Biografi dan Perjalanan Hidup Rabiah al-Adawiyyah
Pada: September 13, 2011
Nama lengkapnya adalah Ummu al-Khair Rabi’ah binti Isma’il al-‘Adawiyyah al-Qissiyah, dilahirkan di kota Basrah Irak pada Tahun 95 H (713 M) dan meninggal tahun 185 H (801 M) di Basrah. Ia merupakan anak keempat dalam keluarganya sehingga inilah yang mendasari ayahnya memberikan nama “Rabi’ah” kepadanya. Ia lahir dan tumbuh dari keluarga miskin. Bahkan disebutkan, ketika Rabi’ah lahir, keluarganya tidak mempunyai persiapan minyak untuk menyalakan lampu dan tidak ada kain untuk selimut sang bayi. Lebih dari itu, Fariduddin Attar (513 H/1119 M-627 H/1230 M), penyair mistik Persia, dalam melukiskan keprihatinan Rabi’ah menulis bahwa ia dilahirkan di rumah, di mana tidak ada sesuatu pun yang dapat dimakan dan yang dapat dijual.
Di saat ibu Rabi’ah (istri Ismail) meminta suaminya untuk pergi ke rumah tetangga-tetangga untuk memohon bantuan supaya anaknya yang baru dilahirkan itu dapat diselimuti dengan sepotong kain. Namun ternyata tidak seorang pun dari mereka yang mau membukakan pintu. Ismail kemudian menghibur istrinya dengan berkata, “Istriku, tetangga kita semuanya masih lelap dalam tidurnya. Bersyukurlah kepada Allah swt., karena selama hidup kita belum pernah meminta-minta. Tentu lebih baik jika anak kita diselimuti dengan kain milik kita sendiri, walaupun keadaannya masih basah. Yakinlah berserahlah sepenuhnya kepada Allah swt. Dia pasti akan memberikan jalan penyelesaian yang terbaik terhadap persoalan yang sedang kita hadapi ini. Hanya Dialah Yang Maha Memelihara serta Memberi rezeki kepada kita. Percayalah apa yang aku katakan padamu wahai istriku.” Demikian gambaran suasana kehidupan Rabi’ah sejak ia dilahirkan.
Sejak kecil, Rabi’ah sudah merasa dan memahami kondisi ekonomi orang tuanya, sehingga dia tidak menuntut banyak dari keduanya. Ia selalu menerima apapun yang diberikan kepadanya. Karena latar belakang keluarga yang seperti itu, Rabi’ah tumbuh sebagai wanita yang berusaha menjauhi hal-hal yang syubhat, sekaligus membentuk pribadinya sebagai sosok manusia mulia dengan budi pekerti atau akhlak mulia. Di antara sifat terpujinya adalah bijaksana dalam segala tindak-tanduknya, berpenampilan simpatik dan sopan. Ingatannya sangat kuat, sehingga hapal al-Qur'an dalam usia 10 tahun. Allah memberi karunia ilmu pengetahuan kepada Rabi’ah lewat ilham dan kedalaman makrifat.
Orang tua Rabi’ah meninggal sebelum ia menginjak dewasa, ia berpisah dengan saudara-saudaranya. Konon pada saat kota Basrah dilanda kelaparan, kondisi yang tidak menguntungkan, Rabi’ah dilarikan penjahat dan dijual kepada suatu keluarga dengan harga enam dirham. Pada keluarga itulah, ia menjadi hamba sahaya yang harus bekerja siang dan malam. Hanya saja, dalam keadaan yang menderita ia tetap menepati waktu shalat, dan sangat memperhatikan shalat malam, dengan kata lain tak pernah lepas dari zikir. Pada suatu saat, Pada suatu malam, tuannya sempat terbangun dari tidurnya dan dari jendela kamarnya ia melihat Rabi’ah sedang sujud beribadah. Dalam shalatnya Rabi’ah berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku, Engkau-lah Yang Maha Mengetahui keinginan dalam hatiku untuk selalu menuruti perintah-perintah-Mu. Jika persoalannya hanyalah terletak padaku, maka aku tidak akan henti-hentinya barang satu jam pun untuk beribadah kepada-Mu, ya Allah. Karena Engkau-lah yang telah menciptakanku.” Tatkala Rabi’ah masih khusyuk beribadah, tuannya tampak melihat ada sebuah lentera yang tergantung di atas kepala Rabi’ah tanpa ada sehelai tali pun yang mengikatnya.
Melihat peristiwa aneh yang terjadi pada budaknya itu, majikan Rabi’ah tentu saja merasa ketakutan. Ia kemudian bangkit dan kembali ke tempat tidurnya semula. Sejenak ia tercengang hingga fajar menyingsing. Tak lama setelah itu ia memanggil Rabi’ah dan bicara kepadanya dengan baik-baik seraya membebaskan Rabi’ah sebagai budak. Rabi’ah pun pamitan pergi dan meneruskan pengembaraannya di padang pasir yang tandus.
Setelah Rabi’ah dibebaskan, dalam hidup selajutnya ia banyak beribadah, bertaubat dan menjauhi duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan kepadanya. Bahkan dalam doanya, ia tidak pernah meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat pada-Nya.
Di Basrah, Rabi’ah mempunyai majlis zikir dan sering dikunjungi oleh para zahid yang lain, di antara mereka adalah Malik bin Dinar (w.130), Sufyan Al-Tsauri (w.161) dan syaqiqi al Balkhi (w.194). Di antara ucapannya yang terkenal tentang zuhud adalah ketika seorang hartawan menawarkan kepada Rabi’ah al-‘Adawiyyah; “mintalah kepadaku segala kebutuhanmu”. Dijawab oleh Rabi’ah; ”Aku ini malu meminta hal-hal duniawi kepada Sang Pemiliknya, maka bagaimana bisa aku minta hal itu kepada yang bukan pemiliknya”.
Dalam menjalani hidupnya ia dikenal sebagai seorang zahid dengan selalu mengabdi kepada Allah, dan seorang zahid yang tidak menikah walaupun termasuk wanita yang cantik dan cerdas. Bahkan ia selalu menolak lamaran-lamaran pria dengan mengatakan, “Akad nikah adalah pemilik alam semesta. Sedangkan bagi diriku, hal itu tidak ada. Karena aku telah berhenti maujuddan lepas dari diri. Aku maujud dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-Nya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya. Akad nikah mesti diminta darinya, bukan dariku”. Jawaban itu merupakan cara halus penolakannya.
Rabi’ah menghabiskan sebahagian besar hidupnya di Basrah dan mencapai kemasyhurannya sebagai sufi yang dihormati. Rabi’ah menjadi sufi tanpa melalui guru, tetapi langsung dari pengalamannaya sendiri. Rabi’ah tidak meninggalkan ajarannya secara tertulis langsung dari tangannya sendiri melainkan melalui murid-muridnya dan baru tertulis setelah beberapa lama dari kematiannya.
*Dikutip dari berbagai sumber