Pengertian Mistisisme dalam Islam
Pada: September 11, 2011
Shorter Enscyiclopedia of Islam disebut-sebut bahwa ia berasal dari bahasa Inggris mistic (gaib)-misticisme (orang-orang yang mendalami mistis).
Term mistisisme dalam dari kata mistic tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan sebutan mistis, yakni hal-hal tidak nampak dan tidak terjangkau dengan akal manusia biasa.
Term mistic dan mistis inilah, selanjutnya menjadi mistisisme dan bergandengan dengan Islam dengan sebutan “mistisisme Islam”, yang merupakan istilah khusus ditujukan kepada orang-orang Islam yang mendalami tasawuf, di mana dalam literatur Barat disebut dengan istilah sufisme.
Jadi, istilah sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain. Dalam literatur Islam, mistisisme disebut dengan al-tasawwuf, yang dalam bahasa Indonesia disebut tasawuf (tanpa alīf-lām).
Untuk merumuskan pengertian tasawuf, atau mistisisme Islam terdapat kesulitan. Alasannya, ia berpangkal pada pengalaman rohaniah yang hampir tidak mungkin dijelaskan secara tepat melalui bahasa lisan, karena masing-masing orang yang mengalaminya mempunyai penghayatan yang berbeda dari orang lain sehingga pengungkapannya juga melalui cara yang berbeda. Maka muncullah definisi tasawuf sebanyak orang yang mencoba menginformasikan menurut pengalaman rohaniahnya itu.
Kesulitan mendefinisikan tasawuf di samping faktor yang disebutkan di atas, juga karena ciri tasawuf yang intuitif subjektif, dipersulit lagi karena pertumbuhan dan kesejarahan tasawuf yang melalui berbegai segmen dan dalam kawasan kultur yang bervariasi.
Dalam setiap fase dan dalam setiap kawasan kultur, kemunculan tasawuf terlihat hanya sebagian dari unsur-unsurnya saja sehingga penampilannya tidak utuh dalam satu ruang dan waktu yang sama. Dari unsur-unsur yang berserak itulah kemudian disistematisir satu disiplin ilmu yang disebut tasawuf. Tepatlah kiranya bila Harun Nasution menyatakan bahwa tasawuf atau sufisme, merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari cara dan bagaimana seorang Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Allah.
Masih dalam masalah pengertian tasawuf, Ibrāhim Basyūni menurut koleksinya terdapat kurang lebih 40-an definisi tasawuf. Namun, dari sekian banyaknya definisi tersebut lebih lanjut ia menyadur batasan tasawuf ke dalam tiga definisi, yakni al-bidāyat, al-mujāhadāt dan al-mażāqāt. Yang dimaksudkan al-bidāyat adalah bahwa tasawuf merupakan prinsip awal sebagai manifestasi dari keseluruhan spritual manusia tentang dirinya.
Jadi, tasawuf di sini adalah sebagai upaya memahami hakikat Tuhan seraya melupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan kesenangan hidup duniawi.
Sedangkan al-mujāhadāt adalah bahwa tasawuf merupakan seperangkat amaliah dan latihan yang keras dengan satu tujuan yaitu berjumlah dengan Tuhan. Jadi, tasawuf di sini adalah sebagai usaha yang sungguh-sungguh agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan.
Adapun yang dimaksud dengan al-mażāqāt adalah bahwa tasawuf merupakan al-żauq yakni merasakan. Jadi tasawuf di sini adalah bagaimana yang dialami dan dirasakan seseorang di hadirat Tuhan.
Berdasar dari batasan-batasan di atas, maka memahami bahwa tasawuf sebagai disiplin ilmu yang dikemukakan Harun Nasution adalah mengacu pada upaya pembentukan moralitas yang bersumber dari nilai-nilai Islam.
Sedangkan tasawuf yang dibatasi dengan al-bidāyat,al-mujāhadāt dan al-mażāqāt yang dikemukakan oleh Ibrāhim Basyūmi adalah mengacu pada upaya penciptaan kesadaran manusia sebagai hamba yang kemudian mencari hubungan langsung hubungan dengan Tuhan untuk bersatu dengan-Nya.
Dengan demikian, tasawuf dalam pandangan penulis adalah mengacu pada moralitas-moralitas yang berdasarkan Islam. Artinya, bahwa prinsip tasawuf bermakna moral dan semangat Islam, karena seluruh ajaran Islam dari berbagai aspeknya adalah prinsip moral.
Dengan pemahaman-pemahaman seperti yang telah diuraikan, maka penulis merumuskan bahwa pengertian tasawuf yang juga disebut dengan mistisisme Islam atau sufisme adalahilmu tentang hakikat dari realitas-realitas intuitif berdasarkan moral Islam yang bertujuan untuk sampai ke ma’rifatullah.
Untuk sampai ke-ma’rifatullah tersebut, maka jalan yang ditempuh seseorang untuk menuju pada-Nya memiliki stasion-stasion (tingkatan-tingkatan) yang dalam istilah sufi disebut maqāmāt. Dengan melalui stasion-stasion tersebut, biasanya seseorang mengalami keadaan mental tertentu yang disebut dengan al-hāl (al-ahwāl), kemudian setelah menyatu dengan Tuhan maka ia disebut al-ittihād dan dapat mengambil bentuk al-hulūl, wahdah al-wujūd dan atau al-fanā wa al-baqā.
Sekaitan dengan ini, para sufi ternyata berbeda-beda dalam mengurut proses perjalanan maqamat dan bentuk ahwal, serta wujud al-ittihād itu sendiri, namun yang lazimnya tersosialisasi menurut pandangan penulis adalah tahapan-tahapan sebagaimana pola diagram berikut ini :
Dengan melihat pola diagram di atas, maka dapat dipahami bahwa jalan-jalan yang ditempuh untuk sampai kepada Tuhan, memang sangat panjang dan berliku. Bahkan keadaan yang dialami ketika ia sudah sampai kepada-Nya sangat bervariasi.
Namun, bagi penulis bahwa apa yang mereka amalkan itu, tidak keluar dari esensi Islam, karena tetap berdasar pada penekanan aspek moralitas (adab) para sūfi (ahli tasawuf). Karena itu, seorang sūfi adalah seorang Muslim yang bermoral. Semakin ia bermoral, semakin bersih dan bening (safā) jiwanya dan inilah yang mengantar dia untuk dekat dengan sekat-dekatnya dan sampai kepada Tuhan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan: HAR Gibb dan JM, Kraemer, Shorter Encyclopedia of Islam, vol 4Leiden: E.J. Brill, 1963. Departeman Pendidikan & Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1991. al-Kalābazi, al-Ta’āruf li Mażhab Ahl al-Tasawuf, Kairo: Maktabat al-Kulliyat al-Azhariyah, 1969. Margaret Smith, Reading from the Mistics of Islam London: Part Press, 1960. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990. Arberry, A.J. Sufism and Account of The Mistics of Islam Oxford: Weisbaden, 1983. A.R. Badawi, Syarhāt al-Shūfiyat al-Nahdhah Kairo: Maktab al-Mishriyah, 1977. Jumhuriyah Mishriyah al-Arabiyah Majma’ul Lughah al-Arabiyah, Al-Mu’jamal-Falsafiy al-Qahirah: t.p, 1979.
Term mistisisme dalam dari kata mistic tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan sebutan mistis, yakni hal-hal tidak nampak dan tidak terjangkau dengan akal manusia biasa.
Term mistic dan mistis inilah, selanjutnya menjadi mistisisme dan bergandengan dengan Islam dengan sebutan “mistisisme Islam”, yang merupakan istilah khusus ditujukan kepada orang-orang Islam yang mendalami tasawuf, di mana dalam literatur Barat disebut dengan istilah sufisme.
Jadi, istilah sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain. Dalam literatur Islam, mistisisme disebut dengan al-tasawwuf, yang dalam bahasa Indonesia disebut tasawuf (tanpa alīf-lām).
Untuk merumuskan pengertian tasawuf, atau mistisisme Islam terdapat kesulitan. Alasannya, ia berpangkal pada pengalaman rohaniah yang hampir tidak mungkin dijelaskan secara tepat melalui bahasa lisan, karena masing-masing orang yang mengalaminya mempunyai penghayatan yang berbeda dari orang lain sehingga pengungkapannya juga melalui cara yang berbeda. Maka muncullah definisi tasawuf sebanyak orang yang mencoba menginformasikan menurut pengalaman rohaniahnya itu.
Kesulitan mendefinisikan tasawuf di samping faktor yang disebutkan di atas, juga karena ciri tasawuf yang intuitif subjektif, dipersulit lagi karena pertumbuhan dan kesejarahan tasawuf yang melalui berbegai segmen dan dalam kawasan kultur yang bervariasi.
Dalam setiap fase dan dalam setiap kawasan kultur, kemunculan tasawuf terlihat hanya sebagian dari unsur-unsurnya saja sehingga penampilannya tidak utuh dalam satu ruang dan waktu yang sama. Dari unsur-unsur yang berserak itulah kemudian disistematisir satu disiplin ilmu yang disebut tasawuf. Tepatlah kiranya bila Harun Nasution menyatakan bahwa tasawuf atau sufisme, merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari cara dan bagaimana seorang Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Allah.
Masih dalam masalah pengertian tasawuf, Ibrāhim Basyūni menurut koleksinya terdapat kurang lebih 40-an definisi tasawuf. Namun, dari sekian banyaknya definisi tersebut lebih lanjut ia menyadur batasan tasawuf ke dalam tiga definisi, yakni al-bidāyat, al-mujāhadāt dan al-mażāqāt. Yang dimaksudkan al-bidāyat adalah bahwa tasawuf merupakan prinsip awal sebagai manifestasi dari keseluruhan spritual manusia tentang dirinya.
Jadi, tasawuf di sini adalah sebagai upaya memahami hakikat Tuhan seraya melupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan kesenangan hidup duniawi.
Sedangkan al-mujāhadāt adalah bahwa tasawuf merupakan seperangkat amaliah dan latihan yang keras dengan satu tujuan yaitu berjumlah dengan Tuhan. Jadi, tasawuf di sini adalah sebagai usaha yang sungguh-sungguh agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan.
Adapun yang dimaksud dengan al-mażāqāt adalah bahwa tasawuf merupakan al-żauq yakni merasakan. Jadi tasawuf di sini adalah bagaimana yang dialami dan dirasakan seseorang di hadirat Tuhan.
Berdasar dari batasan-batasan di atas, maka memahami bahwa tasawuf sebagai disiplin ilmu yang dikemukakan Harun Nasution adalah mengacu pada upaya pembentukan moralitas yang bersumber dari nilai-nilai Islam.
Sedangkan tasawuf yang dibatasi dengan al-bidāyat,al-mujāhadāt dan al-mażāqāt yang dikemukakan oleh Ibrāhim Basyūmi adalah mengacu pada upaya penciptaan kesadaran manusia sebagai hamba yang kemudian mencari hubungan langsung hubungan dengan Tuhan untuk bersatu dengan-Nya.
Dengan demikian, tasawuf dalam pandangan penulis adalah mengacu pada moralitas-moralitas yang berdasarkan Islam. Artinya, bahwa prinsip tasawuf bermakna moral dan semangat Islam, karena seluruh ajaran Islam dari berbagai aspeknya adalah prinsip moral.
Dengan pemahaman-pemahaman seperti yang telah diuraikan, maka penulis merumuskan bahwa pengertian tasawuf yang juga disebut dengan mistisisme Islam atau sufisme adalahilmu tentang hakikat dari realitas-realitas intuitif berdasarkan moral Islam yang bertujuan untuk sampai ke ma’rifatullah.
Untuk sampai ke-ma’rifatullah tersebut, maka jalan yang ditempuh seseorang untuk menuju pada-Nya memiliki stasion-stasion (tingkatan-tingkatan) yang dalam istilah sufi disebut maqāmāt. Dengan melalui stasion-stasion tersebut, biasanya seseorang mengalami keadaan mental tertentu yang disebut dengan al-hāl (al-ahwāl), kemudian setelah menyatu dengan Tuhan maka ia disebut al-ittihād dan dapat mengambil bentuk al-hulūl, wahdah al-wujūd dan atau al-fanā wa al-baqā.
Sekaitan dengan ini, para sufi ternyata berbeda-beda dalam mengurut proses perjalanan maqamat dan bentuk ahwal, serta wujud al-ittihād itu sendiri, namun yang lazimnya tersosialisasi menurut pandangan penulis adalah tahapan-tahapan sebagaimana pola diagram berikut ini :
Dengan melihat pola diagram di atas, maka dapat dipahami bahwa jalan-jalan yang ditempuh untuk sampai kepada Tuhan, memang sangat panjang dan berliku. Bahkan keadaan yang dialami ketika ia sudah sampai kepada-Nya sangat bervariasi.
Namun, bagi penulis bahwa apa yang mereka amalkan itu, tidak keluar dari esensi Islam, karena tetap berdasar pada penekanan aspek moralitas (adab) para sūfi (ahli tasawuf). Karena itu, seorang sūfi adalah seorang Muslim yang bermoral. Semakin ia bermoral, semakin bersih dan bening (safā) jiwanya dan inilah yang mengantar dia untuk dekat dengan sekat-dekatnya dan sampai kepada Tuhan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan: HAR Gibb dan JM, Kraemer, Shorter Encyclopedia of Islam, vol 4Leiden: E.J. Brill, 1963. Departeman Pendidikan & Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1991. al-Kalābazi, al-Ta’āruf li Mażhab Ahl al-Tasawuf, Kairo: Maktabat al-Kulliyat al-Azhariyah, 1969. Margaret Smith, Reading from the Mistics of Islam London: Part Press, 1960. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990. Arberry, A.J. Sufism and Account of The Mistics of Islam Oxford: Weisbaden, 1983. A.R. Badawi, Syarhāt al-Shūfiyat al-Nahdhah Kairo: Maktab al-Mishriyah, 1977. Jumhuriyah Mishriyah al-Arabiyah Majma’ul Lughah al-Arabiyah, Al-Mu’jamal-Falsafiy al-Qahirah: t.p, 1979.