Al-Razi (Pandai Memainkan Musik)
Pada: September 07, 2011
Al-Razi, demikian panggilan dan sapaan “mesra” bagi sosok Rhazes (namanya di dunia barat) yang merupakan salah seorang pakar sains dan ahli filsafat Iran yang hidup antara tahun 865–925 M. Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria ibn Yahya al-Razi. Ia dilahirkan pada tanggal 1 Sya’ban 251 H/865 M di Rayy, sebuah kota tua yang dulunya disebut Rhogee, di Propinsi Khurasan dekat Teheran, Republik Islam Iran.
Ada beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggil al-Razi, yakni Abu Hatim al-Razi, Fakhruddin al-Razi dan Najmuddin al-Razi. Oleh karena itu, untuk membedakan al-Razi, sang filosof ini dari tokoh-tokoh lain, perlu ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar yang merupakan nama kunyah-nya (gelar-nya).
Sejak kecil, al-Razi telah menunjukkan minat yang besar terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini terbukti sebagian ahli sejarah sebagaimana dikutip oleh Hery Sucipto bahwa al-Razi sebenarnya telah telah menggeluti filsafat, kimia, matematika dan kesusasteraan sejak usia muda. Namun ketekunannya mendalami ilmu yang membesarkan namanya di samping filsafat yaitu kedoteran, baru tampak justru di usia tua.
Sejarah membuktikan bahwa pada masa mudanya ia pernah menjadi tukang intan, penukar uang, dan pemain kecapi bahkan ia telah pandai memainkan musik harpa dan menekuni musik vokal. Namun ketika beranjak dewasa, dia meninggalkan hobinya ini seraya mengatakan bahwa musik yang berasal dari antara kumis dan jenggot tidak punya daya tarik dan pesona untuk dipuji serta dikagumi. Sejak inilah, beberapa sumber menyebutkan al-Razi lebih banyak menfokuskan dirinya pada tradisi intelektualisme di sekitar filsafat, logika, eksakta dan kedokteran.
Ada beberapa faktor yang turut mendukung kecenderungannya dalam dunia keilmuwan. Di antaranya adalah kelurga al-Razi terutama ayahnya sangat arif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini terbukti dari sikap ayahnya yang tidak menghalangi bakat al-Razi menjadi seorang intektual. Sekalipun sebenarnya ayahnya berharap al-Razi mengikuti profesinya sebagai seorang pedagang. Namun ternyata, sekali lagi al-razi lebih memilih bidang intelektual dari pada pedagang. Abdul Latif Muhammad al-‘Abd mengomentari bahwa pilihannya itu merupakan sebuah indikasi ia memilih perkara-perkara yang lebih besar ketimbang hanya mementingkan materi belaka.
Di samping orang tuanya, yang mendorong minat al-Razi adalah lingkungan tempat ia berdomisili. Telah dimaklumi bahwa Iran, yang sebelumnya dikenal terkenal sebutan Persia, sejak lama sudah masyhur dengan sejarah peradaban manusia. Kota ini merupakan tempat pertemuan beberapa peradaban, terutama peradaban Yunani dan Persia. Oleh karena itu, tidak mengherankan kota-kota di Persia (Iran) itu telah mengenal peradaban yang tinggi jauh sebelum bangsa Arab mengenalnya.
Bukan hanya Iran atau Persia, tetapi Baghdad pun sangat mempengaruhi bakatnya tersebut. Karena kala itu, Baghdad dikenal pada puncak keemasan intelektualisme. Baghdad yang kala itu menjadi pusat pemerintahan imperium Bani Abbasiyah, semakin menegaskan diri sebagai pusat ilmu pengetahuan, khususnya ketika tahta kekuasaan diduduki oleh khalifah al-Manshur (754-775 M), Harun al-Rasyid (w. 809 M), hingga khalifah al-Makmun (813-833 M). Di kota Baghdad ini al-Razi berguru pada Humayun ibn Ishaq, seorang ulama yang menguasai ilmu pengobatan dengan baik. Dari guru yang telah lama berpraktek inilah, al-Razi menguasai dasar-dasar teknik pengobatan.
Al-Razi terkenal sebagai seorang dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya, karena itu ia sering memberikan pengobatan cuma-cuma kepada orang-orang miskin. Dengan kata lain, ilmu yang dimilikinya dipergunakan sebagai bukti pengabdiannya kepada masyarakat. Dalam waktu tak lama, lantaran kepakarannya, ia peroleh perhatian khusus dari penguasa setempat. Karena reputasi dan keahliannya itulah kemudian pemerintah memutuskan member amanat pada dirinya untuk memimpin sebuah rumah sakit di Rayy Teheran pada masa pemerintahan gubernur al-Manshur ibn Ishaq. Tidak lama kemudian, ia harus meninggalkan kota kelahirannya untuk memenuhi panggilan penguasa Baghdad tempat asal dia menuntut ilmu. yaitu khalifah al-Muktafi. Di sana, al-Razi diberikan kepercayaan sebagai kepala rumah sakit di kota yang juga dikenal sebutan “kota seribu satu malam” ini. Hanya saja setelah al-Muktafi meninggal, iapun kembali ke kota kelahirannya, kemudian berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Fakta ini menjadi sebuah bukti, bahwa selain memberikan teori-teorinya, al-Razi juga langsung mempraktikkan ilmunya dalam perawatan pasien di berbagai rumah sakit di Teheran dan Baghdad.
Di samping sebagai seorang dokter, al-Razi pun ahli dalam bidang-bidang keilmuan yang lain. Hal itu terlihat, dari banyaknya karya tulis yang dihasilkannya, demikian pula pengakuan dari beberapa sejarawab Barat, misalnya saja Geoger Sarton, mengomentari al-razi dengan cerdas sekali. Katanya, “al-Razi dari Persia itu bukan hanya seorang tabib terbesar dunia Islam dan abad pertengahan. Ia juga kimiawan dan fisikawan. Ia bisa dinyatakan sebagai salah seorang perintis latrokimia. Beliau memadukan pengetahuannya yang luas melalui kebijaksanaan hippokratis. Di bidang filsafat, ia dikenal sangat kritis terhadap pandangan dan tradisi orang lain di lingkungannya. Demikian kritisnya, ia dianggap sebagai seorang filosof yang berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya sekalipun itu bertentangan dengan paham yang dianut umat Islam secara umum. Misalnya saja, tidak percaya pada wahyu, al-Qur’an bukan mukjizat, dll.
Perjalanan panjang yang telah dilewatinya dalam dunia intelektualisme pada akhirnya memang di luar dugaan. Di tengah keseriusan dan makin meningkatnya ilmu yang dimiliki, al-Razi yang makin menua usia ini terserang penyakit katarak hingga membuat matanya buta. Penglihatannya praktis tidak berfungsi. Akan tetapi, ketika dianjurkan untuk berobat ia menolak dengan mengatakan pengobatan akan sia-sia belaka karena sebentar lagi ia akan meninggal. Bahkan dalam referensi yang lain disebutkan bahwa ia dianjurkan untuk berobat (berbekam), konon ia menjawab, “Tidak, aku sudah demikian lama melihat seluruh dunia ini sehingga aku pun lelah karenanya”.
Al-Razi termasuk seorang filosof yang rajin belajar dan menulis sehingga tidak mengherankan ia banyak menghasilkan karya tulis. Dalam autobiografinya sebagaimana dikutip oleh Sirajuddin Zar pernah ia katakana bahwa ia telah menulis tidak kurang dari 200 buah karya tulis dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, kecuali matematika, karena beberapa alasan yang tidak diketahui, betul-betul dihindarinya. Dalam bidang medis, karyanya yang terbesar adalah al-Hawi yang kemudian terkenal dengan sebutan al-Jami’ yaitu ikhtisar ilmu kedokteran, diterjemahkan ke dalam bahasa latin pada tahun 1279 dengan judul Contines dan beredar luas di lingkungan ilmu kedokteran sampai abad ke-XVI. Di samping karya-karyanya yang hampir setiap aspeknya menyangkut bidang kedokteran ada pula karya-karyanya yang berkaitan dengan filsafat, kimia, astronomi, tata bahasa, teologi, logika, dan ilmu pengetahuan lainnya. Adapun tulisan-tulisan filsafatnya itulah yang paling bersangkut-paut dengan makalah ini yang terpenting di antaranya al-Tibbu al-Ruhani, al-Sirah al-Falsafiyyah, dan lainnya. Sebagian karya tulisnya telah dikumpulkan menjadi satu kitab yang bernama al-Rasail al-Falsafiyyat. Hanya saja karya tulis al-razi lebih banyak yang hilang sehingga sulit mencantumkan nama buku dan isinya satu persatu.
Kepustakaan:
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008, Abdul Latif Muhammad al-‘Abd, Usul al-Fikr al-Falsafi ‘ind Abi Bakr al-Razi. Kairo: al-Maktabah al-Fanniyah al-Hadisah, 1977, Hery Sucipto, Cahaya Islam; Ilmuwan Muslim Dunia Sejak Ibnu Sina hingga B.J. Habibie. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2006, Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafah al-Islamiyah Manhajuhu wa Tatbiquhu, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1976, Mochtar Effendy, Ensiklopedia Agama & Filsafat. Palembang: Widyadara, 2001, Sudarsono, Filsafat Islam. Rineka Cipta, 1996, Ahmad Fuad al-Ahwani, al-Falsafah al-Islamiyyah. Kairo: Dar al-Qalam, 1985, Ahmad Abdul Aziz, Ensiklopedia Islam. Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2006.