Maqam Ittihad Abu Yazid al-Bustami
Pada: September 13, 2011
Seorang sufi yang hendak bersatu dengan Tuhan: Ittihad terlebih dahulu harus dilalui dengan dua keadaan yang tidak dapat dipisahkan, yaitu keadaan fana’ yakni kesirnaan atau peleburan: penghancuran perasaan atau kesadaran seseorang tentang dirinya dan mahluk lain di sekitarnya, dan baqa’ yaitu tetap, kekal, yakni tetap dalam kebajikan dan kekal dalam sifat ketuhanan. Ittihadtidak muncul dengan begitu saja, tetapi harus setelah menempuh tingkatan fana’ dan baqa' yang dapat ditempuh dengan menyadari keadaan dirinya sebagai individu yang terpisah dari Tuhannya, dilanjutkan dengan memperjuangkan tersingkapnya pembatas yang menghalangi pandangan mata hatinya, dengan mengikis sifat-sifat tercela, yang dilakukan secara terus menerus.
Tercapainya fana’ dan fana’,sampailah Abu Yazid kepada al-Ittihad, dimana telah terpadunya dengan Tuhan tanpa diantarai sesuatu apapun. Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana’ dan fana’. Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang Ittihad ini tidak ditemukan.apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran ini sangat sulit dipraktekkan merupakan pertanyaan yang sangat baik untuk dianalisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution uraian tentang Ittihad banyak terdapat di dalam buku karangan orientalis.
Tahapan Ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Dalam Ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana’nyata mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan. al-Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan ajaran fana’ dan fana’ untuk mencapai Ittihad dengan Tuhan.
Setelah Abu Yazid mengalami ke-fana’-an, dengan sirnanya segala sesuatu yang selain Allah dari pandangannya, maka saat itu dia tidak lagi menyaksikan selain hakikat yang satu, yaitu Allah. Bahkan dia tidak lagi melihat dirinya sendiri karena dirinya telah terlebur dalam Dia yang disaksikannya. Kondisi seperti itu telah menghilangkan batas antara sufi dengan Tuhan, antara yang mencintai dengan yang dicintai. Pada saat seperti ini sufi dapat melihat dan merasakan rahasia Tuhan. Ketika sufi telah menyatu dengan Tuhan, sering terjadi pertukaran peran antara sufi dengan Tuhan. Saat itu sufi tidak lagi berbicara atas namanya, melainkan atas nama Tuhan, atau Tuhan berbicara melalui mulut sufi, yang keluar dari mulutnya ungkapan-ungkapan yang kedengarannya ganjil, sebagaimana yang pernah diungkapkan Abu Yazid: makhluk-Ku ingin melihat Engkau”, aku menjawab: “Kekasihku aku tidak ingin melihat mereka, tetapi jika itu kehendak-Mu, hiaslah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika mahluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata telah kami lihat engkau, tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tidak ada disana”.
Ketika terjadi Ittihad secara utuh, Abu Yazid mengatakan dalam syatahatnya:“Tuhan berkata: semua mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku, akupun berkata: “Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku”, maka pemilihanpun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Dia berkata, “Hai engkau”, aku dengan perantaraNya menjawab, “Hai aku”, Dia berkata, “Engkau yang satu”, aku menjawab: “Akulah yang satu”. Dia selanjutnya berkata, “Engkau adalah engkau”. Aku menjawab, Aku adalah aku”. Kata aku yang diucapkan Abu Yazid bukanlah sebagai gambaran diri Abu Yazid tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena saat itu Abu Yazid telah bersatu dengan Tuhan, dengan kata lain, dalam Ittihad Abu Yazid berbicara dengan nama Tuhan atau lebih tepat lagi, Tuhan berbicara melalui lidah Abu Yazid.
Suatu ketika seorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya, "Siapa yang engkau cari ?" Orang itu menjawab. "Abu Yazid". Abu Yazid berkata, "Pergilah, di rumahmu ini tidak ada, kecuali Allah Yang Mahakuasa dan Mahatinggi.
Pada tingkat ini seorang sufi merasa dirinya telah bersatu dengan Tuhan, diantara yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu. Pada fase inilah terkadang muncul perkataan-perkataan yang sulit dimengerti oleh orang awam. Ini dapat dilihat dari syatahātyang diucapkannya. Syatahat menurut bahasa Arab yaitu al-harakah yaitu gerakan seperti dikatakan air mengalir di sungai. Sedang menurut istilah ialah suatu ucapan yang terlontar di luar kesadaran, kata-kata yang diucapkan dalam keadaan sakar. Dalam mistik Hindu dan Muslim Zaehner mencatat baha al-Bustami pernah mengeluarkan kata-kata berikut ini: “Suatu ketika Allah mengangkat aku dan menempatkan aku di hadapan-Nya dan Ia berkata kepadaku”: “O Abu Yazid, makhluk-Ku, ingin melihat engkau.” Dan aku berkata: “Hiasilah aku dengan kesatuan-Mu dan kenakan padaku pakaian ke-Aku an-Mu dan angkatlah aku dalam ke-Esaan-Mu, sehingga apabila mahluk-mahluk-Mu melihatku mereka akan berkata”: “Kami telah melihat Engkau (yakni Allah) dan Engkau adalah Dia”. “padahal aku, Abu Yazid tidak di sana.” Pada kesempatam lain al-Bustami berkata: “Aku terjun ke dalam lautan malakut (dunia ide-ide) dan lahut (tabir ilahi), sampai aku mencapai tahta yang ternyata kosong; maka aku melempar diri ke atasnya dan berkata: “Tuhan, ke mana akan kucari Engkau?.” Dan tabir-tabir pun terangkat dan aku melihat bahwa aku adalah aku, ya aku adalah aku, aku kembali kepada apa yang aku cari dan akulah, dan bukan orang lain, yang ke dalamnya aku masuk.
Semakin larutnya dalam ittihad, di suatu pagi setelah shalat shubuh, Abu Yazid pernah melafalkan kalimat sampai orang lain menganggapnya orang gila dan menjauhinya dengan kalimat, “Sesungguhnya aku adalah Allah, tiada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku, maha suci aku, maha suci aku, maha besar aku”.
Ungkapan-ungkapan yang dikeluarkan oleh Abu Yazid diatas tidak dapat dilihat secara harfiah, tetapi harus dipandang sebagai ungkapan seorang sufi yang sedang dalam keadaan
fana’, seluruh pikiran, kehendak dan tindakannya telah baqa’ dalam Tuhan. Pada dasarnya semua wujud, selain wujud Tuhan adalah fana’, atau segala sesuatu selain Tuhan, dipandang dari keberadaan dirinya, sudah tidak ada fana’. Dengan demikian satu-satunya wujud yang ada hanyalah wujud Tuhan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
C.A.Qadir, Philosophy and Science in The Islamic World. Diterjemahkan oleh Hasan Basri, Filsafat fan ilmu pengetahuan dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989).
Syarah Binti Muhsin ibn Abdullah ibn Jalawi, Nadzariyyah al-Ittishal ‘Inda al-Shufiyyah fi al-Dhau’ al-Islam. (Jeddah: dar al-Manarah, 1991). Abdurrahman Badawi, Syatahat Ash-Shufiyyah, (Beirut: Dar Al Qalam, t.th.). Abu Bakar al-Kalabdzi, al-Ta’arruf li Madzhab ahl al-Tasawwuf, (Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah, 1969).