Biografi dan Pemikiran al-Ghazali
Pada: September 13, 2011
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali bergelar Hujjat al-Islam Zainu al-Din al-Tusi al-Syafi‘iy, secara singkat dipanggil dengan al-Ghazali karena dilahirkan di Ghazlah, sebuah kota di wilayah Khurasan Iran pada tahun 450 H./1058 M. tiga tahun setelah dinasti Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
Ayah al-Ghazali adalah seorang pemintal kain wol miskin yang taat, menyenangi ulama, dan aktif menghadiri majlis-majlis pengajian. Menjelang wafatnya, dia menitipkan al-Ghazali bersama adiknya Ahmad kepada seorang Sufi. Ia sekaligus menitipkan sedikit harta kepada sufi tersebut, seraya memberikan sebuah wasiat: “Saya sangat menyesal karena tidak belajar menulis, saya berharap untuk mendapatkan apa yang tidak saya peroleh itu melalui dua putraku ini”.
Sufi tersebut mendidik dan mengajar keduanya, sampai suatu hari harta titipannya habis, dan sufi itu tidak mampu lagi memberi makan keduanya. Selanjutnya sufi itu menyerahkan keduanya untuk belajar pada pengelola sebuah madarasah sekaligus untuk menyambung hidup mereka. Selama berada di Naisabur, al-Ghazali tidak hanya belajar kepada al-Juwaini melainkan juga mempergunakan waktunya untuk belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf al-Nasaj. Kemudian ia melakukan latihan dan praktek tasawuf meskipun hal itu belum mendatangkan pengaruh yang berarti dalam langkah hidupnya.
Ilmu-ilmu yang didapatkan al-Ghazali dari al-Juwaini benar-benar dikuasai. Termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut. Ia pun mampu memberikan sanggahan kepada para penentangnya. Karena kemahirannya dalam masalah ini, al-Juwaini menjuluki al-Ghazali dengan sebutan “Bahr al-Mu’riq” (lautan yang menghanyutkan). Kecerdasan dan keluasan wawasan berfikir yang dimiliki al-Ghazali menjadikannya semakin popular. Bahkan, ada riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Haramain mengakui kehebatan al-Ghazali.
Sejak itu nama al-Ghazali menjadi termasyhur di kawasan kerajaan Saljuk, kemasyhuran itu menyebabkannya dipilih oleh Nizam al-Muluk untuk menjadi guru besari di Universitas Nizamiyyah Baghdad pada tahun 482 H./1090 M. Selain mengajar di Nizhamiyyah, ia juga aktif mengadakan diskusi dengan golongan-golongan yang berkembang pada masa itu.
Pribadi al-Ghazali sangatlah terkenal dikalangan ilmuan Islam. Tidak hanya dikenal ahli dalam satu cabang ilmu melainkan meliputi sederetan cabang ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali dikenal sebagai ahli Fikih, ahli Ushul, ahli dalam Ilmu Akhlak, ahli dalam ilmu Tarbiyah dan ilmu Jiwa, ahli ilmu Ekonomi, bahkan juga dikenal Imam yang Salafi, dan Sufi.
Al-Ghazali merupakan orang yang pertama yang mendalami filsafat dan sanggup mengeritiknya, hal ini belum pernah dilakukan filosof lain sebelumnya. Menurut al-Ghazali, para filosof memiliki banyak kesalahan dalam lapangan ketuhanan (metafisika). Mereka tidak bisa melakukan penelitian pada rana ketuhanan sebagaimana yang mereka terapkan terhadap tataran lapangan logika, sehingga menyebabkan banyak kesalahan yang ketika dikonfirmasikan dengan pemahaman agama sangat bertentangan. Hal itu membawa kepada hal-hal yang bertentangan langsung dengan agama, bahkan ingin menyingkirkan pengaruh agama sehingga terangkumlah sebuah kesimpulan bahwa nilai-nilai filsafatlah yang tertinggi sementara nilai-nilai agama adalah lebih rendah.
Al-Ghazali dalam mengkritik pendapat para filosof, adalah dengan menyusun sebuah kitab yang berjudul Tahafut al-Falasifah. Dalam buku ini, al-Ghazali memberikan kritik terhadap dua puluh permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebut adalah: Alam qadim (tidak bermula), Alam kekal (tidak berakhir), Tuhan tidak mempunyai sifat, Tuhan tidak dapat diberi sifat al-Jins (jenis) dan al-Fasl (diferensial), Tuhan tidak mempunyai Mahiyyah (hakekat), Tuhan tidak mengetahui Juz’iyyat(perincian yang ada di alam), Planet-planet adalah bintang-bintang yang bergerak dengan kemauan, Jiwa-jiwa planet mengetahui Juz’iyyat, Hukum tidak berubah, Jiwa manusia adalah substansial yang berdiri sendiri, bukan tubuh dan bukan pula ‘arad (accident), Mustahilnya jiwa hancur, Tidak adanya kebangkitan jasmani, Adanya tujuan bagi gerak planet. Begitupula tentang Ketidak sanggupan mereka (filosof) membuktikan :Tuhan adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaan Tuhan, Adanya Tuhan, Mustahilnya ada dua Tuhan, Tuhan bukanlah tubuh, Tuhan mengetahui esensinya, Tuhan mengetahui wujud lain, Alam yang qadim mempunyai pencipta.
Melihat sekian banyak masalah yang dibahas, Al-Ghazali menganggap tidak semua dari masalah tersebut menyebabkan kekafiran. Dia hanya menitikberatkan kekeliruan filosof yang membawa kepada kekafiran adalah pada tiga hal;
- Pendapat bahwa alam qadim
- Tuhan tidak mengetahui Juz’iyyat, dan
- Tidak adanya kebangkitan jasmani.
Adapun pendapat mereka yang lain, dianggap dekat dengan paham Muktazilah dan itu tidak mesti dikafirkan. Berdasarkan ini pula, maka yang akan kami angkat dalam penjelasan ini difokuskan pada tiga permasalahan yang menyebabkan kekufuran tersebut.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (cet.II; Jakarta : Bulan Bintang, 1989). Yunasir Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam, (cet.I; Jakarta : Bumi Aksara, 1991). Fathiyah Hasan Sulaiman, Madzahib fi al-Tarbiyah, Bahts fi al-Madzhab al-Tarbawi ‘Inda al-Ghazali, (cet.II; Mesir : maktabah al-Nahdhah, 1964). H.A.Mustofa, Filsafat Islam, (cet.I; Bandung : CV.Pustaka Setia, 1997). Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (cet.IV; Jakarta : UI-Press, 1986), Jilid II. Muhammad Yusuf Musa, Bain al-Din wa al-Falsafah fi Ra’y Ibn Rusyd wa al-Falasifah al-‘Ashr al-Wasith, (cet.II; Mesir : Dar al-Ma’arif, tth.). Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (cet.VIII; Jakarta : Bulan Bintang, 1992). Nurcholis Madjid, Khazanah Inteletual Islam, (cet.III; Jakarta : Bulan Bintang, 1994). Imam al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal, (Kairo : Maktabah al-Faqih li al-Nashr, 1961).