Tulisan Amburadul tentang Pendidikan?
Pada: September 15, 2011
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Atas dasar hal tersebut, salah satu sousi paling efisien adalah peningkatan mutu pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah dan atas termasuk perguruan tinggi.
Permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok pembangunan membuat proses pendidikan atau pengolahan pendidikan ter-reduksi oleh hal-hal yang sebenarnya melanggar aturan dasar pendidikan yang tertuang dalam UUD, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.
Bisa dibayangkan, apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, kedepan bidang ekonomi akan bermasalah, bahkan semua bidang akan terpengaruh, karena tiap orang akan korupsi, hanya memikirkan hal yang mementingkan tujuan sesaat individu. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan fokus utama dan menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.
Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan?
Masalah pedidikan utama, perhatian pemerintah masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit, hamper semua kebijakan pendidikan berbau ‘proyek’. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan sangat kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kelirunya alokasi anggaran (APBN) pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten. Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah.
Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA bahkan sampai perguruan tinggi, tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.
Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”
Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas?
”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. Dengan asumsi kenaikan biaya pendidikan 10%-15%, bisa kita hitung sendiri untuk tahun 2020.
Makin mahalnya biaya pendidikan dari dulu sampai sekarang katanya diatasi dengan konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.
Namun, pada tingkat implementasinya, hal ini tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya. Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Kesempatan ini kami ajukan beberpa kasus sebagai contoh dan bahan pertimbangan; “di beberapa PT (baca: perguruan tinggi), telah dibuka jalur kemitraan non subsidi, untuk jurusan-jurusan “elit” misalnya kedokteran. Alasan kebanyakan PT dengan gaya ini sangat klise; karena banyaknya peminat untuk jurusan-jurusan “elite” ini. Tapi faktanya, mahasiswa dari mana yang mendaftar di jalur ini?, yang berduit, anak pejabat, mumpuni, pokoknya serba wah deh…berapa yang harus disiapkan untuk bisa lulus?, ratusan juta. Bagaimana proses perkuliahan?, yang penting bayar. Lantas bagaimana 6-7 tahun kemudian?, kemungkinan terjadi mall praktik yang merata..waahhh..”
“Untuk para pegawai, pejabat yang memiliki waktu khusus dikantor dan berkeinginan melanjutkan studi, dibuka kelas jauh atau dengan bahasa halus non-reguler. Bagaimana prosesnya, tiap daerah yang jauh dari perguruan tinggi yang diinginkan, membentuk kelompok. Kelompok inilah yang kemudian diberikan kuliah oleh para professor ‘bermoral’, dengan waktu yang ‘efektifkan’ se-efektif-efektifnya. Untuk materi kuliah satu semester diselesaikan satu malam. Hebatt..tidak Cuma sampai disitu, proses penyelesaian tinggal chas aja, yang segini, ujiannya agak berat, naik dikit ujiannya gampang. Bagaimana setelah mereka selesai beberapa tahun kemudian, silahkan analisa sendiri..”.
*Berbagai sumber