelaskan, sebagian orang seperti Lyotard beranggapan, postmodernisme adalah lawan dari modernisme yang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern, karena modernisasi yang eksploitatif menimbulkan perasaan umum akan hilangnya makna kehidupan yang hakiki. Ketiadaan makna dianggap suatu hal yang sangat serius, karena makna merupakan dasar nilai. Pengertian ini membawa kepada sebuah pemahaman bahwa postmodernisme itu adalah sebuah eliminatif dan dekonstruktif yang ingin menciptakan sebuah pandangan dunia baru dengan gerakan anti-pandangan dunia lama. Sedang sebagian lagi seperti Jameson beranggapan, postmodernisme adalah pengembangan dari modernitas seperti yang diungkap Bryan S. Turner dalam Theories of Modernity and Post-Modernity-nya. Pengertian kedua ini membawa kepada sebuah kesimpulan bahwa postmodernisme itu adalah sebuah istilah konstruktif dan revisioner, yaitu suatu pengertian yang memperkenalkan pandangan dunia baru yang diciptakan melalui revisi terhadap premis-premis modern serta konsep-konsep tradisional. Dengan kata lain postmodern itu adalah kelanjutan dari modernism.
Dapat dilihat, betapa jauh perbedaan pendapat antara dua kelompok tadi dalam memahami Postmodernisme. Satu mengatakan, konsep modernisme sangat berseberangan dengan postmodernisme bahkan terjadi paradoks, sedang yang lain menganggap bahwa postmodernisme adalah bentuk sempurna dari modernisme, di mana seseorang tidak mungkin dapat masuk ke jenjang postmodernisme tanpa melalui tahapan modernisme. Dari pendapat terakhir inilah akhirnya postmodernisme dibagi menjadi beberapa bagian, antara lain: Postmodernism Ressistace, Postmodernism Reaction, Opposition Postmodernisme dan Affirmative Postmodernism.
Akibat dari perdebatan antara dua pendapat di atas, muncullah pendapat ketiga yang ingin menengahi antara dua pendapat yang kontradiktif tadi. Zygmunt Bauman dalam karyanya “Post-Modern Ethics” berpendapat, kata “Post” dalam istilah tadi bukan berarti “setelah” (masa berikutnya) sehingga muncullah kesimpulan-kesimpulan seperti di atas tadi. Menurut Bauman, postmodernisme adalah usaha keras sebagai reaksi dari kesia-siaan zaman modernis yang sirna begitu saja bagai ditiup angin. Adapun penyebab dari kesia-siaan zaman modernis adalah akibat dari tekanan yang bersumber dari prasangka (insting,wahm) belaka.
Postmodernisme merupakan konsep periodiasi yang berfungsi untuk menghubungkan kemunculan bentuk-bentuk formal baru dalam sendi kultural dengan kelahiran sebuah tipe kehidupan sosial dan sebuah orde ekonomi yang baru; apa yang secara eufismistis disebut sebagai modernisasi masyarakat pasca industri atau konsumer, masyarakat media atau tontonan atau kapitalisme multinasional.
Bila modernisme mengarahkan pengembangan ilmu ke pengembangan teori dan pengembangan paradigma, atas dasar rasionalitas, maka postmodernisme mengkritik bahwa modernisme telah mengendalikan manusia secara teknis dengan membuat manusia untuk menggunakan prinsip, sistem pembuktian, model logika, serta cara-cara tertentu dalam berpikir rasional, sehingga manusia menjadi obyek sistem, bukan menjadi dirinya sendiri.
Ini berarti postmodernisme tetap mengakui rasionalitas, tetapi memberi kebebasan kepada manusia untuk menempuh jalan kritis-kreatif divergen dalam mencari kebenaran. Posmo bukan hendak membuktikan kebenaran, melainkan hendak mencari kebenaran.
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa perbedaan rasional antara era modern dan era postmodern adalah rasional pada era modern telah dimaknai pada kepentingan kerja dan direduksi menjadi efisiensi atas kriteria untung-rugi serta direduksi lebih lanjut menjadi pragmatik. Sedangkan pada era postmodern kebebasan tampil dalam wujud manusia selaku subyek pencari kebenaran. Manusia bukan obyek yang dikendalikan oleh struktur dan sistem tertentu untuk mencari kebenaran.
Bila perupa modernis mencari hal-hal yang bersifat universal, maka perupa posmodernis malahan berupaya mengidentifikasikan perbedaan. Kalau modernis percaya pada kemungkinan seni sebagai komunikasi universal, posmodernis justru tidak percaya bahwa seni mampu mengemban misi sebagai bahasa komunikasi universal. Mereka bukan mencari hal-hal yang bersifat universal seperti yang dilakukan perupa modernis melainkan mencari perbedaan spesifik dan khusus dengan memperlihatkan pluralisme pandangan, provisional, variabel, pergeseran dan perubahan. Gerakan modernisme kurang menghargai atau memandang rendah nilai keagungan budaya, mereka merasa terpisah dari peristiwa nyata di tengah masyarakat dan peradaban. Sementara gerakan posmodernisme, kendati memiliki sikap skeptis dan kritis terhadap zamannya, tetapi sangat aktif merespons situasi sosial dan politik.
Referensi Makalah
*Berbagai sumber