Perbedaan Pendapat Cara Tuhan Menurunkan al-Qur'an
Pada: September 14, 2011
Secara garis besar, cara wahyu Allah (al-Quran) turun kepada Nabi, ada yang melalui perantara dan ada pula tanpa melalui perantara, sebagaimana yang dijelaskan al-Qattan dalam bukunya “Mabahits fi ‘Ulum al-Quran”. Turunnya wahyu dengan melalui perantara sebagimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa al-Quran turun kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril. Menurut al-Qattan ada dua cara penyampaian wahyu oleh malaikat Jibril kepada Nabi yaitu:
Pertama: Datang kepadanya suara seperti dencingan lonceng dan suara yang amat kuat yang mempengaruhi faktor-faktor kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini yang paling berat buat Rasulullah saw dengan cara ini, maka ia mengumpulkan segala kekuatan kesadarannya untuk menerima, menghafal, dan memahaminya. Suara itu mungkin suara kepakan sayap-sayap malaikat, seperti diisyaratkan dalam hadits:
إِذَا قَضَى اللَّهُ لأَمْرفِى السَّمآءِ ضَرَبَتِ الْمَلاَءِكَةِ بِأَجْنِحَتِهاَ خضعاناً لِقَوْلِهِ كَا لْسلسلة عَلَى صِفْوَانِ.“Apabila Allah menghendaki suatu urusan dilangit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan gemerincingnya mata rantai diatas batu-batu yang licin”
kedua: malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia. Cara yang demikian itu, lebih ringan daripada cara yang sebelumnya, karena adanya kesesuaian antara pembicara dan pendengar. Rasul saw merasa senang sekali mendengarkan dari utusan pembawa wahyu itu, karena merasa seperti manusia yang berhadapan dengan saudaranya sendiri.
Keadaan Jibril menampakkan diri seperti seorang laki-laki itu tidaklah mengharuskan ia melepaskan sifat kerohaniaannya, dan tidak pula berarti bahwa zatnya telah berubah menjadi seorang laki-laki, tetapi yang dimaksudkan ialah bahwa dia menampakkan diri dalam bentuk manusia tadi untuk menyenangkan Rasulullah sebagai manusia. Yang sudah pasti keadaan pertama, tatkala wahyu turun seperti dencingan lonceng, tidak menyenangkan karena keadaan yang demikian menuntut ketinggian rohani dari Rasulullah yang seimbang dengan tingkat kerohaniaan malaikat, dan inilah yang paling berat.
Pertanyaannya ialah bagaimana komunikasi ini dapat terjadi, padahal terdapat perbedaan watak karena perbedaan tingkat eksistensi? Jawabannya bahwa ada perubahan yang terjadi pada salah satu dari dua pihak yang terlibat dalam proses komunikasi sehingga komunikasi dengan pihak lain dapat dimungkinkan. Salah satunya, Rasulullah berubah dari status kemanusiaannya dan masuk kedalam status kemalaikatan, kemudian menerima wahyu dari Jibril. Kedua, malaikat mengubah diri masuk ke status kemanusiaan sehingga Rasulullah dapat menerima wahyu dari Jibril. Yang pertama merupakan situasi yang paling berat.
Ibnu Khaldun berkata:
“Dalam keadaan yang pertama, Rasulullah melepaskan kodratnya sebagai manusia yang bersifat jasmani untuk berhubungan dengan malaikat yang rohani sifatnya. Sedang dalam keadaan lain sebaliknya, malaikat berubah dari yang rohani semata menjadi manusia jasmani”.Kemudian Ibnu Khaldun membedakan kedua situasi ini dan mengaitkan masing-masing dari dua situasi tersebut dengan kode yang dipergunakan dalam komunikasi. Situasi pewahyuan memerlukan kesiapan khusus yang dalam konteks para nabi merupakan kesiapan fitri yang berasal dari seleksi Ilahiyah terhadap manusia. Dengan kesiapan ini, nabi yang juga manusia dapat mentransformasikan diri dari kemanusiaannya menjadi malaikat sehingga, ia dapat menerima wahyu dari malaikat. Setelah mereka (para nabi) bergerak dalam tahapan tersebut, melepaskan diri dari kemanusiaan dan menerima di alam malaikat langit, yang mereka terima (wahyu) dan membawa wahyu itu menurungi tangga-tangga kemampuan persepsi kemanusiaan, untuk disampaikan kepada manusia. Kadang-kadang terjadi semacam suara gemuruh yang didengar nabi. Suara tersebut seperti kata-kata yang tidak jelas. Dari kata-kata itu, ia mengambil ide (pesan) yang disampaikan kepadanya. Suara dengungan itu tidak akan melenyapkan ide tersebut yang diterima dan dipahaminya itu. Kadang-kadang malaikat yang menyampaikan wahyu itu muncul dalam rupa seorang laki-laki, kemudian berbicara kepadanya dan ia memahami (menangkap) apa yang dikatakan kepadanya. Belajar dari malaikat dan kembali ke tingkat persepsi kemanusiaan serta menangkap apa yang disampaikan kepadanya, semuanya seolah-olah terjadi dalam sekejap saja, bahkan lebih cepat daripada kelipan mata. Peristiwa itu tidak berada dalam dimensi waktu. Bahkan seluruhnya terjadi secara simultan dan sedemikian cepat. Oleh karena itu, disebut wahyu karena wahyu menurut bahasa adalah mempercepat.
Kedua cara penyampaian wahyu( al-Quran) dari malaikat ke Nabi saw itu tersebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mukminin ra, bahwa Harits bin Hisyam ra bertanya kepada Rasulullah saw mengenai hal itu, Nabi menjawab:
أَحْيَانَا يَأْتِيْنِيْ مِثْلَ صَلْصَلَةالْجَرَس،وَهُوَأَشَدُّعَلَيَّ فَيَفْصم عَنِّىوَقَدْوَعَيْتُ عَنْهُ مَاقَال وَاَحْيَانَايَتمثَل
لِيَ الْمُلْكُ رَجُلاًفَيَتَكَلَّمُنِىْفَأعى مَايَقُوْلُ.َ
“Kadang-kadang ia datang kepadaku bagaikan dencingan lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku, lalu ia pergi, dan aku telah menyadari apa yang dikatakannya. Dan terkadang malaikat menjelma sebagai seorang laki-laki, lalu dia berbicara kepadaku, dan aku pun memahami apa yang dia katakan”.
Al-Khattabi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan suara gemerincing lonceng ialah, suara riuh/bising kedengarannya, sehingga keadaan yang demikian itu menegangkan beliau. Setelah itu barulah beliau dapat memahaminya.
Kemudian, turunnya wahyu tanpa melalui perantara, ada kalanya melalui dengan mimpi yang benar, dan ada kalanya melalui dari balik tabir. Peristiwa mimpi yang benar yang dialami Nabi telah dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra:
“Dari Aisyah ra, dia berkata : Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi pada diri Rasulullah saw adalah mimpi yang shalih didalam tidurnya tidak melihat mimpi itu kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari”.
Hal ini merupakan persiapan bagi Rasulullah untuk menerima wahyu dalam keadaan sadar, dan tidak tidur. Kemudian peristiwa yang dapat diambil contoh turunnya wahyu dari balik tabir, seperti yang dialami nabi saw ketika beliau menerima perintah shalat pada peristiwa isra’ dan mi’raj. Demikianlah pendapat ulama yang paling sah.
Secara singkat proses turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad saw telah dijelaskan dalam al-Quran. (Q.S. Asy-Syuara:51).
“Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”.
As-Shobuni dalam kitabnya “al-Tibyan fi ‘Ulum al-Quran” membagi dua tahap turunnya al-Quran yaitu:
- Dari Lauh al-Mahfudz ke sama’ (langit) dunia secara sekaligus pada malam lailatul qadar
- Dari sama’ dunia ke bumi secara bertahap dalam masa dua puluh tiga tahun.
Penurunan pertama, dimaksudkan pada malam mubarakah yaitu malam lailatul qadar diturunkanlah al-Quran secara sempurna ke Baitul Izzah di langit pertama, alasan yang demikian adalah didasarkan dari nash sebagai berikut (Q.S. al-Dukhan:1-3):
“Haa Miim. Demi Kitab (al-Quran) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan
“Sesungguhnya kami telah menurunkan (al-Quran) pada malam kemuliaan, dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?.(Q.S. al-Qadr:1-2)
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda(antara yang hak dan yang bathil). (Q.S. al-Baqarah:185).
Tiga ayat diatas menyatakan bahwa al-Quran diturunkan pada satu malam mubarakah serta dinamai dengan lailatul qadar yaitu salah satu malam pada bulan Ramadhan. Hal ini menyatakan bahwa turunnya al-Quran ialah turun tahap pertama keBaitul Izzah dilangit pertama. Sebagai alasannya apabila yang dimaksud dalam penurunan ini adalah penurunan pada tahap kedua yaitu kepada nabi saw, maka tidaklah tepat bila dikatakan satu malam dan satu bulan yaitu bulan ramadhan, karena al-Quran diturunkan kepada nabi dalam masa yang lama yaitu selama masa kerasulan 23 tahun serta diturunkan bukan saja pada bulan ramadhan tetapi juga pada bulan lainnya. Dari itu nyatalah bahwa yang dimaksudkan adalah penurunan pada tahap pertama.
Adapun hadits-hadits shahih yang menguatkan analisa diatas adalah sebagai berikut:
Dari Ibnu Abbas ra bahwa ia berkata: al-Quran itu dipisahkan dari dzikir lalu diturunkan ke Baitul Izzah dilangit pertama kemudian disampaikan oleh Jibril kepada nabi saw, (Hadits riwayat Hakim).
Dari Ibnu Abbas ra bahwa ia berkata: al-Quran diturunkan sekaligus kelangit pertama (tempat turun secara berangsur ). Dari sinilah Allah menurunkan kepada Rasul-Nya sedikit demi sedikit. (Hadits riwayat Thabran).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas pula bahwa ia berkata: al-Quran diturunkan pada malam lailatul qadar di bulan suci Ramadhan kelangit pertama secara sekaligus, kemudian diturunkan secara berangsur-angsur.(Hadits riwayat Hakim dan Baihaqi).
Penurunan tahap pertama ini, banyak diperselisihkan oleh para ulama. Setidaknya ada tiga pendapat yaitu:
al-Quran diturunkan kelangit dunia pada malam al-Qadar sekaligus, yakni lengkap dari awal sampai akhirnya. Kemudian diturunkan berangsur-angsur sesudah itu dalam tempo 20 tahun atau 23 tahun atau 25 tahun. Berdasar kepada perselisihan yang terjadi tentang berapa lama Nabi bermukim di Makkah sesudah beliau diangkat menjadi Rasul.
Al-Quran itu diturunkan kelangit dunia dalam 20 kali lailatul qadar dalam 20 tahun, atau dalam 23 kali lailatul qadar dalam 23 tahun, atau dalam 25 kali lailatul qadar dalam 25 tahun. Pada tiap-tiap malam diturunkan kelangit dunia sekedar yang hendak diturunkan dalam tahun itu kepada Muhammad saw dengan syarat berangsur-angsur.
Al-Quran itu permulaan turunnya ialah dimalam lailatul qadar. Kemudian diturunkan sesudah itu dengan berangsur-angsur dalam berbagai waktu.
Penurunan tahap kedua adalah dari langit pertama ke lubuk hati Nabi saw, dengan cara berangsur-angsur yang memakan waktu selama 23 tahun yaitu sejak kebangkitannya sebagai rasul sampai beliau wafat. Adapun alasan bahwa al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur adalah (Q.S. al-Isra’:106):
“Dan al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian”.
Orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik mencela Nabi saw, karena diturunkannya al-Quran secara terpisah-pisah. Mereka menghendaki agar diturunkannya secara sekaligus sebagaimana diturunkannya Taurat kepada Musa?
Dari peristiwa itu, maka turunlah dua ayat tersebut diatas sebagai bantahan terhadap mereka. Bantahan tersebut sebagaimana dikemukakan oleh az-Zarqany mengandung dua pengertian: (1). Bahwa al-Quran diturunkan kepada Nabi saw secara berangsur-angsur dan(2). Kitab samawi sebelumnya diturunkan secara sekaligus, sebagaimana telah populer dikalangan jumhur.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abu, Zaid, Hamid Nasr, Mafhum an-Nash, Diratsah fii ‘Ulum al-Quran, diterjemahkan oleh, Khoiron Nahdliyyin, dengan judul, Tekstualitas Al-Quran, Yogyakarta: LKIS, 2003, Abu Anwar, Ulumul Quran sebuah pengantar, Pekan Baru: PT. Amzah, 2002, Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran, bulan Bintang, Jakarta: 1992, Al-Qathan, Manna’, Mabahits fi ‘Ulum al-Quran, diterjemahkan oleh Mudzakkir AS dengan judul Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, Jakarta: PT. Pustaka Literatur Antar Nusa, 2002, As-Shalih Subhi, Mabahits fi Ulum al-Quran, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996, Az-Zarkasyi (Badaruddin Muhammad bin Abdillah), al-Burhan fi Ulumi al-Quran, Beirut: dar al-Ma’rifat li at-Tiba’ahwa an-Nasyr,1972, Az-Zanji, Abdullah Abu, Wawasan Baru Tarikh al-Quran, Bandung : PT. Mizan, 1986.