Emanasi dalam Pandangan Filosof Muslim (1)
Pada: October 11, 2011
Ajaran dasar dalam Islam adalah tauhid (kemahaesaan Tuhan). Ulama Islam, baik dari kalangan mutakallim atau teolog, maupun dari kalangan filosof dan sufi, ingin memurnikan konsep kemahaesaan Tuhan semurni-murninya. Dari kalangan teolog Islam, golongan Muktazilah meniadakan sifat-sifat Tuhan, kaum sufi kepeniadaan wujud selain dari wujud Allah. Sedang kaum filosof Islam yang dipelopori oleh al-Farabi, pergi ke paham emanasi atau
Al-faidh dalam pengertian al-Farabi adalah wujud Allah melimpahkan wujud alam semesta, dan bukan wujud alam semesta melimpah dari wujud Allah Swt. Yang aktif dengan demikian adalah Tuhan dan bukan akal-akal yang dipancarkan Tuhan. Dengan kata lain, kedudukan Tuhan dalam filsafat emanasi al-Farabi tidaklah dapat dianalogikan dengan kedudukan matahari dan sinarnya.
Sebagaimana disebutkan diatas, terdapat beberapa tokoh filosof muslim yang membicarakan tentang teori emanasi. Meski, pada dataran prinsip tidak ada perbedaan antar para tokoh filosof tersebut namun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat.
Dalam paham emanasi, baik al-Farabi (257 H/ 870 M) dan Ibn Sina (370-429 H/ 980-1037 M), berpandangan bahwa dari yang Pertama (al-awwal) tidak akan lahir kecuali satu. Alasannya, jika kita katakan bahwa dari yang pertama bisa lahir dua, maka keyakinan ini akan berakibat pada pengakuan bahwa pensumberan itu ada dua yang berbeda-beda, karena dua-dua dari sisi perbuatan berakibat pada dua-dua dari sisi pelaku. Pelaku yang Pertama disebut satu, Karena itu tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa yang banyak langsung lahir dari satu.
Apabila yang satu hanya melahirkan yang satu bagaimana mungkin muncul kemudian fakta bahwa alam adalah plural. Untuk mengatasi problem tersebut mereka menggunakan teori emanasi atau teori pensumberan atau akal sepuluh.
Menurut al-Farabi, Allah maha sempurna, ia tidak memikirkan dan berhubungan dengan alam karena terlalu rendah baginya untuk memikirkan dan berhubungan dengan alam yang tidak sempurna. Allah cukup memikirkan zatnya, maka terciptalah energi yang maha dahsyat secara pancaran dan dari energi inilah terjadinya Akal Pertama (juga memadat dalam bentuk materi). Akal Pertama berpikir tentang Allah menghasilkan akal kedua dan berpikir tentang dirinya menghasilkan langit pertama. Akal kedua berpikir tentang Allah menghasilkan akal ketiga dan berpikir tentang dirinya menghasilkan bintang-bintang. Akal ketiga berpikir tentang Allah menghasilkan akal keempat dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Saturnus. Akal keempat berpikir tentang Allah menghasilkan akal kelima dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Yupiter. Akal kelima berpikir tentang Allah menghasilkan akal keenam dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Mars. Akal keenam berpikir tentang Allah menghasilkan akal ketujuh dan berpikir tentang dirinya menghasilkan matahari. Akal ketujuh berpikir tentang Allah menghasilkan akal kedelapan dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Venus. Akal kedelapan berpikir tentang Allah menghasilkan akal kesembilan dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Merkuri. Akal kesembilan berpikir tentang Allah menghsilkan akal kesepuluh dan berpikir tentang dirinya menghasilkan rembulan. Akal kesepuluh, karena daya akal ini sudah lemah, maka ia tidak lagi dapat menghsilkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan bumi, roh-roh, dan materi pertama menjadi dasar keempat unsur pokok; air, udara, api dan tanah. Akal kesepuluh ini disebut akal fa’al (akal aktif) atau wahib al-shuwar (pemberi bentuk) dan terkadang disebut jibril yang mengurusi kehidupan di bumi.
Tampaknya al-Farabi ingin menegaskan tentang keesaan Allah. Allah adalah esa sehingga tidak mungkin ia berhubungan dengan yang tidak esa atau banyak. Andaikan alam diciptakan secara langsung oleh Allah, maka mengakibatkan ia berhubungan dengan yang tidak sempurna dan ini akan menodai keesaannya. Oleh sebab itu, dari Allah hanya timbul satu, yakni Akal Pertama. Akal Pertama ini mengandung arti banyak bukan banyak jumlah tetapi merupakan sebab dari pluralitas. Dari Akal Pertama berfungsi sebagai mediator antara yang esa dan yang banyak sehingga dapat dihindarkan hubungan langsung antara yang esa dan yang banyak.
Menurut Sirajurddin Zar, emanasi al-Farabi ini jelas cangkokan doktrin Plotinus yang dikombinasikan dengan sistem kosmologi ptalomeus sehingga, menurutnya, menimbulkan kesan bahwa al-Farabi hanya mengalihbahasakan dari bahasa sebelumnya ke dalam bahasa Arab.
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber