Epistemologi Pemahaman Tekstual Hadis Nabi
Pada: September 02, 2011
Hadis Nabi sejak dari periode awal, telah mendapatkan perhatian dikalangan sahabat-sahabat Nabi. Perhatian itu ditunjukkan dari upaya serius mereka untuk selalu ingin tahu tentang hal-hal yang bersumber dari Nabi. Mereka menghafalkannya, bahkan ada yang menuliskannya. Perhatian seperti ini semakin lama semakin signifikan. Terlebih lagi ketika mereka menyadari bahwa informasi yang tersedia dalam kitab suci yang pada saat itu masih dalam proses pewahyuan belum sempurna, sehingga belum mampu menjawab seluruh problema kehidupan mereka. Di sisi lain, ayat-ayat al-Qur’an dalam banyak hal menggunakan bahasa yang ijmaliy (global) yang masih membutuhkan uraian dan penjelasan lebih lanjut. Atas dasar pertimbangan itu, menjadi titik tolak bagi setiap keteladanan dan tuturan Nabi sebagai pilihan selanjutnya sebagai patron dalam kehidupan mereka. Mereka mengadukan dan menanyakan berbagai hal kepada Nabi mulai dari persoalan kecil hingga yang besar; umum ataupun pribadi.
Keberadaan Nabi di tengah-tengah mereka menyebabkan setiap bimbingan dan tuturannya terasa sangat menyentuh dan mengakar pada realitas kehidupan mereka. Apalagi bila disadari bahwa personifikasi Nabi Saw. adalah sosok yang memiliki kemampuan komunikasi yang handal; balig, jelas, sederhana, singkat-padat (jawami’ al-Kalim), kondisional dan sebagainya. Kenyataan ini semakin memantapkan posisi hadis Nabi sebagai sumber etik dan moral (moral of conduct) sehingga pada tahap selanjutnya terjadi transmisi-periwayatan hadis secara massif dan komunal yang melibatkan berbagai pihak; sahabat-sahabat Nabi, istri-istri mereka, anak-anak mereka dan selainnya.
Hadis Nabi menjadi sumber norma di tengah masyarakat muslim yang terdiri dari berbagai segmen masyarakat. Di antara mereka ada kalangan cerdik-cendekia, birokrat, pedagang, sastrawan; masyarakat kota, badu’i dan sebagainya. Interaksi antara sekian segmen masyarakat tersebut melahirkan beragam warna dan corak pemahaman terhadap hadis Nabi. Diantara corak pemahaman yang menonjol pada saat itu adalah corak pemahaman tekstual. Satu corak penafsiran yang mengacu pada kohesifitas teks. Hal ini antara lain disebabkan karena mereka adalah objek khitab teks-teks hadis, sehingga tidak ada kebutuhan mendesak untuk menafsirkan atau mentakwilkannya lebih jauh. Hal lain, walaupun kehidupan mereka heterogen, namun heterogenitas mereka masih dalam bingkai kultur Arab. Selain corak tekstual, tentunya juga muncul pemahaman corak kontekstual.
Eksistensi corak pemahaman tekstual tidak saja menjadi pilihan banyak umat Islam pada masa kenabian, namun pada masa selanjutnya tetap survive dan menjadi pioner dan mainstream pemahaman yang menjadi pilihan banyak umat Islam hingga mencapai puncaknya pada abad III H/IXM di bawah ketokohan Ahmad bin Hanbal (164-241 H/ 780-855M) dan abad XII M. oleh imam al-Gazali (1058-1111M). Bahkan, hingga di abad komtemporer ini alur pemikiran ini masih sangat kuat mempengaruhi banyak pemikir muslim. Padahal ditinjau dari segi perubahan zaman, tantangan dan problema hidup, heterogenitas komunal, aspek yang sering dan dominan melatarbelakangi lahirnya perbedaan pemahaman lebih kompleks, sehingga seharusnya pemahaman kontekstuallah yang dapat mewakili kondisi masyarakat dalam kondisi kekinian.
Menarik untuk melacak, kenapa mereka masih memilih corak pemahaman tekstual sedangkan terjadi perubahan yang besar dalam kehidupan mereka. Menguraikan satu persatu hasil pemikiran tekstual dari setiap zaman dengan tokoh-tokoh masing-masing adalah suatu hal yang menarik, namun tentulah tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas itu semua. Olehnya itu, hal yang tak kalah pentingnya adalah mencari benang merah dari setiap jalinan pemikiran corak ini; paradigma atau epistemologi apa yang mendasarinya.
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber