Pernikahan Dini di Indonesia
Pada: August 23, 2011
Fenomena Sosial Pernikahan Usia Anak di Indonesia.Pernikahan usia anak atau lebih dikenal dengan istilah pernikahan di bawah umur merupakan salah satu fenomena sosial yang banyak terjadi diberbagai tempat di tanah air, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Di daerah perkotaan sebanyak 21,75% anak-anak dibawah usia 16 tahun sudah dinikahkan. Di perdesaan, angkanya jauh lebih besar yaitu 47,79 %, yang menampakkan kesederhanaan pola pikir masyarakatnya sehingga mengabaikan banyak aspek yang seharusnya menjadi syarat dari suatu perkawinan. Setelah menikah seorang gadis di desa sudah harus meninggalkan semua aktivitasnya dan hanya mengurusi rumah tangganya, begitu pula suaminya di tuntut lebih memiliki tanggung jawab karena harus mencari nafkah.
Namun secara umum, perkawinan usia anak ini tidak terlepas dari beberapa faktor yang memengaruhi. Menurut Hadi Supeno, ada tiga faktor atau sinyalemen ini yaitu: Tradisi lama yang sudah turun temurun yang menganggap perkawinan pada usia anak-anak sebagai suatu hal yang wajar. Dalam masyarakat Indonesia, bila anak gadisnya tidak segera memperoleh jodoh, orang tua merasa malu karena anak gadisnya belum menikah.
Budaya eksploitatif terhadap anak, yang membuat anak tidak berdaya menghadapi kehendak orang dewasa, baik orang tuanya yang menginginkan perkawinan itu, maupun orang yang mengawini. Ada yang mengeksploitasi anak atas nama ekonomi atau materi, ada yang karena gengsi atau harga diri bisa mengawinkan anaknya dengan orang yang dianggap terpandang tanpa memperdulikan apakah calon suami anaknya sudah beristri atau belum, apakah anak perempuannya sudah siap secara fisik, mental dan sosial ataukah belum. Ada yang mengeksploitasi anak karena mental hedonis, mencari kesenangan pada banyak hal termasuk poligami dengan anak-anak di bawah umur. Ada pula yang karena kelainan mental, pedophilis. Alasan lain bahkan mengeksploitasi anak atas nama agama, walaupun banyak tokoh agama telah tegas menyatakan bahwa perkawinan pada usia anak bukanlah ajaran agama, terutama apabila diklaim sebagai bagian dari sunah Nabi saw.
Secara hukum perkawinan usia anak dilegitimasi oleh Undang-undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini memperbolehkan anak berusia 16 tahun untuk menikah, seperti disebutkan dalam pasal 7 ayat 1, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 (sembilanbelas) tahun, dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enambelas) tahun.” Pasal 26 UU R.I Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, orang tua diwajibkan melindungi anak dari perkawinan dini, tetapi pasal ini, sebagaimana UU Perkawinan, tanpa ketentuan sanksi pidana sehingga ketentuan tersebut nyaris tak ada artinya dalam melindungi anak-anak dari ancaman perkawinan dini.
Faktor ketiga ini, menarik perhatian untuk membuka lembaran sejarah pada saat perumusan Undang-undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Batas usia yang ditawarkan dalam RUU Perkawinan adalah usia 21 tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan. Ketentuan ini mengundang reaksi keras khususnya dari kalangan muslim sendiri, karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Sedangkan ketentuan dalam RUU tersebut merupakan respon terhadap maraknya praktik pernikahan di bawah umur yang terjadi di Indonesia dan berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan pada saat itu. Akhirnya, ketentuan yang disepakati oleh parlemen adalah usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.
