Islam di Turki; Masa Lalu
Pada: September 14, 2011
Sejarah perkembangan Islam di Turki masa lalu yang MM-Admin maksud di sini, adalah masa ketika Turki sebagai kerajaan Islam, atau masa-masa ketika Turki berada dalam periodesasi sejarah Islam, mulai periode pertama tahun 1299-1942 M, sampai periode keempat tahun 1699-1838 sebagaimana yang telah disinggung. Perkembangan-perkembangan Islam dalam masa-masa tersebut, dapat dilihat antara lain pada segi perkembangan wilayah Islam
Ketika Usman sebagai pemimpin kerajaan Turki, dan sesaat setelah dia mengumumkan dirinya sebagai Padisyah al-Usman (raja besar keluarga Usman), pada tahun 1300 M. dia memulai mengembangkan wilayah Islam. Perluasan wilayah (ekspansi) para Sultan Utsmani menjadi model. Hal ini berlangsung paling tidak sampai dengan masa Pemerintahan Sulaiman I. untuk mendukung hal itu, Orkhan membentuk pasukan tangguh yang dikenal dengan Inkisyariyyah. Pasukan Inkisyariyah adalah tentara utama Dinasti Utsmani yang terdiri dari bangsa Georgia dan Armenia yang baru masuk Islam. Ternyata, dengan pasukan tersebut seolah-olah Dinasti Utsmani memiliki mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan yang besar sekali bagi penaklukan negeri-negeri non Muslim. Maka pada masa orkhan I kerajaan Turki Utsmani dapat ditaklukkan Azmir (Asia kecil), tahun 1327, Thawasyani (1330), Uskandar (1338), Ankara (1354), dan Gholipolli (1356). Daerah-derah ini adalah bagian dunia eropa yang pertama kali dapat dikuasai kerajaan Utsmani.
Ekspansi yang lebih besar terjadi pada masa Murad I. di masa ini berhasil ditaklukan wilayah Balkan, Adrianopel (sekarang bernama Edirne, Turki), Macedonia, Sofia (ibukota Bulgaria) dan seluruh wilayah Yunani. Melihat kemenangan yang diraih oleh Murad I, kerajaan-kerajaan Kristen di Balkan dan Eropa timur menjadi Murka. Mereka lalu menyusun kekuatan yang terdiri atas Hongaria, Bulgaria Serbia dan Walacia (Rumania), untuk menggempur Dinasti Utsmani. Meskipun Murad I tewas dalam pertempuran tersebut, kemenangan tetap dipihak Dinasti Utsmani. Ekspansi berkutnya dilanjutkan oleh putranya, Bayazid I.
Sultan Bayazid naik tahta tahun 1389 M. dengan mendapat gelar Yaldirin atau Yaldrum yang berarti kilat, karena terkenal dengan serangan-serangannya yang cepat terhadap lawan-lawannya. Perluasan wilayah terus berlanjut dan dapat menguasai Salocia dan Morea. Bayazid juga memperoleh kemenangan dalam perang salib di Nicapolas (1394). Ketika Sultan Bayazid sedang memusatkan perhatiannya untuk menghadapi musuh-musuhnya di Eropa. Ia ditantang oleh Musuh sesama Muslim Yang datang dari Timur Lenk. Seorang raja keturunan bangsa Mongol yang telah memeluk Islam dan berpusat di Samarkhand. Timur Lank mendapat dukungan dari negeri-negeri di Asia kecil yang tak mau tunduk kepada Bayazid.
Akhirnya terjadi pertempuran hebat di Ankara tahun 1402 M. Bayazid dengan kedua putranya, Musa dan Ergthogrol dikalahkan dan di tawan oleh Timur tahun 1402. kekalahan ini membawa akibat buruk bagi Turki Utsmani. Penguasa-penguasa di Asia kecil melepaskan diri dari pemerintahan Utsmani. Wilayah Serbia dan Bulgaria memproklemirkan kemerdekaannya.
Puncak ekspansi terjadi pada masa Sultan Muhammad II yang dikenal dengan gelar al-Fatih (sang penakluk). Pada masanya dilakukan ekspansi kekuasaan Islam secara besar-besaran. Kota penting yang berhasil ditaklukannya adalah Constantinopel (kota kerajaan Romawi Timur) yang ditaklukkan pada tahun 1453. setelah ditaklukkan, kota tersebut diubah namanya menjadi Istambul (tahta Islam). Kejatuhan Constantinopel ke tangan Dinasti Utsmani memudahkan tentara Utsmani menaklukkan wilayah lainnya., seperi Serbia, Albania dan Hongaria.
Sultan Muhammad meninggal pada tahun 1481 M. dan digantikan oleh putranya Bayazid II. Berbeda dengan ayahnya, Sultan Bayazid II lebih mementingkan kehidupan tasawuf dari pada penaklukkan wilayah dan perang. Hal ini menimbulkan perselisihan yang panjang dan pada akhirnya Sultan Bayazid II mengundurkan diri dari kursi kesultanan pada tahun 1512 M. dan digantikan oleh putranya Salim I. pada masa Sultan Salim I, pemerintahan Utsmani bertambah luas hingga menembus Afrika utara, Syiria dapat ditaklukkan dan Mesir yang diperintah oleh kaum Mamalik ditundukkan pada tahun 1517 M. dan pada masa inilah para Sultan Utsmani menyandang gelar khalifah.
Menurut Ahmad Syalabi, Sultan Salim I pernah meminta kepada khalifah Abbasiyah di Mesir agar menyerahkan kekhalifahan kepadanya, ketika ia menaklukkan Dinasti mamalik. Pendapat lain menyebutkan bahwa gelar “khalifah” sebenarnya sudah digunakan oleh Sultan Murad (1359-1389 M.) setelah ia berhasil menaklukkan Asia kecil dan Eropa. Dari dua pendapat ini, Ahmad Syalabi berkesimpulan, para Sultan kerajaan Utsmani memang tidak perlu menunggu khalifah Abbasiyah menyerahkan gelar itu, karena jauh sebelum masa kerajaan Utsmani sudah ada tiga khalifah dalam satu masa.
Dengan adanya berbagai ekspansi, menyebabkan ibukota Dinasti Utsmani berpindah-pindah. Sebagai contoh, sebelum Usman I memimpin Dinasti Utsmani, ia mengambil kota Sogud sebagai ibukotanya. Kemudian setelah penguasa Dinasti Utsmani dapat menaklukkan Broessa pada tahun 1317, maka pada tahun 1326 Broessa dijadikan ibukota pemerintahan. Hal ini berlangsung sampai pemerintahan Murad I. ternyata, di masa Murad I kota Adrianopel yang ditaklukkannya itu dijadikan sebagai ibukota pemerintahan. Sampai ditaklukkanya Constantinopel oleh Muhammad II, yang kemudian diganti namanya menjadi Istambul sebagai ibukota pemerintahan yang terakhir.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kesuksesan Dinasti Turki Utsmani dalam perluasan wilayah Islam, dan antara lain adalah:
- ke-mampuan orang-orang Turki dalam strategi perang terkombinasi dengan cita-cita memperoleh ghanimah, hart
sifat dan karakter orang Turki yang selalu ingin maju dan tidak pernah diam serta gaya hidupnya yang sederhana, sehingga memudahkan untuk tujuan penyerangan; - semangat jihad dan ingin mengembangkan Islam;
- letak Istambul yang sangat strategis sebagai ibukota kerajaan juga sangat menunjang kesuksesan perluasan wilayah ke Eropa dan Asia. Istambul terletak antara dua benua dan dua selat (selat Bosphaoras dan selat Dardanala), dan pernah menjadi pusat kebudayaan dunia, baik kebudayaan Macedonia, kebudayaan Yunani maupun kebudayaan Romawi Timur;
- kondisi kerajaan-kerajaan di sekitarnya yang kacau memudahkan Dinasti Utsmani mengalahkannya
Sebagai struktur masyarakatnya sangat heterogen, Dinasti Utsmani mempunyai kekuasaan yang menentukan nasib warga Timur Tengah dan Balkan, sampai pada tingkat yang luar biasa. Dinasti Utsmani tersebut mendominasi, mengendalikan dan membentuk masyarakat yang dikuasainya. Salah satu konsep utama yang diterapkan oleh Utsmani adalah perbedan antara askeri dan ri’aya, yakni antara kalangan elit penguasa dan yang dikuasai, elit pemerintah dan warga Negara, antara tentara dan pedagang, antar petugas pemungut pajak dan pembayar pajak. Bahkan, untuk menjadi kelas penguasa seseorang harus dididik dalam kebahasaan dan tata cara yang khusus yang disebut dengan tata cara Usman. Seseorang dapat menjadi elit Utsmani melalui keturunan atau melalui pendidikan sekolah-sekolah kerajaan, kemiliteran atau pendidikan sekolah keagamaan.
Ketika terjadi kekisruhan ditubuh militer, maka Orkhan mengadakan perombakan dan pembaharuan, yang dimulai dari pemimpin-pemimpin personil militer. Program ini ternyata berhasil dengan terbentuknya kelompok militer baru yang disebut dengan pasukan Janissari atau Inkisyariyah. Pasukan inilah yang dapat mengubah Negara Utsmani menjadi mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan kuat dalam penaklukan negeri Non Muslim. Selain itu, ada juga ada juga tentara feodal yang dikirim kepada pemerintah pusat, pasukan ini disebut tentara atau kelompok militer Thaujiah.
Keberhasilan ekspansi wilayah dibarengi dengan terciptanya jaringan pemerintah yang teratur. Di masa Sulaiman I, disusunlah sebuah kitab undang-undang (qonun) yang diberi nama Multaqa al-Abhur. Kitab ini menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki Utsmani sampai datangnya reformasi abad ke-19.
