Biografi Ali bin Abi Thalib
Pada: September 24, 2011
Ali bin Abi Thalib adalah anak bungsu dari enam bersaudara pasangan Abu Thalib bin Abdul Muththalib dan Fatimah binti Asad. Ia dilahirkan di Mekah, tepatnya di Ka’bah (jum’at 13 Rajab 600 M). Ketika lahir ibunya memberi nama Haidarah, atau Haidar yang berarti singa, seperti nama ayahnya, Asad, juga berarti singa.
Tetapi Abu Talib memberi nama Ali yang berarti luhur, tinggi, dan agung, nama yang kemudian lebih dikenal, nama yang memang sesuai dengan sifat-sifatnya. Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama dari kalangan Quraisy yang lahir dari ibu-bapa yang sama-sama dari keturunan Bani Hasyim. Sebelum itu keluarga Bani Hasyim selalu bersemenda dengan keluarga lain di luar mereka. Kuniah-nya adalah Abu Hasan, ia digelari Abu Turab dan Karramallahu Wajha. Ia adalah sepupu Nabi Muhammad saw sekaligus menantu Nabi, Ali bin abi Thalib menikah dengan Fatimah, putri Rasulullah saw dengan Khadijah. Ali bertunangan dengan Fatimah sebelum Perang Badar tetapi pernikahan mereka dilangsungkan kira-kira tiga bulan selepas itu. Ketika itu Ali berusia 21 tahun dan Fatimah berusia 15 tahun.
Ali bin Abi Thalib lahir pada saat Nabi Muhammad saw berusia dua puluh sembilan tahun dan sudah menikah dengan Khadijah selama empat tahun. Menurut suatu riwayat, Ibu Ali bin Abi Thalib masih terus melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah) ketika rasa sakit menjelang kelahirannya mulai dirasakan sehingga terpaksa melahirkan dibawah naungan Ka’bah. Riwayat lain menyebutkan bahwa Ali tidak dapat membuka matanya sampai ia dibaringkan dipangkuan sepupunya, Muhammad. Sehingga wajah Muhammad menjadi wajah yang pertama yang dia lihat. Sejak lahir, begitu membuka mata ia sudah bergaul dengan Muhammad yang diasuh oleh ayahnya, setelah Muhammad menikah dengan khadijah, Ali pun dipelihara oleh nabi Muhammad saw, hampir dalam semua kegiatan ia bersama dengan Nabi Muhammad saw. Ia yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak.
Sejak usia belia, Ali bin Abi Thalib sudah menghayati indahnya kehidupan di bawah naungan wahyu Illahi, Ketika Ali menginjak usia 6 tahun, Mekah dan sekitarnya dilanda paceklik hebat. Sebagai akibatnya, kebutuhan pangan sehari-hari sulit diperoleh. Bagi mereka yang berkeluarga besar dan ekonomi lemah, seperti keluarga Abu Thalib, pukulan paceklik terasa parah sekali. Pada masa paceklik ini, Nabi Muhammad saw telah berumah tangga dengan Khadijah binti Khuwalid Beliau tak dapat melupakan budi pamannya yang telah memelihara dan mengasuh beliau sejak kecil hingga dewasa. Bertahun-tahun beliau hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib, mengikuti suka-dukanya dan mengetahui sendiri bagaimana keadaan penghidupannya. Dalam suasana paceklik ini, Nabi Muhammad saw menyadari betapa beratnya beban yang dipikul pamannya, Abu Thalib, yang sudah lanjut usia. Hatinya terketuk dan segera mengambil langkah untuk meringankan beban pamannya.
Nabi Muhammad saw mengetahui, bahwa Abbas bin Abdul Mutthalib, juga paman beliau, adalah seorang terkaya di kalangan Bani Hasyim. Dibanding dengan saudara-saudaranya, Abbas mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih baik. Dengan tujuan untuk meringankan beban Abu Thalib, beliau temui Abbas bin Abdul Mutthalib. Kepada pamannya itu beliau kemukakan betapa berat derita yang ditanggung Abu Thalib sebagai akibat paceklik. Abbas bin Abdul Mutthalib menyambut baik saran Nabi Muhammad saw Setetah melalui perundingan dengan Abu Thalib, akhirnya terdapat kesepakatan: Ja'far bin Abi Thalib diserahkan kepada Abbas, sedang Ali bin Abi Thalib diasuh oleh Nabi Muhammad saw Sejak itu Ali diasuh oleh Nabi Muhammad saw dan isteri beliau, Khadijah binti Khuwailid sampai tiba saat kematangannya untuk menghadapi kehidupan sebagai orang dewasa. Selama masa itu beliau mengikuti perkembangan yang dialami Rasul Allah saw dalam kehidupannya.
Ali bin Abi Thalib dikenal pemberani, sewaktu Nabi saw mau meninggalkan rumah pada malam peristiwa hijrah ke Madinah, Nabi saw berpesan kepada Ali supaya tidur di perbaringannya. Ali dengan tenang menerima arahan Nabi saw dan tidur dengan nyenyaknya sehingga orang-orang kafir Mekah menyerbu masuk ke rumah Nabi saw dan menyergap Ali yang disangka Nabi saw itu. Demikian pula peranannya dalam peran badar bersama Nabi dan para sahabat, perang uhud, perang parit dan tempat-tempat lainnya. Dalam perang khandak misalnya, tak ada yang berani menyambut tantangan duel Amr bin Abdul Wudd selain Ali. Ali maju dan duel pun terjadi dan dalam waktu tak seberapa lama Ali berhasil memisahkan kepala jago tanding Quraisy itu dari badannya.
Selain pemberani, Ali bin abi Thalib juga dikenal dengan akhlaknya yang sangat terpuji, ia rendah hati, lapang dada, tidak pendendam, selalu memelihara silaturahmi. Ia seorang yang zuhud serta wara’. Beliau adalah orang yang sarat dengan ilmu, tempat para sahabat terkemuka bertanya dalam masalah hukum-hukum-hukum agama yang musykil atau tentang makna sebuah ayat dalam al-Quran atau tafsirnya.
Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai orang alim dan cerdas, ketika Abu Bakar menjadi khalifah, dia tidak dalam musyawarah penting. Demikian pula halnya ketika Umar bin Khattab menjadi Khalifah yang kedua, dia tetap memperoleh kemuliaan dan penghormatan dari Umar bin Khattab sebagaimana semasa pemerintahan Abu Bakar, Walaupun diketahui bahwa Umar bin Khattab terkenal sebagai sahabat yang sangat ahli dan bijak dalam bidang hukum, namun baginda sering minta bantuan kepada Ali bin Abi Thalib di dalam menyelesaikan beberapa hal yang sulit bahkan dalam riwayat disebutkan bahwa Umar bin Khattab tidak suka merundingkan soal-soal yang sulit tanpa dihadiri oleh Ali Bin Abu Talib.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ali Audah, Ali bin Abi Thalib Sampai Kepada Hasan Husain. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2008. Muhammad Ridha, Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajha, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995. Jalaluddin al-Suyuthi, Tarikh Khulafau, Beirut: Dar al-Kutub al-ilmyah, 1988. Hamid Al Husaini, Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib,Jakarta: Lembaga Penyelidikan Islam1981.