Islamisasi Ilmu Pengetahuan; Kajian Ontologi, Aksiologi, dan Epistemologi
Pada: September 07, 2011
Secara ontologis, Islamisasi ilmu pengetahuan memandang bahwa dalam realitas alam semesta, realitas sosial dan historis ada hukum-hukum yang mengatur dan hukum itu adalah ciptaan Tuhan. Pandangan akan adanya hukum alam tersebut sama dengan kaum sekuler, tetapi dalam pandangan Islam hukum tersebut adalah ciptaan Allah. Sebagai ciptaan Allah, maka realitas alam semesta tidak netral tetapi mempunyai "maksud" dan tujuan". Maksud dan tujuan itu sesuai dengan maksud alam semesta secara transendenal berada dalam "idea" Ilahy, secara immanen maksud itu juga diendapkan Tuhan di alam semesta.
Firman Allah QS. Al-Imran: 3/191
"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka".
Ayat tersebut diatas menunjukkan bahwa di alam ini tidak ada sesuatu yang diciptakan Allah dengan batil, melainkan mengandung yang al-Haq (kebenaran). Dalam al-Haq itu mengandung hikmah-hikmah, yang bila diketahui (melalui penyelidikan ilmiah) akan memberikan manfaat bagi kemajuan manusia. Firman Allah QS. Al-Anbiya:21/16
"Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan main-main".
Dengan demikian, alam ini akan lebih nyata dirasakan manusia bila dikelola manusia yang luhur. Karena itu, Allah pun menyatakan bahwa bumi ini hanya diwariskan kepada hambanya yang shaleh. Frman Allah QS. Al-Anbiya (21): 105:
"Dan sungguh Telah kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi Ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh".
Bila orang anarki yang mengelola alam ini, maka akan menyelewengkan maksud alam yang sesungguhnya, sehingga alam kembali merusak manusia. Keluruhan "maksud" alam dimanifestasikan dalam tabiatnya yang selalu bertasbih kepada Allah.
Dalam kajian epistemolog Islam, ilmu pengetahuan berjalan dari tingkat-tingkat: (a) perenungan (comtemplation) tentang sunatullah sebagaimana dianjurkan didalam al-Quran al-Karim, (b) penginderaan (sensation), (c) pencerapan (perception), (d) konsep (concept), (e) penyajian (representation), (f) timbangan (judgemen), dan (g) penalaran (reasoning). Selanjutnya epistemology di dalam Islam tidak berpusat kepada manusia (anthropocentric) yang menganggap manusia sendiri sebagai makhluk mandiri (autonomours) dan menentukan segala-galanya, melainkan berpusat kepada Allah (theocentric). Sehingga berhasil atau tidaknya tergantung setiap usaha manusia, kepada iradat Allah. Epistemologi Islam mengambil titik tolak Islam sebagai subyek untuk membicarakan filsafat pengetahuan, maka disatu pihak berpusat pada Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan sumber segala kebenaran. Dilain pihak, berpusat pula pada manusia dalam arti manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan (kebenaran). Disini manusia berfungsi sebagai subyek yang mencari kebenaran.
Konsekuensi dari epistemologi diatas maka aksiologi Islamisasi yaitu mengandung nilai rohaniah atau moral yang bersumber dari agama (Islam) sifatnya adalah absolut dan kebenarannya bersifat permanent karena bersumber dari Dzat yang absolut (mutlak) pula yaitu Allah swt.
Dengan demikian, terciptanya kemakmuran sebagai hasil penggalian dan pengolahan sumber alam (natural resource), bukanlah merupakan tujuan utama atau tujuan akhir kehidupan manusia. Karena yang menjadi tujuan utama adalah mencapai ridha Allah swt. Ridha Allah diturunkan kepada hamba-hamba-Nya yang senantiasa bersyukur kepada-Nya. Bersyukur disini berarti memanfaatkan ataumenggunakan segala rezki dan fasilitas yang diberikan-Nya pada fungsinya serta sesuai dengan kehendak-Nya sebagai pemberi dan sumber rezki itu.
Jadi ilmu pengetahuan disini hanyalah berfungsi sebagai alat (instrument) untuk mengolah dan memanfaatkan sumber-sumber yang ada dalam rangka mensyukuri nikmat-nikmat Tuhan yang pada akhirnya adalah untuk mencapai ridha-Nya.
Dengan demikian, Islam tidak mengingkari adanya kebebasan manusia untuk menggunkaan ilmunya, dengan syarat bahwa didalam penggunaan itu tidak ada pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Tuhan yang dapat mengakibatkan kemurkaan-Nya. Ilmu pengetahuan itu sendiri adalah bersifat netral sehingga manusia sebagai pemilik ilmu perlu waspada kemana ilmunya harus diarahkan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, t.c.; Surabaya: Duta Ilmu, 2002. Miska Muhammad Amin, Epistomologi Isla Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, t.t; UI-Press, 1983. M. Rosyidi dan Harifuddin Cawidu, Islam untuk Disiplin Ilmu, Jakarta: Bulan Bintang, 1988.