Hadis Nabi; Wahyu atau Sabda
Pada: September 02, 2011
Suatu hal yang tak dapat disangkal bahwa peradaban Islam dibangun di atas peradaban teks; al-Quran (al-Hadharah al-Nass). Khususnya sejak kuarter kedua dari abad I Hijriah setelah penyusunan mushaf Ustmaniy untuk al-Quran, dan awal abad kedua Hijriah di masa pemerintahan Umar bin Abdul Asiz untuk hadis Nabi. Realitas ini semakin kokoh pada abad-abad selanjutnya, hal ini antara lain disebabkan karena fakta dan dokumentasi historis dari kelahiran teks-teks tersebut sudah mulai kabur sehingga teks menjadi berdiri sendiri (otonom).
Kenyataan bahwa Islam dibangun di atas otoritas teks, bukan berarti bahwa tekslah yang membangun peradaban. Sebab teks apapun tidak dapat membangun dan menegakkan ilmu pengetahuan dan peradaban. Teks hanyalah bersifat pasif dan objektif. Sedang yang membangun dan menegakkan peradaban adalah manusianya sendiri atas dialektikanya dengan realitas di satu sisi, dan dialognya dengan teks di sisi yang lain (proses mengaktifkan dan mensubjektifkan teks) .
Dalam studi teks, teks keagamaan oleh beberapa intelektual dibedakan dengan teks selainnya. Diantara ciri dan karakter menonjol dari sebuah teks keagamaan, seperti al-Quran adalah 1) trasenden; kalam Ilahi, 2) universal, 3) metaforis. Al-Quran dianggap trasenden karena ia diyakini berasal dari kalam Allah yang diwahyukan kepada Muhammad saw, melalui perantaraan malaikat Jibril. Ia bersifat Universal karena al-Quran sebagai kitab suci agama Islam diturunkan kepada umat manusia (rahmat li al-Alamin) di berbagai belahan dunia di sepanjang zaman (fi kulli zaman wa makan). Sedangkan ciri metaforis karena al-Quran banyak mengandung tema-tema imaniy atau metafisik (Tuhan, malaikat, jin, syaitan, pahala, dsb), eskatologis (hari kiamat, surga, neraka dsb), maka agar dekat dengan pemahaman manusia digunakanlah bahasa atau ungkapan yang dipahami manusia untuk menggambarkannya.
Dari ketika ciri dan karakteristik teks keagamaan di atas, maka bagi penganut mazhab tekstual ciri yang pertamalah yang mendomonasi pemikiran mereka.
Ciri transenden adalah suatu hal yang mutlak bagi al-Quran dan berbeda dengan teks-teks lainnya. Karena teks kitab suci (al-Quran) secara eksistensi diyakini berasal dari Allah swt. (baca: kalam Ilahi). Sedangkan teks lainnya hanya merupakan hasil dari kreasi manusia itu sendiri dan lepas dari unsur-unsur trasendental. Walaupun dalam pemikiran sejarah ilmu bahasa dari perspektif teologi mengatakan bahwa bahasa yang merupakan awal dari lahirnya teks merupakan pemberian Tuhan yang diajarkan Allah kepada Adam; wa ‘allama Adam al-Asma’, namun bagaimanapun argumentasi ini tentu tetap saja teks kitab suci berbeda dengan teks selainnya.
Eksistensi teks al-Quran yang berasal dunia trasenden menyebabkan umat Islam sangat mensakralkannya hingga kesakralan itu menyebabkan lahirnya sikap kehati-hatian yang kadang kurang proporsional dalam memperlakukan ayat-ayat al-Quran. Cenderung menerima apa adanya, sami’na wa atha’na, atau pada sikap sebagian mereka yang menjadikan potongan-potongan ayat al-Quran sebagai jimat-jimat yang dibungkus dalam kain yang diikatkan pada bagian tubuh mereka, atau mereka yang menuliskan ayat-ayat tertentu lalu dipajang di dinding-dinding rumah untuk menghalangi masuknya syaitan, jin dan makhluk halus lainnya ke dalam rumah. Dalam hal studi ilmiah keadaan yang sama juga terjadi, sebagaimana sorotan keras yang dialami oleh Amin al-Khulli; suami Aisyah Abdurrahman bint Syathi’, ketika beliau mencetuskan pemikirannya untuk memposisikan al-Quran sebagai kitab al-Adab al-Kabir, dalam pengertian bahwa untuk memahami al-Quran seharusnya al-Quran itu diposisikan sebagai kitab sastra Arab terbesar sehingga hakikat dan wataknya sebagai teks bahasa menempatkannya dapat dikaji lebih terbuka dari segi bahasa tanpa dikunkung dan diselimuti oleh rasa takut berdosa yang berlebihan. Pandangan al-Khulli di atas, oleh sebagian ulama dimaknai berbeda. Mereka menilai ada maksud terselubung al-Khulli untuk menghilangkan aspek-aspek Ilahiah dari al-Quran.
Kesakralan al-Quran tidak hanya terbatas pada hal di atas, bahkan dalam memahami ayat-ayat al-Quran sebagian besar umat Islam lebih memilih memahami makna–makna ayat secara sederhana; memahami makna kata atau mufradat al-Quran dengan tekstual tanpa melihat lebih jauh aspek-aspek lain yang tentu dan mungkin terkait dengan turunnya ayat itu.
Pilihan pemahaman tekstual didasarkan pada argumentasi bahwa teks-teks itu adalah teks berbahasa Arab, sedangkan dalam struktur bahasa Arab memahami teks dengan makna al-haqiqah (baca juga: al-Lafdziah, al-Awwaliyah), itu lebih diutamakan. Apalagi karena mereka adalah objek khitab dari nash-nashtersebut, sehingga makna al-haqiqah tidak mendesak untuk ditafsirkan ataupun dita’wilkan. Faktor lain, bagi mereka pemilihan kosa-kata adalah otoritas Allah dan tentu memiliki rahasia serta maksud-maksud tertentu, memahaminya lebih jauh dan memalingkannya dari makna lahirnya dapat menyebabkan maksud dan kandungan ayat menjadi kabur dan keliru. Al-Quran dan hadis Nabi dalam beberapa literatur diposisikan berasal dari sumber yang sama. Perbedaan keduanya hanya pada bentuk dan tingkat otentisitasnya, bukan pada substansinya. Untuk hal ini sunnah kemudian dikategorikan sebagai wahyu ghayra mathlu.
Dalam studi klasik, ulama telah berusaha mengklasifikan dan membedakan antara wahyu mathlu danghairu mathlu dengan tiga bagian yaitu: al-Quran sebagai wahyu mathlu, sedangkan hadis Qudsi dan hadis Nabawi sebagai wahyu gairu mathlu dengan memberikan definisi masing-masing. Namun sekali lagi, usaha mereka dalam mendefinisikan dan membedakannya ternyata tidak mampu menyelesaikan dan memberikan garis pemisah yang jelas antara ketiga objek di atas. Definisi yang ada masih terbatas pada sumber penyandarannya bukan pada perbedaannya dari segi substansi. Sehingga hal ini masih tetap menjadi perbincangan yang belum final.
Sekali lagi, sulitnya memberikan garis pemisah yang jelas atas ketiga objek di atas, menyebabkan keberadaan sunnah tetap ditempatkan pada posisi yang dekat dengan al-Quran, hingga tak jarang melahirkan pandangan yang menempatkan sunnah Nabi pada posisi yang sama dengan al-Quran. Jika mereka menganggap bahwa teks al-Quran itu adalah kalam Ilahi, maka hadis Nabipun juga bagi mereka maknanya berasal dari Tuhan dan teks juga berasal dari Tuhan dalam koridor kema’shuman. Atau sebagaimana petikan pendapat ulama yang dikutip oleh Daniel W. Brown, sebagai berikut:
"Jika al-Quran merupakan sumber dasar bagi hukum, seandainya kita mengkajinya kita menemukan bahwa al-Quran menuntut agar Rasulullah saw dipatuhi dalam segala perintahnya, dan kita menemukan bahwa Allah, menunjuk kapada Nabi Muhammad Saw. dengan jelas mengatakan: itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya (QS al-Najam 53/4). Hal ini membuktikan bahwa Allah menurunkan dua jenis wahyu kepada Nabi Muhammad Saw.; Pertama adalah wahyu mathlu’, yang tercatat kata demi kata dalam susunan yang luar biasa; yaitu al-Quran. Kedua adalah sunnah, yang tidak kata demi kata, yang dapat ditiru, dan tidak dibaca secara ritual…dan kita menemukan bahwa Allah memerintahkan bahwa wahyu jenis kedua ini ditaati seperti Dia memerintahkan agar al-Quran ditaati. Tidak ada perbedaan karena Allah berfirman, “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya."
Walaupun demikian, wilayah otentesitas antara kedua teks tersebut satu dengan yang lainnya lebih terbuka. Meskipun al-Quran diyakini sebagai kalam Ilahi, namun diseputar al-Quran juga muncul teks-teks lain, diantaranya dikenal dengan qira’at sab’ah; ragam bacaan yang juga masih diyakini sebagai kalam Ilahi. Sedangkan dalam hadis dikenal dengan riwayat bi al-Ma’na yang merupakan interpretasi periwayat, oleh Ahmad Amin dikatakan hampir terjadi pada setiap teks hadis.
Demikian halnya dengan kecenderungan mereka memahami al-Quran, secara tekstual, juga diberlakukan terhadap hadis Nabi dengan pertimbangan-pertimbangan yang sama terhadap sikap mereka atas al-Quran.
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber