Perbandingan Syarat Kesahihan Hadis Menurut Imam Lima
Pada: August 20, 2011
Secara umum, syarat-syarat kesahihan hadis menurut kelima Imam (Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi dan al-Nasa’I) adalah sama. Mereka mengakui bahwa sahihnya suatu hadis tidak terlepas dari kelima syarat berikut, yaitu Ittishal sanad, periwayatnya adil dan dhabith, tidak terdapat syadz dan illat di dalamnya.
Akan tetapi, syarat-syarat ini tidak ditetapkan sebagai pedoman dalam menyeleksi dan menghimpun hadis-hadis di dalam kitab mereka kecuali Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Kedua Imam tersebut sangat ketat dalam menyeleksi hadis-hadis yang dihimpun di dalam kitab keduanya, sehingga seluruh hadis-hadis yang mereka himpun di dalamnya sahih seluruhnya, minimal menurut pengarangnya.
Meskipun pada dasarnya syarat-syarat kesahihan Imam Bukhari dan Imam lainnya sama, tapi dari segi kualitas kesahihan hadis (terutama dari segi ittishal sanad, kesiqahan periwayat dan selamat dari cacat), Imam Bukhari lebih tinggi dibandingkan dengan mereka. Penerapan syarat-syarat kesahihan hadis, oleh Imam al-Bukhari lebih ketat dibanding dengan Imam Muslim dan Imam-Imam lainnya, sehingga kitab hadisnya pun demikian. Meskipun ada hadis mu’allaq di dalamnya (kitab Shahih Bukhârî), tetapi menurut sebahagian peneliti bahwa hadis-hadis tersebut telah ditulis secara musnad di bab lain.
Imam Bukhari belum menilai ittishal sanad suatu hadis jika antara satu periwayat dengan periwayat lainnya yang terdekat tidak pernah terjadi pertemuan (al-Liqa’), meskipun mereka semasa. Semasa (Mu’âsharah) belum dapat memberi keyakinan bahwa antara satu periwayat dengan periwayat yang terdekat di atasnya benar-benar telah menerima riwayat darinya. Bahkan persambungan sanad (ittishal) dalam periwayatan harus ditandai dengan lambang-lambang periwayatan yang menunjukkan ittishal sanad. seperti سمعت, حدثني dan أخبرني. Sedangkan jika periwayat menggunakan lafaz عن, maka periwayat tersebut harus terjadi al-Liqâ’ dengan periwayat di atasnya meskipun sekali. Berbeda dengan Imam Muslim yang mencukupkan semasa (al-Mu’âsharah) antara periwayat yang satu dengan periwayat di atasnya telah menunjukkan ittishal sanad. Dengan demikian persyaratan Imam Bukhari lebih ketat dibanding dengan Imam Muslim.
Sedangkan dari segi metode penyusunan hadis, sebahagian Ulama menilai bahwa kitab sahih Muslim lebih sistimatis dan lebih memudahkan bagi pengkaji hadis, karena hadis-hadis yang memiliki makna yang sama atau hampir sama dihimpun dalam satu kitab yang sama, meskipun sanadnya berbeda. Begitu pula matan hadis yang sama, sedang sanadnya berbeda, oleh Imam Muslim dikemukakan seluruh sanadnya, tanpa mengulang matannya. Sedangkan Imam Bukhari meletakkan hadis-hadis yang sama atau hampir sama di tempat yang berbeda, sehingga kita harus mampu membanding-bandingkan antara judul-judul kitab dan bab, kemudian menghubungkan antara judul bab dengan matan hadis yang dikemukakannya.
Selanjutnya, mayoritas Ulama menempatkan tingkatan Imam Abu Daud, Imam al-Tirmidzi dan Imam al-Nasâ’î di bawah Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Penempatan ini ditinjau dari segi kualitasnya, terutama hadis-hadis yang mereka himpun dalam kitab mereka masing-masing. Hadis-hadis yang terdapat di dalam kedua kitab shahihayn seluruhnya shahih, minimal menurut pengarangnya, sedangkan hadis-hadis yang terdapat di dalam Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmidzi dan sunan al-Nasai beragam, ada yang sahih, hasan dan ada yang dha’if. Namun menurut para Ulama bahwa perbedaan kualitas syarat kesahihan hadis di antara para Imam yang lima ini tidak jauh berbeda.
Dari segi sistimatika penulisan kitab hadis, menurut sebahagian ulama, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmidzi dan Sunan al-Nasâ’î lebih sistimatis daripada kitab shahihayn. Sistimatika ketiga kitab sunan itu lebih mudah untuk dikaji. Selanjutnya, mayoritas Ulama menempatkan Imam Abu Daud pada tingkatan pertama setelah Imam Bukhari dan Imam Muslim. Kemudian Imam al-Tirmidzî lalu Imam al-Nasai. Tingkatan ini ditinjau secara umum.
Selain itu, ada Ulama yang menilai Sunan al-Tirmidzi lebih tinggi kualitasnya daripada Sunan Abi Daud dan Sunan al-Nasai. Mereka melihat Sunan al-Tirmidzi dari segi susunannya, mengungkapkan mazhab fiqhi disertai dengan dalil-dalilnya, penjelasan tentang kualitas hadis dan penjelasan tentang nama-nama periwayat, laqab dan kunniyahnya serta kaidah-kaidah lainnya yang berhubungan dengan ilmu rijal. Begitu pula ada Ulama yang menilai Sunan al-Nasai lebih tinggi kualitasnya dari pada Sunan Abu Daud dan Sunan al-Nasai. Penilaian ini didasarkan pada syarat-syarat kesahihan hadis yang terkadang Imam al-Nasai lebih ketat dari mereka ,bahkan Imam al-Bukhari dan Imam Muslim sekalipun. Selain itu, hafalan Imam al-Nasai lebih tinggi dari pada Imam Abu Daud dan Imam al-Tirmidzi, bahkan Imam Muslim.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Jalal al-Dîn ‘Abd al-Rahman bin Abî Bakr al-Suyûthî, Tadrîb al-Râwî fî Syarh Taqrîb al-Nawâwî, Juz.I, Bairut: Dâr al-Fikr, 1988. Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahman bin Abî Bakr al-Suyûthî, Sunan al-Nasâ’î bi Syarh al-Hâfizh Jalâl al-Din al-Suyûthî, Jil. I Bairut: Dâr al-Fikr, 1415 H/1995 M. Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad bin al-Syaukânî, Nayl al-Awthâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr , Juz. I, ttp: Syirkah Iqâmah al-Dîn, 1983. Muhammad Muhammad Abû Syuhbah, Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-Shihhâh al-Sittah Mishr: Majma’ al-Buhûts al-Islamiyyah, 1969. Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Sunan al-Nasâ’î bi Syarh al-Hâfizh Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Jil. I, Bairut: Dâr al-Kutub, tth.