Konsep Mahabbah dan Mahabbah Rabi’ah al-‘Adawiyyah
Pada: September 13, 2011
Rabi’ah al-‘Adawiyyah dengan ajaran pokoknya al-hubb al-ilahi (Mahabbah) erat kaitannya dengan konsep Islam itu sendiri serta jiwa yang terkandung di dalamnya.
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.
Allah Maha Pengampung lagi Maha Penyayang”. يحبونهم كحب الله. والذين ءامنوا أشدحبا لله “. . . Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. ...”
Kalau diperhatikan ketiga ayat tersebut menunjukkan bahwa mahabbah merupakan realisasi dari iman. Dengan iman, seseorang dapat mencintai Allah sebagai cinta tingkat tertinggi dalam hidup ini. seperti cinta Rabi’ah al-‘Adawiyyah kepada Allah.
Sebagaiman disebutkan di atas bahwa Rabi’ah al-‘Adawiyyah dalam mengawali perjalanan mistiknya, ia mengajarkan dan memang mengamalkan untuk memperbanyak ibadah kepada Allah karena hal tersebut merupakan syarat mutlak sebagai hamba-Nya. Ini sesuai dengan kandungan ayat-ayat di atas. QS. al-Maidah 5/54 misalnya, al-Alusi menjelaskan bahwa maksud dari kalimat yuhibbunahu adalah mereka selalu berusaha mendekatkan diri kepada-Nya dengan mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Demikian pula seperti yang disebutkan dalam QS. Ali Imran 3/31, kata al-hub dimaknai khususnya di kalangan ulama sufi sebagai sebuah perasaan yang terkait dengan zat Tuhan dan semestinya seorang pencinta mencintai Tuhan karena zat-Nya bukan karena pahala-Nya atau kebaikan-Nya karena cinta tersebut karena kebaikan-Nya menempati derajat yang lebih rendah dibandingkan dengan cinta karena Zat-Nya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
As Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: Grafindo Persada, 1994, Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta, Ensiklopedi Islam di Indonesia (Jakarta: Anda Utama, 1993, Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi, Kitab al-Luma, Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah, Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariyah, Mu’jam Maqayis al-Lugah, Beirut: Dar al-Fikr,1991, Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, Noah Webster, Webster’s Twentieth Century Dictionary of English Language, USA: Willian Calling Publisher’s, 1980.
Konsep mahabbah Rabi’ah al-‘Adawiyyah sesuai dengan beberapa firman Allah dalam al-Quran:
يأيهاالذين أمنوا من يرتدمنكم عن دينه , فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحبونه
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya
...”
قل إن كنتم تحبون الله فاتبعونى يحببكم الله ويعفرلكم ذنوبكم والله غفوررحيم
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.
Allah Maha Pengampung lagi Maha Penyayang”. يحبونهم كحب الله. والذين ءامنوا أشدحبا لله “. . . Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. ...”
Kalau diperhatikan ketiga ayat tersebut menunjukkan bahwa mahabbah merupakan realisasi dari iman. Dengan iman, seseorang dapat mencintai Allah sebagai cinta tingkat tertinggi dalam hidup ini. seperti cinta Rabi’ah al-‘Adawiyyah kepada Allah.
Sebagaiman disebutkan di atas bahwa Rabi’ah al-‘Adawiyyah dalam mengawali perjalanan mistiknya, ia mengajarkan dan memang mengamalkan untuk memperbanyak ibadah kepada Allah karena hal tersebut merupakan syarat mutlak sebagai hamba-Nya. Ini sesuai dengan kandungan ayat-ayat di atas. QS. al-Maidah 5/54 misalnya, al-Alusi menjelaskan bahwa maksud dari kalimat yuhibbunahu adalah mereka selalu berusaha mendekatkan diri kepada-Nya dengan mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Demikian pula seperti yang disebutkan dalam QS. Ali Imran 3/31, kata al-hub dimaknai khususnya di kalangan ulama sufi sebagai sebuah perasaan yang terkait dengan zat Tuhan dan semestinya seorang pencinta mencintai Tuhan karena zat-Nya bukan karena pahala-Nya atau kebaikan-Nya karena cinta tersebut karena kebaikan-Nya menempati derajat yang lebih rendah dibandingkan dengan cinta karena Zat-Nya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
As Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: Grafindo Persada, 1994, Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta, Ensiklopedi Islam di Indonesia (Jakarta: Anda Utama, 1993, Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi, Kitab al-Luma, Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah, Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariyah, Mu’jam Maqayis al-Lugah, Beirut: Dar al-Fikr,1991, Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, Noah Webster, Webster’s Twentieth Century Dictionary of English Language, USA: Willian Calling Publisher’s, 1980.