Ketuhanan dan Filsafat Jiwa al-Kindi
Pada: September 13, 2011
Bagi al-Kindi, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mulia. Filsafatnya tentang keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga proposisi filosofis. Menurut dia, Tuhan tak mempunyai hakikat, baik hakikat secara juz’iyah (sebagian) maupun hakikat kulliyyah (keseluruhan). Dalam pandangan filsafat al-Kindi, Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal), sebab awal dan Yang Benar Tunggal. al-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap indera.
Tuhan adalah wujud yang hak (benar) yang bukan asalnya tidak ada kemudian menjadi ada. Ia selalu mustahil tidak ada. Ia selalu ada dan akan selalu ada. Oleh karena Tuhan adalah wujud yang sempurna yang tidak didahului oleh wujud yang lain, tidak berakhir wujud-Nya dan tidak akan ada wujud kecuali dengan-Nya.
Filsafatnya tentang keesaan Tuhan selain didasarkan kepada wahyu juga pada proporsi filosofis. Menurut al-Kindi Tuhan tidak merupakan genus atau spesies, Tuhan adalah pencipta, Tuhan adalah yang benar pertama dan yang benar tunggal.
Mengenai sifat-sifat esensial Sang Maha Esa, al-Kindi menggarisbawahi mutlaknya keesaan Allah sebagai penyebab bagi semua yang ada (mawjud). Meskipun tampak beragam, semua mawjudpada dasarnya bermula dari kesatuan Sang Maha Esa. Katanya, “Tanpa kesatuansemacam itu, tidak akan ada satu apapun. Akibat kesatuan inilah segala sesuatu menjadi ada. Dan sekiranya Dia berhenti memelihara dan mengatur alam semesta, segala yang ada bakal hancur berantakan.” Namun al-Kindi meyakini creatio ex nihilo. Alam tidak abadi (qadim) tapi hudutsyang artinya tercipta dalam waktu dan karena itu, berarti bermula. Sebelum dia ada, dia pernah tiada.
Untuk membuktikan wujud Tuhan ia menggunakan tiga jalan, yaitu: 1. Baharunya alam. 2. Keanekaragaman dalam wujud. 3. Kerapian alam.
Untuk yang pertama, al-Kindi menanyakan apakah mungkin sesuatu menjadi sebab bagi wujudnya sendiri, ataukah tidak mungkin. Dijawabnya, bahwa itu tidaklah mungkin. Jelasnya ialah bahwa alam ini adalah baru, dan ada permulaan waktunya, karena alam ini terbatas.
Dari segi gerak, karena gerak pada wataknya mengikuti wujud jisim, karena tidak mungkin adanya gerak jika tidak ada jisim yang bergerak. Dengan demikian, gerak juga baharu karena ada titik awalnya. Sedangkan dari segi zaman karena zaman adalah ukuran gerak dan juga baharu seperti gerak. Jadi, jisim, gerak dan zaman tidak dapat saling mendahului dalam wujud, dan semuanya tidak ada secara bersama-sama, ini berarti alam ini baharu karena itu ada penciptanya Katanya:
فيمتنع ان يكون جرم لم يزل . فالجرم اذا محدث اضطرارا والمحدث محدث المحدث . اذ المحدث و المحدث من المضاف فللكل محدث اضطرارا عن ليس.
Tidak ada suatu jisim yang abadi . jadi jisim, dengan sendirinya diciptakan, dan yang diciptakan itu adalah ciptaan pencipta. Sebab pencipta dan yang dicipta termasuk perangkaian. Maka semua itu dengan sendirinya ada penciptanya dari tiada.
Untuk jalan kedua, al-Kindi mengatakan keanekaragaman dalam alam ini bukanlah karena kebetulan, melainkan karena sesuatu sebab. Akan tetapi “sebab “itu bukanlah alam itu sendiri, sebab apabila alam itu menjadi sebab bagi dirinya sendiri maka alam tidak akan ada habis-habisnya. Sedang sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Untuk jalan ketiga, yaitu jalan kerapian alam dan pemeliharaan Tuhan terhadapnya, maka al-Kindi mengatakan bahwa alam tidak mungkin rapi dan teratur kecuali karena adanya Zat yang tak tampak. Zat yang tidak tampak tersebut hanya dapat diketahui dengan melalui bekas-bekas-Nya dan kerapian yang terdapat pada alam ini. Jalan ini disebut dengan illat ghayah (illat tujuan).
Mengenai sifat Tuhan menurut al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dengan Zat-Nya.
Kesimpulannya adalah bahwa Tuhan adalah sebab pertama, dimana wujud-Nya bukan karena sebab yang lain. Ia adalah zat yang menciptakan bukan diciptakan; menciptakan sesuatu dari tiada. Ia adalah zat yang menyempurnakan tetapi bukan disempurnakan.
Filsafat Jiwa
Jiwa menurut al-Kindi, merupakan suatu entitas Ilahi yang tidak tersusun dan kekal, dan memancar dari Allah. Ia bukan materi atau terbuat dari materi, dan walupun bersatu untuk sementara waktu dengan tubuh, jiwa terpisah dan tidak tergantung kepadanya. Tubuh merupakan rintangan bagi jiwa, dan oleh sebab itu, apabila sudah terpisah dari tubuh , jiwa dapat memperoleh pengetahuan dari segala hal dan mengetahui hal-hal yang gaib. Setelah fisik hancur, jiwa kembali kedunia akal, dunia Allah dan bersatu dengannya.
Dalam risalahnya, On Sleep and Dreams (Tentang Tidur dan Mimpi), al-Kindi menulis bahwa apabila jiwa tidak tercemar oleh kotoran-kotoran kehidupan, ia akan dapat melihat mimpi-mimpi yang indah dan berhubungan dengan jiwa orang-orang yang sudah meninggal. Dalam mimpi orang kehilangan kontak dengan panca indranya dan hanya menggunakan akal.
Untuk mengetahui pengetahuan al-Kindi, mari kita lihat pandangannya terhadap jiwa atau ruh. Menurut al-Kindi , substansi ruh adalah sederhana (tidah tersusun dan kekal. Ia memiliki arti penting dalam kehidupan manusia. Ia sempurna dan mulia karena substansinya berasal dari substansi Tuhan. Hubungannya dengan tuhan sama dengan hubungan cahaya dan matahari.
Menurut al-Kindi bahwa ruh mempunyai esensi dan eksistensi yang terpisah dengan tubuh dan tidak tergantung satu sama lainnya. Jiwa menurut al-Kindi adalah prinsip kehidupan yang mempengaruhi tubuh organik untuk beberapa saat lamanya untuk kemudian melepaskannya. Jiwa merupakan entitas tunggal yang substansinya sama dengan substansi pencipta sendiri karena ia sesungguhnya adalah limpahan dari substansi Tuhan. Sebagaimana sinar matahari dengan matahari. Sekalipun begabung dengan tubuh sesungguhnya ia terpisah dan independen dari tubuh. Tubuh adalah rintangan bagi jiwa sehingga ketika jiwa meninggalkan tempat sementaranya, ia akan menyatu dengan dunia intelek dan menyatu dengannya.
Adapun hakikat jiwa, al-Kindi menegaskan bahwa jiwa itu jauhar tunggal (jauhar basi) berciri Ilahi lagi rohani, tidak panjang tidak lebar. Akan tetapi, apakah dengan demikian jiwa itu berasal dari alam Ilahi atau alam idea seperti yang dikatakan oleh Plato, tampaknya al-Kindi tidak menjelaskannya. Ia hanya mengatakan :
انما نجئ فى هذا العالم فى شبه المعبر والجسر الذي يجوز عليه السيارة , ليس لنا مقام يطول . و أما مقامنا و مستقرنا الذى نتوقع فهو العالم الأعلى الشريف الذى تنتقل اليه نفوسنا بعد الموت
Dan bahwa kita datang di alam ini bagaikan titian atau jembatan yang dilalui oleh penyeberang, tidak mempunyai tempat yang lama. Tempat tetap yang kita harapkan adalah alam tinggi yang luhur kemana jiwa kita dapat berpindah setelah mati.
Manusia harus bisa melepaskan diri dari sifat kebinatangan yang ada dalam tubuhnya dengan cara berkontemplasi tentang wujud dan bersifat zuhud. Hanya jiwa yang suci yang dapat menangkap hakikat-hakikat, ibarat cermin yang bersih dapat menangkap gambar yang ada di depannya dengan jelas. Hanya jiwa yang bersih yang dapat menuju ke alam kebenaran. Roh yang masih kotor terlebih dahulu dibersihkan dulu di bulan , selanjutnya ke mercurius , dan seterusnya hingga sampai ke alam akal yang berada di lingkungan cahaya Tuhan. Jiwa yang sudah memasuki wilayah tersebut dapat melihat Tuhan.
al-Kindi membagi jiwa menjadi tiga: daya bernafsu, daya pemarah dan daya berfikir. Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa itu dengan mengibaratkan daya berfikir sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi. Sementara bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.
Sekalipun ketiga daya tersebut merupakan daya-daya yang dimiliki jiwa, namun al-Kindi seringkali hanya merujuk daya berfikir sebagai daya yang berkaitan dengan kemampuan jiwa, sedangkan daya pemarah dan nafsu dikaitkan dengan tubuh. hal itu karena dalam pandangan al-Kindi daya pemarah dan nafsu ada semata-mata untuk pertumbuhan dan pelestariah jiwa hewani yang berkaitan dengan badan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Hery Sucipto, Cahaya Islam Imuwan Muslim Dunia Sejak Ibnu Sina hingga B.J Habibie, Jakarta: Grafindo, 2006. Majid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Phylosopy, Theology and Mysticism, Zaimul Am dengan judul, Sejarah Filasafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, Bandung: Mizan, 2002. Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Abubakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, Jakarta; Ramadani Sala, 1982.