Sebuah administrasi birokratik sangat diperlukan dalam pengkajian militer budak. Orkhan (1324-1360) melantik seorang wazir untuk menangani administrasi dan kemiliteran pusat dan mengangkat sejumlah gubernur sipil untuk sejumlah propinsi yang ditaklukkan. Kepala-kepala jabatan disatukan dalam sebuah dewan kerajaan. Lantaran Dinasti Utsmani semakin meluas, beberapa propinsi yang semula merupakan daerah jajahan yang harus menyerahkan upeti digabungkan menjadi sebuah sistem administrasi. Unit propensial yang terbesar, yang dinamakan baylerbayliks, dibagi menjadi sanjak-bayliks dan selanjutnya dibagi-bagi menjadi timarliks yang distrik tersebut diserahkan kepada pejabat-pejabat militer sebagai pengganti gaji mereka. Pada abad ke-16, term vali telah menggantikan baylerbayliks dengan pengertian seorang gubernur, dan term eyelet digunakan dengan arti propisi di Eropa, yakni Rumania dan Transilvania, Crimea, dan beberapa distrik di Anotalia yang berada dalam pengawasan masyarakat Kurdi dan Turki tetap berlangsung sebagai propinsi semi mereka yang wajib menyerahkan upeti.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, memang kerajaan Turki Utsmani tidak menghasilkan karya-karya dan penelitian-penelitian ilmiah seperti di masa Daulah Abbasiyah. Kajian-kajian ilmu keagamaan, seperti fiqh, ilmu kalam, tafsir dan hadis boleh dikatakan tidak mengalami perkembangan yang berarti. Ulama hanya suka menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan), dan hasyiyah (catatan pinggir) terhadap karya-karya klasik yang telah ada. Namun dalam bidang seni arsitektur, Turki Utsmani banyak meninggalkan karya-karya agung berupa bangunan yang indah, seperti Mesjid Jami’ Muhammad al-Fatih, mesjid agung Sulaiman dan Mesjid Abu Ayyub al-Anshary dan mesjid yang dulu asalnya dari gereja Aya Sophia. Mesjid tersebut dihiasi dengan kaligrafi oleh Musa Azam. Pada masa Sulaiman di kota-kota besar lainnya banyak dibangun mesjid, sekolah rumah sakit, gedung, makam, jembatan, saluran air, villa, dan pemandian umum.
Karena Turki mengusai beberapa kota pelabuhan utama, seperti pelabuhan-pelabuhan sepanjang laut tengah (Afrika Utara), pelabuhan laut merah, teluk Persia, pelabuhan di Siria (pantai Libanon sekarang), pantai Asia Kecil dan yang paling strategis adalah pelabuhan Internasional Konstantinopel yang menjadi penghubung Timur dan Barat waktu itu, maka Turki menjadi penyelenggara perdagangan, pemungut pajak (cukai) pelabuhan yang menjadi sumber keuangan yang besar bagi Turki.
Pada akhir kekuasaan Sulaiman al-Qanuni I kerajaan Turki Utsmani berada ditengah-tengah dua kekuatan monarki Austria di Eropa dan kerajaan Syafawi di Asia. Melemahnya kerajaan Utsmani setelah wafatnya Sulaiman I dan digantikan oleh Salim II. Pengganti kepemimpinan ini ternyata tidak mampu menghadapi kondisi tersebut. Pada awal abad ke-19 para Sultan tidak mampu mengontol daerah-daerah kekuasaannya. Dan melemahnya militer Turki Utsmani berakibat munculnya pemberontakan-pemberontakan. Beberapa daerah ber-angsur-angsur mulai memisahkan diri dan mendirikan pemerintah otonom.
Di Mesir, kelemahan-kelemahan kerajaan Turki Utsmani membuat Mamalik bangkit kembali. Di bawah kepemimpinan Ali Bey, pada tahun 1770 M., Mamalik kembali berkuasa di Mesir, sampai datangnya Napoleon Bonaparte dari Prancis tahun 1798 M. Demikian pula pemberontakan-pemberontakan terjadi di Libanon dan Syiria, sehingga kerajaan Turki Utsmani mengalami kemunduruan, bukan saja daerah-daaerah yang tidak beragama Islam, tetapi juga di daerah-daerah yang berpenduduk muslim. Demikian seterusnya sampai Turki memasuki masa reformasi, masa modern, di era kontemporer di mana Turki mulai lagi bangkit dengan sistem pemerintahan yang baru, yakni sistem demokrasi dalam bentuk negara Republik Turki.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002. Hamka, Sejarah Umat Islam III, Jakarta: Bulan Bintang, 1981. Carl Brockkmann, History of the Islamic Peoples, London: Routledge & Kegan Paul, 1982. Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999. Hasan Ibrahim Hasan, Mausu’at al-Tarikh al-Islami V, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1967.
Dapatkan makalah tentang Islam di Turki, cuma-cuma di sini