Perbincangan tentang Kausalitas (2)
Pada: September 10, 2011
Persoalan "sebab" dan "akibat" dari dulu hingga sekarang bahkan hinga masa yang akan datang merupakan sebuah pencipta kebingungan.
Terjadi kebakaran di Pondok Cabe Jakarta barusan, menyimpulkan penyebab dari ini, itu, bla bla. Ataukah kita anggap sebagai sebab utama adalah api, apakah benar, lebih utama lagi, dari arus pendek listrik sehingga menimbulkan api, atau?
Kita ambil contoh yang sederhana;
Apabila kita membandingkan antara dua wujud A dan B dan kita melihat bahwa wujud A berada dalam posisi dimana apabila ia eksis maka wujud B pun akan menjadi eksis. Dan selama A tidak eksis maka B pun tidak akan eksis. Dan wujud B merupakan manifestasi penjelas yang bergantung dan berkaitan erat dengan wujud A. Maka dalam kondisi ini kita mengatakan bahwa: A adalah sebabnya B dan B adalah akibat dari A. Oleh karena itu dalam mendefinisikan sebab dan akibat kita akan mengatakan: sebab merupakan wujudun mutawaqqaf ‘alaih (mengadanya sesuatu bergantung kepadanya) dan akibat adalah wujud mutawaqqif bihi (sesuatu yang bergantung). Wujudun mutawaqqaf ‘alaih dan wujud mutawaqqif bihi, dalam filsafat kemudian dikenal dengan hukum kausalitas.
Dalam kitab “Târikh Falsafah”, dijumpai para ilmuwan pertama Yunani yang terkenal sebagai para filosof Iyuni sampai pada kesimpulan bahwa mereka telah berhasil menemukan unsur pertama atau mâddat al-mawâd dari semua benda-benda semesta, dengan demikian harus dikatakan bahwa Filsafat telah dimulai dengan persoalan kausalitas dan pada prinsipnya manusia pun telah dimulai dengan kausalitas dimana perenungan dan kontemplasi manusia sama sekali tidak akan pernah terpisah dari persoalan ini. Dengan kata lain, masalah kausalitas bukanlah sebuah dilema yang dituju oleh manusia, melainkan kausalitas-lah yang berjalan menuju kepada manusia dan dia telah membebankan dirinya atas manusia, memenuhi semua pemikiran manusia dan menyibukkan semua kontemplasi dan perenungannya.
Tentu saja, dengan sebuah kata “Mengapa” atau “Apakah” kita bisa bertanya untuk setiap kalimat yang ada dan untuk segala hal yang kita temukan, akan tetapi kita sangat paham bahwa semua pertanyaan tersebut pada hakikatnya bukanlah “pertanyaan” kita dan tidak pernah mengusik perenungan dan jiwa kita, tidak pernah mengekang kita dan kitapun tidak pernah bersitegang dengannya, akan tetapi masalah kausalitas tidak akan pernah demikian.
Persoalan kausalitas sebagaimana kebanyakan persoalan filsafat, setiap kali pertanyaan lain diletakkan di bawah naungannya maka pertanyaan tersebut akan diletakkan pada tingkatan kedua. Masalah kausalitas merupakan masalah yang prinsip dan mengakar dan manusia tidak bisa, misalnya, membagi waktu sehari semalamnya dengan sebagiannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan sebagiannya lagi, misalnya satu hingga dua jam untuk merenungkan masalah sebab pertama (the first cause).
Sebab dan akibat ini, merupakan bagian dari akal kedua filsafat yang merupakan penjelas metode wujud, dan yang diperoleh dengan kontemplasi dan usaha keras pikiran. Dengan istilah lain, media aksidensi mereka adalah pikiran dan media karakteristik mereka adalah obyek luar. Dari sini karena kedua persepsi tersebut tidak berada dalam satu kategori dan tidak termasuk pula dalam mâhiyat (esensi, ke-apa-an), telah menyebabkannya tidak mempunyai definisi yang hakiki dan logis, dan apa yang didefinisikan dalam kitab Filsafat tentang keduanya hanyalah merupakan syarhul-lafdzi (penjelas kata).
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber