Inilah Demokrasi dalam Republik Islam Iran
Pada: September 09, 2011
Republik Islam Iran adalah bentuk pemerintahan terbaru dalam sejarah pemerintahan di Iran. Dalam sejarah Iran modern, di Iran pernah berlaku pemerintahan berbentuk dinasti. Hingga awal sejarah Iran modern, kekuasaan para ulama atau pemimpin agama tersebut masih terpelihara di masyarakat. Antony Black (2006:526-600) menyatakan bahwa pada tahun 1890 berusaha menerapkan sistem parlementer yang dapat mengurangi pengaruh ulama. Gerakan yang disebut sebagai revolusi konstitusional ini ternyata gagal.
Upaya tersebut gagal baru terwujud pada tahun 1911 resim baru yang sekuler di bawah Pahlevi. Pada tahun 1953 Pahlevi kalah atas Mosaddeq, namun selanjutnya atas bantuan CIA, Mosaddeq akhirnya jatuh dan digantikan oleh Reza Pahlevi. Dalam kekuasaan Reza Pahlevi inilah Iran benar-benar merupakan negara sekuler dan menerapkan sistem pemerintahan diktator. Hal ini amat bertentangan dengan budaya yang sudah berakar selama ratusan bahkan ribuan tahun hidup dalam masyarakat Iran. Selain itu, Shah Reza Pahlevi tersebut amat dekat dengan Amerika serikat yang membawa Iran kepada suatu praktik budaya yang sangat sekuler.
Perlawanan terhadap Shah Reza tersebut akhirnya mewujudkan suatu pemerintahan baru yang berbasiskan pada derajat keilmuan dan penguasaan atas sumber-sumber pokok Islam secara benar. Pada tahun 1979 Revolusi Islam Iran di bawah pimpinan Ayatullah Khomeini berhasil menggulingkan shah, lalu mengganti sejumlah produk rezim masa lalu, termasuk konstitusinya.
Pemerintah baru itu oleh Founding Fathers-nya dinamakan pemerintahan Islam karena sepenuhnya berlandaskan pada sumber suci Islam yang memilki pertanggungjawaban teologis dan sejumlah pembenaran ilmiah dari sisi sosial, politik dan budaya serta hukum. Di sinilah diperkenalkan suatu konsep sistem pemerintahan baru Iran yang disebut dengan wilayatul faqih. Mehdi Hadavi Tehrani (2005) mengemukakan bahwa pada sistem pemerintahan ini ulama memiliki otoritas tertinggi untuk mengatur sistem kehidupan termasuk konsep dan pelaksanaan demokrasi.
Baqir Sadr dalam Mehdi Hadavi Tehrani (hal.103) menjelaskan bahwa pandangan moral dan spiritual yang melandasi Republik Islam Iran adalah:
- Kekuasaan mutlak milik Allah. Manusia yang berpegang teguh kepadanya harus mengakui prinsip penghapusan penindasan manusia terhadap manusia lainnya.
- Hukum Islam (syariat) merupakan landasan konstitusionalnya, yang dikembangkan secara demokratis.
- Masyarakat secara demokratis mempercayakan kepada legislatif dan eksekutifnya untuk mengatur mereka dalam bingkai hukum Islam.
Baqir Sadr mengemukakan bahwa masyarakat atau warga negara, dalam mewujudkan prinsip demokrasi atau hak-hak publiknya dapat menguji kekuatan legislatif dan eksekutif dengan cara memilih pemimpin yang sudah terseleksi kapasitas dan kapablitas serta kompetensinya dalam mengawal prinsip-prinsip Islam dan konstitusi negara, serta mengawasinya lewat suatu lembaga representatif yang dipilih dari orang-orang berilmu dan teruji track record-nya, yakni tidak pernah melakukan tindak kejahatan seperti korupsi dan keburukan sejenisnya. Selain itu, warga negara terpelajar dilibatkan dalam tim atau dewan konsultatif untuk membantu kelancaran pemerintahan Republik Islam.
Hal terpenting dari demokrasi dalam sistem pemerintahan Islam adalah posisi keyakinan teologis masyarakat Iran yang mayoritas Syiah, di mana kedaulatan rakyat dipandang sebagai suatu bentuk penjabaran kedaulatan Tuhan di bumi. Itu sebabnya tak ada praktik demokrasi yang dapat bertentangan dengan kehendak Allah swt. Dalam keyakinan Syiah pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang dikendalikan oleh keimamahan menurut nash yang berkait langsung dengan kekuasaan Imam Suci. Muhammad Husain Tabatabai (1995:173-189) mengemukakan bahwa keimamahan dalam Teologi Syiah adalah suatu prinsip dasar untuk mengembangkan pemerintahan di berbagai keadaan, dan berbagai tempat.
Sistem pemerintahan Islam juga dipandang sebagai kelanjutan misi kenabian yang diemban oleh para Imam Suci, sehingga ketaatan mutlak kepada sistem pemerintahan tersebut sangat diperlukan. Oleh sebab itu, tidak dapat dibenarkan adanya pemilihan pemimpin yang didasarkan pada kehendak umum belaka (kedaulatan mayoritas belaka) tetapi harus dengan terlebih dahulu terkonfirmasi secara tepat dengan prinsip keadilan dan kebenaran menurut al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan menurut Sayyid Mujtabah Musayi Lari (1996:227-231) mengatakan bahwa Syiah menolak suatu ijma’ (konsensus) yang menunjukkan adanya penyimpangan.
Dari penjelasan tersebut di atas diperoleh kesimpulan bahwa “demokrasi dalam sistem pemerintahan Islam Iran adalah sistem pemerintahan berdasarkan al-Qur’an dan hadis bernama Wilayatul Faqih yang didirikan lewat suatu revolusi di bawah pimpinan menggulingkan Shah Muhammad Reza Pahlevi, dibangun dengan prinsip-prinsip keimamahan, yang berpijak pada keadilan dan kebenaran, serta pembelaan kepada kaum lemah, dan penentangan kepada kezaliman menurut syariat Islam.”
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber