Kontribusi Pemikiran HAMKA terhadap Pemurnian Tasawuf
Pada: October 31, 2011
Berbicara menyangkut sejarah perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak terlepas dari pembicaraan mengenai masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah mengenai titik awal masuknya Islam di Indonesia. Pijnappel dan Snouck Hurgronje mengatakan bahwa abad XII paling mungkin dari awal permulaan penyebaran Islam di Nusantara. Menurutnya, orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i yang berimigran dan menetap di wilayah India, kemudian membawa Islam ke Indonesia. Sementara itu, Thomas W.Arnold mengatakan bahwa mungkin agama Islam telah dibawa ke Indonesia oleh orang-orang Arab, sejak abad pertama Hijriah. Dugaan ini, diperkuat oleh kenyataan tentang adanya perdagangan yang luas dengan dunia luar yang dilakukan oleh orang-orang Arab sebelum Islam.
Pendapat terakhir di atas disetujui oleh sejarawan Muslim Indonesia. Mereka berpendapat bahwa Islam langsung datang dari Arabia, bukan dari India; bukan pada abad XII atau abad XIII, melainkan pada abad VII Masehi (abad I Hijriah). Termasuk yang berpendapat demikian adalah Hamka. Ia mengatakan bahwa Islam telah berangsur datang ke Indonesia sejak abad VII, yang dibawa oleh saudagar-saudagar Islam Arab, khususnya dari Mesir. Oleh karena itu, pengaruh mazhab Syafi’i sangat kuat di Indonesia hingga sekarang ini. Kuatnya pengaruh mazhab Syafi’i ini, ternyata ikut mempengaruhi perkembangan tasawuf. Itulah sebabnya sehingga pengaruh al-Gazali (Sunni-Syafi’i) lebih besar daripada pengaruh al-Hallaj (Syi’i).
Kerajaan Pasai sebagai wilayah yang mula-mula menjadi pusat perkembangan Islam awal, termasuk kerajaan yang cukup maju pada zamannya. Karenanya, para pedagang dan santri berdatangan ke negeri ini, baik dari tanah Arab, India, maupun Persia. Mereka yang datang itu membawa keyakinan agama yang mereka miliki, sehingga di wilayah itu berkumpul berbagai pengikut mazhab, termasuk mazhab tasawuf.
Salah satu yang menarik para santri datang, karena di wilayah ini terdapat seorang ahli tasawuf yang terkenal, yaitu Syaikh Abu ‘Abdullah Mas’ud bin ‘Abdullah al-Jawiy. Karena keahliannya, menyebabkan Syaikh Yusuf ibn Ismail al-Nabhaniy (w.678 H/1367 M), ahli tasawuf Mekah berguru kepadanya.
Dalam perkembangan selanjutnya, berbagai tarekat muncul dan berkembang di Indonesia, seperti Naqsyabandiyah dari Asia Tengah, Qadiriyyah dari Bagdad, Idrisiyyah dari Hadramaut, Rifa’iyyah dari Mesir, dan Khalwatiyah dari Damascus. Tarekat yang beraneka ragam inilah yang kemudian membentuk beberapa tokoh terkemuka, seperti Hamzah Fan¡uriy, ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkliy, Nur al-Din al-Raniriy, dan Yusuf al-Makassariy.
Memurnikan Ajaran Tasawuf
Pada awal timbulnya, tasawuf mempunyai maksud yang suci, yaitu hendak memperbaiki budi pekerti manusia. Semua orang bisa menjadi sufi, tidak perlu memakai pakaian tertentu, atau memakai bendera tertentu, atau menyendiri sekian hari lamanya di dalam kamar, atau mengadu kening dengan kening guru.
Di zaman Nabi Muhammad, semua orang menjadi sufi. Nabi dan para sahabatnya, semuanya memiliki akhlak yang tinggi, berbudi mulia, sanggup menderita lapar dan haus. Jika mereka beroleh kekayaan, tidaklah melekat dalam hati mereka. Suasana kehidupan mereka serba biasa, dan mereka pun tidak menamai diri mereka sebagai sufi.
Ketika Islam melebarkan sayap ke berbagai wilayah, bangsa, dan peradaban, maka ajarannya pun berbenturan dengan budaya setempat. Oleh karena itu, kemurnian ajaran Islam sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi, sudah banyak mengalami perubahan dan penyelewengan. Termasuk yang mengalami hal demikian adalah ajaran tasawuf.
Tidak dapat disangkal bahwa ajaran tasawuf yang datang ke Indonesia sudah banyak menyeleweng dari pangkalnya. Hal itu disebabkan karena, ajaran tasawuf yang datang ke negeri ini telah melewati berbagai daerah. Akibatnya, budaya-budaya lokal yang dilewatinya ikut mewarnai ajaran-ajarannya. Salah satu contohnya adalah pembawa tarekat Idr³siyyah yang berasal dari Hadramaut, selain mereka membawa mazhab Syafi’i, juga membawa pemujaan kubur dan pemujaan wali.
Demikian pula dalam perkembangan selanjutnya, budaya setempat telah mempengaruhi ajaran tasawuf, seperti ulama-ulama penyiar Islam di Jawa yang terkenal dengan Wali Songo, pada umumnya adalah guru-guru tasawuf yang menyesuaikan ajarannya dengan kehendak politik daerah Jawa. Hal yang sama juga dilakukan oleh Datuk ri Tiro, ketika menyebarkan Islam di wilayah Bulukumba, ia menyesuaikan diri kepercayaan masyarakat yang sangat gemar pada aliran kebatinan.
Perlu dicatat bahwa ajaran tasawuf di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat, hal itu disebabkan oleh adanya kesesuaian antara jiwa bangsa Indonesia dengan ajaran tasawuf. Namun, harus diakui bahwa ajaran tasawuf yang datang dan berkembang di Indonesia telah keluar dari ajaran aslinya, yaitu ajaran tauhid.
Melihat kenyataan di atas, Hamka berusaha semaksimal mungkin untuk memurnikannya kembali ajaran-ajaran tasawuf yang sudah mengalami penyelewengan tersebut.
Pokok-pokok Pikiran Hamka dalam Bidang Tasawuf
Sebagai realisasi dari upayanya memurnikan kembali ajaran tasawuf, Hamka menulis beberapa karya yang berkenaan dengan tasawuf.
Berikut ini dikemukakan beberapa pokok pikirannya, sebagaimana yang terdapat dalam bukunya, Tasauf Moderen.
Pertama, tentang Harta Benda dan Kekayaan
Untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Tuhan, seorang sufi harus menempuh beberapa tahap, antara lain al-zuhd dan al-faqr. Untuk tahap pertama, seseorang harus mengabaikan kehidupan duniawi, sebab dunia dengan segala kehidupan materialnya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya segala kejahatan yang menimbulkan kerusakan dan dosa. Sedangkan tahap kedua, seseorang harus bersikap tidak memaksa diri untuk mendapatkan sesuatu, tidak menuntut lebih dari apa yang telah dimiliki, atau melebihi dari kebutuhan primer.
Bagi Hamka, harta benda sangat perlu dalam melakukan pendekatan kepada Tuhan. Banyak kejadian orang yang suci hatinya, tinggi maksudnya ingin berbuat baik kepada orang lain, tetapi cita-citanya itu terhalang karena tidak memiliki harta yang memadai. Bagaimana mungkin seseorang bisa memiliki pakaian untuk dipakai beribadah, atau dapat membayar zakat dan naik haji, jika ia tidak memiliki harta.
Di samping itu, kesehatan fisik dan jiwa juga sangat menentukan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Orang yang sakit fisik atau jiwanya, pikirannya akan menjadi kacau, sehingga ia tidak akan mampu mengkonsentrasikan diri beribadah kepada Tuhan. Untuk menjaga kesehatan secara maksimal, tidak terlepas dari perlunya memiliki harta yang cukup.
Namun demikian, Hamka menggarisbawahi bahwa orang yang sedikit keperluannya, itulah orang yang paling kaya. Sebaliknya, orang yang paling banyak keperluannya, itulah orang yang paling miskin. Jadi, pada hakekatnya, kekayaan dan kemiskinan itu tergantung pada kebutuhan dan ketenteraman hati seseorang.
Kedua, al-Qana’ah
Qana’ah ialah menerima dengan cukup. Maksudnya, seseorang harus memagar apa yang dimilikinya dan tidak menjalar pikirannya kepada apa yang dimiliki oleh orang lain.
Bukanlah qana’ah jika menerima apa adanya dan tidak mau berusaha lagi, melemahkan hati, memalaskan pikiran, serta mengajak berpangku tangan. Akan tetapi, qana’ah adalah modal yang paling teguh untuk menghadapi kesungguhan hidup untuk mencari rezki yang halal.
Ketiga, al-Tawakkal
Dalam kehidupan sufi, tawakkal adalah, selain menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, juga tidak meminta, tidak menolak dan tidak menduga-duga. Nasib apapun yang diterima, itu adalah karunia dari Tuhan. Menurut mereka, sikap ini akan berimplikasi pada keadaan jiwa yang tenang, berani, dan ikhlas dalam menalani hidupnya.
Bagi Hamka, makna tawakkal adalah penyerahan diri kepada Tuhan tanpa terlepas dari hukum alam-Nya (sunnatullah). Sebagai contoh, sebelum keluar rumah, pintu dikunci sambil bertawakkal kepada Tuhan. Sebaliknya, bukanlah tawakkal jika seseorang yang duduk di bawah dinding yang hendak runtuh.
Untuk memperkuat pendapatnya, ia mengutip sebuah riwayat yang pernah terjadi di zaman Rasulullah. Seorang Arab Badwi yang datang menghadap kepada beliau tanpa mengikat ontanya, dengan dasar tawakkal kepada Tuhan. Rasulullah menyanggah perbuatan orang tersebut sambil bersabda: “Ikatlah dahulu ontamu barulah bertawakkal”.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Hamka, Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994. Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jili, Jakarta: Paramadina, 1997. Ahmad M.Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa Pertengahan Abad XVI sampai Pertengahan Abad XVII, (Disertasi pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1972. A.Rivay Siregar, Tasawuf, Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1999. Abu hamid al-Gazali, ihya’ ‘Ulum al-Din, Mesir : Mushafa al-Bibi al-halab³ wa Auladuh, 1334.