Pemberlakuan perundang-undangan perkawinan kurang lebih 34 tahun, ternyata belum mampu memberikan perubahan yang berarti dalam masyarakat. Beberapa daerah di Indonesia berdasarkan laporan pencapaian Millennium Development Goal’s (MDG’s) Indonesia 2007 yang diterbitkan oleh Bappenas (Badan Pengawasan Nasional) menyebutkan, bahwa Penelitian Monitoring Pendidikan oleh Education Network for Justice pada enam desa/kelurahan di Kabupaten Serdang Badagai (Sumatera Utara), Kota Bogor (Jawa Barat), dan Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur) menemukan 28,10 % informan menikah pada usia di bawah 18 tahun. Mayoritas dari mereka adalah perempuan yakni sebanyak 76,03 %, dan terkonsentrasi di dua desa penelitian di Jawa Timur (58,31 %). Angka tersebut sesuai dengan data dari BKKBN yang menunjukkan tingginya pernikahan di bawah usia 16 tahun di Indonesia, yaitu mencapai 25 % dari jumlah pernikahan yang ada. Bahkan di beberapa daerah persentasenya lebih besar, seperti Jawa Timur (39,43 %), Kalimantan Selatan (35,48 %), Jambi (30,63 %), Jawa Barat (36 %), dan Jawa Tengah (27,84 %). Demikian juga temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di Kawasan Pantura, perkawinan anak mencapai 35 %, 20 % di antaranya dilakukan pada usia 9-11 tahun.
Di samping itu, laporan Into A New World: Young Women’s Sexual and Reproductive Lives yang didukung oleh The William H Gates Foundation tahun 1998 telah melansirkan, usia pertama kali melahirkan di Indonesia antara usia 13-18 tahun mencapai 18 % dan pernikahan di bawah usia 18 tahun mencapai 49 % pada tahun 1998. Kondisinya saat ini tidak jauh berbeda, berdasarkan hasil penelitian PKPA tahun 2008 di Kabupaten Nias, angka pernikahan antara 13-18 tahun berjumlah 9,4 % dari 218 responden perempuan yang telah menikah dan akan menikah. Angka pernikahan pada usia muda bagi anak perempuan 3 kali lebih besar dibanding dengan anak laki-laki (Data Populasi Nias dan Nias Selatan, BPS Tahun 2005). Di Kota Malang menurut catatan kantor Pengadilan Agama (PA) Kota Malang angka pernikahan di bawah usia 15 tahun meningkat 50 % dibanding 2007, hingga September 2008 tercatat 10 pernikahan yang usia pengantin perempuannya masih dibawah 15tahun. Data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dari 2 juta perkawinan sebanyak 34,5 % kategori pernikahan dini. Data pernikahan dini tertinggi berada di Jawa Timur. Bahkan lebih tinggi dari angka rata-rata nasional yakni mencapai 39 %.
Fenomena pernikahan pada usia anak di daerah lainya tidaklah jauh berbeda mengingat fakta perilaku seksual remaja yang melakukan hubungan seks pra-nikah sering berujung pada pernikahan dini serta kultur masyarakat Indonesia yang masih memosisikan anak perempuan sebagai warga kelas kedua dan ingin mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan ekonomi dan sosial. Anggapan pendidikan tinggi tidak penting bagi anak perempuan dan stigma negatif terhadap status perawan tua. Posisi tersebut dalam perspektif kesetaraan dan keadilan gender berarti telah memarginalkan pihak perempuan.
Tingginya angka pernikahan usia anak, menunjukkan bahwa pemberdayaan law enforcement dalam hukum perkawinan masih rendah. Apapun alasannya, masa muda adalah masa yang sangat indah untuk dilewatkan, dengan hal-hal yang positif. Masa muda adalah waktu untuk membangun emosi, kecerdasan dan fisik. Ketiganya merupakan syarat dalam menjalani kehidupan yang lebih layak pada masa depan. Fenomena tersebut menuntut perhatian semua pihak untuk memperhatikan masa depan anak sebagai generasi yang akan melanjutkan pembangunan bangsa dan negara. Haruskah direnggut kemerdekaan anak hanya karena sebuah ketakutan? Benarkah pernikahan di bawah umur satu-satunya solusi atas kekahwatiran-kekhawatiran yang ada? Pertanyaan ini dapat di jawab dengan sikap ilmiah dan bijaksana.
Perkembangan pemikiran hukum Islam dalam masalah perkawinan berkembang sangat menarik pada masa pra undang-undang perkawinan dan masa-masa sesudahnya. Ide perumusan Rancangan Undang-undang Perkawinan dimulai sejak tahun 1950.
*Berbagai sumber