Ikhtilaf Sahabat; Kontroversi Ijtihad Umar
Pada: October 11, 2011
Ikhtilaf sahabat adalah prosedur penetapan hukum yang terjadi untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah saw. Sementara itu, setelah Rasulullah wafat, putuslah ketapan yang berasal dari beliau. Di sisi lain muncul masalah baru yang secara spesifik belum memiliki ketetapan secara syar’i. Menghadapi masalah-masalah baru itu, muncul dua pandangan.
Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna al-Quran setelah Rasulullah wafat dipegang Ahl al-Bait. Hanya merekalah, “menurut nash dari Rasul”, yang harus dirujuk untuk menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok ini tidak mengalami kesulitan dalam masa berhentinya wahyu, karena mereka tahu betul tugas mereka adalah mengacu pada persoalan ke-ma'shum-an.
Kelompok kedua memandang tidak ada orang tertentu yang ditunjuk rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintah Ilahi. al-Quran dan al-Sunnah adalah sumber untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di masyarakat. Kelompok ini kelak disebut Ahl al-Sunnah. Kenyataan tidak mudah mengambil hukum dari nash, karena banyak hal tak terjawab oleh nash. Kelompok ini kemudian menggunakan metode-metode ijtidah seperti qiyas atau istihsan.
Semua Khalifah al-Rasyidin termasuk kelompok kedua, kecuali Ali bin Abi Thalib . Kelompok kedua lebih banyak menggunakan ra'yu, dan kelompok pertama lebih banyak merujuk nash. Kelompok kedua banyak menggunakan dalil aqly, kelompok pertama dalil naqli. Atau dengan kalimat yang lebih sederhana, kelompok pertama menjadikan akal sebagai konfirmasi, sedangkan kelompok kedua menjadikan nash sebagai konfirmasi.
Selain masalah baru dalam konteks syar'i, terdapat pula masalah yang menurut beberapa ahli telah memiliki ketetapan. Ketika telah memiliki ketetapan, tetap saja terjadi perbedaan dalam beberapa kasus. Hal tersebut merupakan hal yang sifatnya "kontroversial". Dalam beberapa contoh, akan diungkapkan hal yang berkaitan dengan kontroversi tersebut terkhusus yang dilakukan oleh sahabat Umar ibnu Khattab. Sebagai catatan, kasus-kasus yang diungkapkan, semua berasarkan riwayat yang secara teks adalah sahih. Kontroversi yang dimaksud adalah:
- Umar ibnu Khattab pernah melarang hajji tamattu', padahal al-Quran dan al-Sunnah sangat tegas menetapkannya. Ketika Usman bin Affan juga melarangnya, Ali bin Abi Thalib secara demonstratif melakukannya di depan Usman bin Affan. Kata Utsman: Aku melarang manusia melakukan tamattu, dan engkau sendiri melakukannya. Ali bin Abi Thalib menjawab: Aku tak akan meninggalkan sunnah Rasulullah saw hanya karena pendapat seseorang. Setelah perdebatan ini, menurut riwayat lain dari Abdullah bin Zubair, Usman bin Affan berkata: Sesungguhnya laranganku itu hanya ra'yu-ku saja. Siapa yang mau boleh menjalankannya; siapa yang tak mau boleh meninggalkannya.
- Umar bin Khattab ketika menetapkan hukuman dera bagi peminum khamr. Rasulullah saw menghukum peminum khamar dengan menderanya 40 kali. Umar atas saran Abd al-Rahman bin Auf menderanya 80 kali. Berbeda dengan pendapat itu, Ali bin Abi Thalib kembali menderanya 40 kali.
- Umar bin Khattab dalam menetapkan hukum terhadap talaq berpendapat talaq tiga itu jatuh tiga sekaligus. Rasulullah saw menetapkan talaq tiga dalam satu majlis itu dihitung satu.
- Umar bin Khattab menetapkan hukuman rajam bagi orang gila yang berzina. Ali bin Abi Thalib membebaskan hukum itu berdasarkan hadis.
- Umar bin Khattab pernah menegur orang yang dikiranya salah ketika membaca Q.S. al-Fath/26. Ia memarahi orang itu. Tetapi Umar bin Khattab kemudian dikoreksi Ubayy bin Ka'ab. Kata Ubayy Anda tahu saya berada di dalam beserta Rasulullah saw. ketika ia membaca ayat itu. “Demi Allah Ya Umar, sesungguhnya Anda tahu, ketika saya hadir Anda tidak ada; ketika saya diundang, Anda tidak”.
- Ketika orang sedang berkumpul di hadapan Umar bin Khattab, masuklah seorang laki-laki: "Ya Amir al-Mu'minin, ini Zaid bin Tsabit berfatwa di masjid dengan ra'yunya berkenaan dengan mandi janabah." Kata Umar: "Panggil dia!" Zaid pun datang dan Umar berkata: "Hai musuh dirinya sendiri!, aku dengar kau berfatwa pada manusia dengan ra'yumu sendiri?. Kata Zaid: "Ya Amir al-Mu'minin. Aku tidak melakukan itu. Tetapi aku mendengar hadis dari paman-pamanku, lalu aku sampaikan dan Abi Ayyub dari Ubbay bin Ka'ab," dari Rifa'ah bin Rafi'. Kata Umar: "Panggil Rafa'ah bin Rafi'. Ia berkata: "Apakah kalian berbuat demikian, bila kalian bercampur dengan isteri kalian dan tidak keluar air mani kalian mandi?" Kata Rafa'ah: "Kami melakukan begitu pada zaman Rasulullah saw. Tidak turun ayat yang mengharamkan dan tidak ada larangan dari Rasulullah saw." Kata Umar: "Apakah Rasulullah saw. mengetahuinya?" Kata Rafa'ah: "Tidak tahu." Lalu Umar bin Khattab mengumpulkan Muhajirin dan Anshar, lalu bermusyawarah. Semua orang berkata tidak perlu mandi, kecuali Ali dan Mu'adz. Keduanya berkata: "Jika kedua khitan bertemu, wajib mandi."Kata Umar: "Kalian sahabat-sahabat yang ikut Badr sudah ikhtilaf, apalagi orang-orang setelah kalian!" Kata Ali, Ya Amir al-Mu'minin: "tidak ada orang yang lebih tahu dalam hal ini kecuali isteri Rasulullah saw. Ia mengutus orang bertanya pada Hafshah. Hafshah tidak tahu. 'Aisyah ditanya. Kata 'Aisyah: "Bila khitan sudah bertemu khitan, wajib mandi." Kata Umar: "Bila ada lagi orang berfatwa bahwa tidak wajib mandi kalau tidak keluar, aku akan pukul dia."
Beberapa contoh yang berkenaan dengan perbedaan antara ketetapan nash dengan ra'yu setelah wafatnya Rasulullah saw yang kemudian menjadai alasan perdebatan keadilan sahabat. (perlu diketahui, bahwa "adl" adalah syarat mutlak periwayat hadis, jika periwayat tidak adil, otomatis hadis yang diriwayatkan tidak sahih). Ikhtilaf bukan hanya dilakukan Umar bin Khattab, akan tetapi perbedaan juga terjadi pada sahabat yang lain. Dalam beberapa contoh:
- Kata quru' dalam wal muthalaqatu yatarabbashna bi anfusihim tsalatsatu quru' diartikan berbeda-beda. Abdullah bin Mas'ud dan Umar mengartikan quru itu haid. Zaid ibn Tsabit mengartikannya masa bersuci di antara haid dengan haid setelahnya.
- Ibn Umar menafsirkan al-Muhshanat dalam ayat wa al-Muhshanat min alladzina utu al-kitab sebagai wanita muslim, karena itu Ibn Umar mengharamkan wanita ahli kitab dinikahi laki-laki muslim. Ibn 'Abbas menganggap ayat itu sebagai pengecualian (takhshish) dari ayat wa la tankihu al-musyrikat hatta yu'minna. Usman tampaknya sependapat dengan Ibn 'Abbas, karena ia menikah dengan Nailah, wanita Nashrani, dan Thalhah menikahi wanita Yahudi dari Syam.
Bagi penulis, perbedaan yang terjadi tentunya disebabkan oleh hal-hal yang kemudian menjadi alasan pembenaran dari tiap ketetapan yang diputuskan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Shahih al-Bukhari, 3:69; Sunan al-Nasa'i, 5:148; Sunan al-Baihaqi, 4:352. Shahih Muslim, 1:349. Ibn Qayyim, Zad al-Ma'ad 1:177-225. Abu Dawud 2:242; Shahih Muslim 2:52; Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra 8:318; Kanz al-Ummal 3:102. Shahih Muslim 1:574; Musnad Ahmad 1:314; Sunan al-Baihaqi 7:336; al-hakim 2:196; al-Dar al-Mantsur 1:279. Abu Dawud 2:227; Ibn Majah 2:227, al-Hakim dalam al-Mubarak 2:59 dan 4:389; al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra 8:264; Taysir al-Wushul 2:5; Fath al-Bari 12:101; Umdat al-Qari 11:151; Irsayad al-Sari 10:9. Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, tt. Musa Towana, Al-Ijtihad: wa Mada Hajatina ilaih fi Hadza, al-Ashar, Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, tt. Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Darr al-Mantsur 6:74; Kanz al-Ummal. Asbab al-Ikhtilaf bain Aimmah al-Madzahib al-Islamiyah, dalam Hawl al-Wahdah al-Islamiyah, Teheran: Sepahar, 1404. Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I'lam al-Muqi'in, Mesir: Mathba'ah Sa'adah, tt.