Perjalanan Mistis Rabi’ah al-‘Adawiyyah
Pada: September 13, 2011
Rabi’ah al-‘Adawiyyah tercatat sebagai perintis dalam sejarah perkembangan tasauf, dialah yang mengemukakan dan membawa versi baru dalam hidup kerohanian Islam, sebab generasi sebelumnya merintis hidup kerohanian hanya berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah swt. Buya Hamka mengutip komentar Mustafa Abdul Razik tentang Rabi’ah al-‘Adawiyyah. Ia mengatakan bahwa sebelum Rabi’ah, tasauf itu, masih bersifat sederhana saja. Perkataan ahli tasauf belum menyinggung rasa sufi, dan belum merentangkan jalannya yang tentu. Ia pun menambahkan bahwa Rabi’ah-lah yang menjadi Imam bagi segenap kaum sufi yang datang kemudian, yang asyik dan rindu “dendam” kepada Tuhan di dalam Islam.
Rabi’ah al-‘Adawiyyah merupakan peletak dasar konsep cinta kepada Allah swt dalam dunia tasauf, yaitu sebuah perasaan dekat kepada-Nya yang tumbuh dari hatinya yang paling dalam, dan tulus sehingga cintanya kepada Allah swt melebihi di atas segala-galanya, cinta yang tulus dan dari jiwa yang ikhlas tidaklah mengharapkan imbalan. Konsep tersebut kemudian dikenal dengan istilah al-mahabbah al-ilahiyyah.
Menurut Rabi’ah, kedekatannya kepada Allah swt adalah suatu hal yang harus dilakukan, sebab Tuhan bukanlah suatu zat yang harus ditakuti, tapi sebaliknya Tuhan justru sebagai suatu zat yang harus dicintai dan didekati. Untuk itulah cara mencintai dan mendekati Tuhan menurut Rabi’ah harus dilakukan dengan memperbanyak ibadah. Dengan kata lain, untuk mencapai tingkat mahabbahseseorang harus melewati stasion (maqam-maqam). Pada setiap maqamdilaluinya dengan susah, maqam-maqam yang dialuinya itu dapat diketahui melalui pengalaman-pengalaman mistiknya serta syair-syair yang diungkapkannya. Mulai dari tingkat ikhlas dan ridha sehingga cintanya hanya tertuju kapada Allah swt semata.
Setelah ia menikmati kebebasan dari majikannya, pertama-tama ia menyepi dari tempat keramaian. Dalam kesunyian ia beribadah dan bermunajat kapada Allah. Setiap malam dipergunakan untuk memperbanyak taubat kepada-Nya yang merupakan langkah awal untuk mendekatkan diri kepada sang Pencipta. Sebagaimana disebutkan oleh ‘Abd al-Wahhab al-Sya’rani dalam kitabnya “al-Anwar al-Qudsiyyah fi ma’rifah Qawa’id al-Sufiyyah” bahwa tidak boleh dan tidak bisa seseorang memasuki dunia tarekat sebelum ia bertaubat. Hal ini terlihat dari ungkapan kasih sayangnya
تعصى الإله و أنت تظهر حبه هذا لعمري في الفعال بديءلو كان حبك صادق لاطعته إن المحب لمن يحب يطيع“Engkau durhaka kepada Tuhan di dalam batin, tetapi di lidah engkau menyebut ta’at kepada-Nya. Demi umurku. Ini buatan yang ganjil amat. Jika cinta sejati, tentu kau turut apa perintah-Nya. Karena pecinta ke yang dicinta taat dan patuh”.
Kesungguhan dan keikhlasan dalam beribadah itu akhirnya Rabi’ah mampu menyelami Tuhan, sehingga yang berharga bagi dirinya hanyalah berjumpa dengan-Nya. Al-Hujwiri meriwayatkan bahwa suatu ketika ada seorang hartawan berkata kepada Rabi’ah, mintalah kepadaku segala kebutuhanmu! Rabi’ah pun menjawab, “Aku ini malu meminta sesuatu kepada Pencipta dunia ini, apalagi kepada sesama makhluk”. Jawaban ini memberikan gambaran, betapa tidak tertariknya dia kepada dunia. Kepada pemilik harta (Allah) ia malu meminta, apalagi kepada bukan pemiliknya yaitu sesama manusia.
Selain keikhlasan yang diperlukan dalam ibadahnya, ia juga mengajarkan tentang rendah hati dan tidak ria. Amalan yang ia lakukan tidak pernah ia tonjolkan. Ia sangat merahasiakan, apalagi menceritakannya kepada orang lain.
Setelah menapaki maqam di atas, Rabi’ah kemudian meningkatkan dirinya pada tingkat ridha, artinya bahwa ibadah apapun yang dilakukannya karena ridhanya. Ridha di sini berarti perasaan cinta menerima segala sesuatu dari yang dicintai, perasaan rela tersebut haruslah tumbuh dari dalam diri yang mencintai terhadap segala ketentuan dan keinginan yang dicintai.
Dalam ridha ini harus ada timbal balik, yaitu seseorang harus ridha, karena hanya dengan ridha yang dimilikinya itu pula, Tuhan ridha padanya. Dalam suatu perbincangan antara Sufyan al-Tsauri dengan Rabi’ah. Ia berkata dihadapan Rabi’ah, “Ya Tuhanku, ridhailah diriku ini”, Rabi’ah berkata, Ama tastahyi an tat}luba al-rida min lasta ‘anhu biradin “Tidakkah kamu malu meminta ridha kepada Zat yang kamu sendiri tidak ridha pada-Nya”. Dialog ini memberikan isyarat, bahwa ridha harus timbal balik antara pemberi ridha dan orang yang diberi ridha. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt. QS. Al-Maidah 5 /119. Radhiyallahu ‘anhum wa radu ‘anhu zalika al-fauz al-Azim.
Setelah maqam ridha ini, Rabi’ah pun meningkatkan maqam-nya sampai pada syauq atau perasaan rindu yang paling dalam kepada yang dicintai, kerinduan tersebut selalu mendambakan pertemuan, ia tidak pernah berhenti meratapi keinginan untuk bertemu dengan yang dicintainya. Hal ini terlihat pada jawabannya ketika al-Tsauri bertanya kepadanya,
ما حقيقة إيمانك؟ قالت ما عبدته خوفا من ناره ولا حبا لجنته فأكون كالأجير السوء، بل عبدته حبا له وشوقا إليه“Bagaimana hakikat keimananmu? Rabi’ah pun menjawab, “Aku tidak menyembah-Nya karena takut pada neraka-Nya atau mengharapkan surga-Nya karena sekiranya seperti itu tujuanku maka aku ini tak ubahnya seperti pedangang yang buruk, akan tetapi aku menyembah-Nya karena cinta dan rinduku pada-Nya”.
Lebih jauh lagi ia mengatakan dalam syairnya:
أحبك حبين حب الهوىوحباً لأنك أهل لذاكافأما الذي هو حب الهوى فشغلي بذكرك عمن سواكاوأما الذي أنت أهل له فكشفك لي الحجب حتى أراكافلا الحمد في ذا ولا ذاك لي ولكن لك الحمد في ذا وذاكا“Aku cinta pada-Mu dengan dua macam cinta, cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah keadaanku yang senatiasa rindu dan mengingat-Mu. Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir hingga Engkau kulihat. Baik untuk itu maupun untuk itu, pujian bukanlah bagiku. Bagi-Mulah pujian untuk kesemuanya”.
Setelah melawati maqam syauq ini, ia pun memasuki maqamyang terakhir yaitu uns atau perasaan yang paling dekat dan intim dengan yang dicintai sehingga tidak ada ruang dalam hati yang mencintai untuk mengingat yang lain selain yang dicintainya, dan ingin selalu berada dekat sedekat mungkin di sisi yang dicintai. Buya Hamka mengutip salah satu syair cinta dari Rabi’ah :
إني جعلتك في الفؤاد محدثي وأبحت جسمي من أراد جلوسيفالجسم مني للجالس مؤانسونوحبيه قلبي في الفؤاد آنسي“Kujadikan Engkau, teman bercakap dalam hatiku. Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk. Jisimku biar bercengkrama dengan taulanku. Namun isi hatiku, hanyalah tetap Engkau sendiri”.
Dalam syair-syairnya itu nyatalah bahwa ke mana tujuan zuhudRabi’ah, yaitu kepada Tuhan karena Tuhan, bukan kepada Tuhan karena mengharap. Baginya soal surga dan neraka adalah soal nomor dua bahkan bukan soal sama sekali karena cinta itu sendiri merupakan sebuah kenikmatan yang sangat besar dan tidak ada lagi yang melebihinya. Demikianlah Rabi’ah al-‘Adawiyyah dalam perjalanan mistiknya berakhir dengan cinta sejati kepada Ilahi sebagai manifetasi sekaligus tafsir terhadap ayat al-Qur’an yang jelas-jelas melukiskan hubungan cinta di antara Tuhan dengan hamba-Nya.
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber