Mengenal Daulat Bani Abbasiyah
Pada: October 27, 2011
Proses pembentukan daulat Abbāsiyah, tidak begitu mudah. Para pembesar Abbāsiyah, sungguh telah mempersiapkan pembentukan daulat ini secara melelahkan. Secara kronologis, nama Abbāsiyah menunjukkan nenek moyang dari al-Abbās, Ali bin Abi Thalib dan Nabi Muhammad saw. Hal ini menunjukkan kedekatan pertalian keluarga antara Banī Abbās dengan Nabi saw. Itulah sebabnya kedua keturunan ini, mengklaim bahwa jabatan khalīfah harus berada di tangan mereka. Kelurga Abbās dan keturunannya mengklaim bahwa setelah wafatnya rasulullah Muhammad saw merekalah yang merupakan penerus dan penyambung keluarga Nabi saw.
Selanjutnya, ketika Daulat Umayyah berdiri dan terutama pada saat mengalami kemunduran, maka dengan sekuat tenaga keturunan Abbās ber-usaha mencari dan kemudian merekrut simpatisan dari penduduk (masyarakat Islam) di segala penjuru, untuk menumbangkan Daulat Umayyah tersebut.
Ira M. Lapidus secara komprehensif menjelaskan bahwa sekitar tahun 747 M, Abbāsiyah telah siap bergerak. Di beberapa perkampungan di Khurāsan, Abū Muslim, seorang agen Abbāsiyah, berhasil merekrut pendukung yang dibutuhkannya. Beberapa perkampungan tersebut utamanya dihuni oleh para penakluk Arab dari kalangan Khurāsan yang telah menjadi masyarakat petani, yang mana mereka menanggung berbagai pajak dan diperlakukan sebagai warga taklukan. Mereka adalah masyarakat yang kepadanya pihak Umayyah menjanjikan pembaharuan sistem pajak dan sekaligus tidak memenuhi janji tersebut. Sekarang, meraka siap untuk memberontak. Khurāsan merupakan sebuah sebuah ajang agitasi politik dan menjadi harapan eskatologis. Dalam kesempatan seperti ini, Abū Muslim menampilkan sebuah bendera warna hitam sebagai simbol perjuangannya menggalang masyarakat yang dirugikan oleh pihak Umayyah.
Sekitar 3000 pasukan tempur yang telah dikumpulkan Abū Muslim, kini siap menggempur kekuatan Marwan (khalifah ke-8 dari akhir Umayyah). Ringkas sejarah, Marwan (w. 720 M) terkalahkan, namun Daulat al-Abbāsiyah belum berdiri, karena Marwan ketika itu digantikan oleh Yazid II, yakni Yazid bin Malik (w. 724) dan kemudian berpindah lagi ke Hisyam (w. 740 M), yang keduanya masih keturunan Bani Umayyah.
Dengan wafatnya Hisyam, dan suksesnya Abū Muslim menggalang perhatian masyarakat, maka semakin meluas pula kebencian masyarakat terhadap Daulat Bani Umayyah dan mayoritas masyarakat menaruh perhatian kepada Banī Hasyīm (keturunan dan keluarga Nabi saw) yang merupakan alur keturunan Bani Abbas, di mana selama dalam kurun waktu yang lama mereka tidak pernah terlibat dan dilibatkan dalam dunia pemerintahan.
Di samping Abū Muslim, Abu al-Abbās al-Shafah yang merupakan tokoh utama Bani Abbās melancarkan propoganda, dan keberhasilannya merebut simpatisan, bermuara pada pelantikannya sebagai khalifah pertama Daulat Abbāsiyah pada tahun 750 M. Dalam khutbah pelantikan yang disampaikannya di Masjid Kufah, ia menyebut dirinya dengan al-Shaffah (penumpah darah) yang akhirnya menjadi julukannya. Al-Shafah pada awal kepemimpinanya berusaha dengan sekuat tenaga membasmi keluarga Bani Umayyah, dengan kekuatan pedang (senjata). Tentu saja, target utamanya adalah menyerang pusat Daulat Umayyah di Damaskus. Dengan kemenangan yang diperolehnya, maka langkah selanjutnya adalah al-Shafah menjadikan Bagdād sebagai pusat pemerintahannya.
Proses pembentukan Daulat Abbāsiyah yang telah dipaparkan dan keberhasilan yang dicapainya menurut Philip K. Hitti adalah disebabkan atas beberapa alasan yang sangat mendasar sebagai faktor pendukungnya, sebagai berikut ;
- Kesatuan untuk menghadapi perpecahan yang timbul dari dinasti sebelumnya;
- Universal (bersifat universal), tidak terlandaskan stas kesukuan;
- Politik dan administrasi menyeluruh, tidak diangkat atas dasar keningratan;
- Kesamaan hubungan dalam hukum bagi setiap masyarakat Islam;
- Pemerintahan bersifat Muslim moderat, ras Arab hanyalah dipandang sebagai salah satu bagian di antara ras-ras lain.
Dari kelima alasan mendasar di atas, admin menambahkan satu lagi lagi, yakni adanya hak memerintah sebagai ahli waris Nabi saw yang masih tetap di tangan mereka.
Secara umum, sebenarnya keturunan Ali bin Abū Thālib lebih dekat kepada Nabi saw, karena Fatimah sebagai perempuan Nabi saw dan Ali adalah sepupu sekaligus menantu beliau. Akan tetapi, Banī Abbās merasa lebih berhak mewarisi Nabi saw karena beranggapan bahwa moyang mereka adalah paman Nabi saw. Pusaka tidak boleh diperoleh sepupu, jika ada paman. Sedangkan keturunan dari anak perempuan tidak mewarisi pusaka datuk dengan adanya pihak ashabah.
Dari alasan di atas, kiranya dapat dipahami bahwa klaim atas ke-absahan terbentuknya Daulat Abbāsiyah dapat dibenarkan, di samping adanya faktor-faktor lain, yakni merosotnya Daulat Umayyah itu sendiri sehingga perlu ada perpindahan regenerasi yang melanjutkan kekhalifahan, dan generasi pelanjut di sini tiada lain kecuali Daulat Abbāsiyah itu sendiri.
Di samping alasan-alasan yang telah diparkan, ditemukan pula faktor-faktor pendukung berdirinya Daulat Abbāsiyah. Dalam hal ini, Hasan Ibrahim Hasan menyatakan bahwa di akhir pemerintahan Daulat Umayyah, telah timbul pertentangan politik antara Muawiyah dengan pengikut Ali bin Abī Thālib (Syī’ah), dan pertentangan ini semakin meluas ketika kelompok lain seperti khawarij ikut campur berkat keberhasilan al-Shafah mengadakan propaganda untuk membenci keturunan Bani Umayyah.
Keadaan seperti ini berlanjut hingga terbunuhnya Hisyam sebagai khalifah terakhir Daulat Umayyah ini terbunuh. Dengan terbunuhnya Hisyam tersebut, peluang besar bagi Daulat Abbāsiyah berdiri dengan kokoh atas kepemimpinan al-Shafah, dan secara bergilir pemerintahnnya terwariskan secara turun temurun oleh generasinya sendiri.
Sekaitan dengan sense sejarah tersebut di atas, dan kaitannya dengan pengangkatan al-Shafah sebagai khalifah pertama bagi Daulat Abbāsiyah, oleh Harifuddin Cawidu menyatakan bahwa pengangkatan khalifah pada zaman Daulat Abbāsiyah tidak lagi melalui pemilihan, tetapi melalui sistem wilayatul ahdi (pengangkatan putera mahkota) yang ditentukan sebelumnya oleh Khalifah yang berkuasa.
Kelihatannya, sistem seperti ini berlanjut secara turun temurun, hingga daulat Abbāsiyah mengalami mengalami kehancuran. Namun demikian, ditemukan banyak sisi menarik selama al-Abbās menjadi khalifah, yakni pada masa itu pemetaaan wilayah Islam semakin meluas.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
A. Hasyimi, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarata: Bulan Bintang, 1993. Ira M. Lapidus, A. History of Islamic Societies diterjemahkan oleh Ghufran A. Mas’adi dengan judul, Sejarah Sosial Umat Islam Bagian Kesatu dan Kedua, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999. Syed Mahmudun Nasir, Islam; Its Concepts and History, diterjemahkan oleh Adang Affandi dengan judul Islam; Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994. Philip K. Hitti, History of Arab, London and Basing Stoke: The Macmillan Press LTD, 1974. Hasan Ibrahim Hasan, Tarīkh al-Islam, juz II Mesir: Maktabah al-Nahdhah, 1964.