Pengertian Nasakh dan Pembahasan Seputar Nasakh
Pada: October 27, 2011
Secara etimologis, kata "nasakh" menunjuk beberapa makna, yaitu: الإزالة و الإعدام (menghapus, menghilangkan, meniadakan).
Makna ini digambarkan dalam kalimat misalnya: نسخت الشمس الظل " " (matahari menghapus bayang-bayang). Juga "نسخ الشيب الشباب " (uban menghilangkan kemudaan). Dalam al-Quran, Allah swt berfirman:
...أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ ءَايَاتِه ...
"...syaitan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya...". (QS. Al Hajj: 52)
التبديل(mengganti).
Diungkapkan dalam firman Allah swt:
وَإِذَا بَدَّلْنَا ءَايَةً مَكَانَ ءَايَة ...
"Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya...". (QS. An-Nahl: 101).
التحويل (memindahkan, mengalihkan)
Makna ini dinyatakan dalam ungkapan misalnya: تناسخ الموارث, yang berarti mengalihkan (تحويل ) bagian harta warisan (الميراث ) dari seorang ahli waris ke ahli waris yang lainnya. Juga pada kalimat "تناسخ الأنفس ", yang bermakna reinkarnasi (anggapan tentang berpindahnya roh/jiwa makhluk yang telah mati ke jasad yang masih hidup).
النقل (menukil, menyalin, mencatat dari satu tempat ke tempat yang lain)
Makna ini digambarkan dalam kalimat "نسخت الكتاب " (saya menyalin, mencatat, menukil isi kitab itu). Diisyaratkan pula dalam firman Allah swt:
هَذَا كِتَابُنَا يَنْطِقُ عَلَيْكُمْ بِالْحَقِّ إِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
"inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan". (QS. Al Jaatsiyah: 29).
Mengacu kepada etimologi nasakh di atas, dirumuskanlah pengertian terminologisnya, sebagai berikut:
رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي
"mengangkat (menghapus, membatalkan) hukum syara' dengan dalil syara"
Selanjutnya, Az-Zarqani menjelaskan bahwa mengangkat hukum syara' di sini dimaksudkan terputusnya (memutus) hubungan keterikatan antara hukum (yang dihapus tersebut) dengan seorang mukallaf dan bukan terhapusnya substansi hukum itu sendiri. Yang jelas, hukum yang diangkat tersebut merupakan sebuah kenyataan/realita (yang pernah diamalkan) dan sebuah realita tidaklah mungkin dikatakan terangkat atau terhapus.
Beliau menambahkan, "mengangkat (رفع) di sini berarti bukan membatasi keumuman hukum (تخصيص ) pada sebagian afrâdnya (satuannya), akan tetapi memang menghapus ketentuan hukum dan menggantinya dengan hukum yang baru. Juga mengisyaratkan bahwa ada jeda atau selang waktu (تراخي) antara dalil syara' yang menghapus tersebut dan hukum yang dihapusnya. Dan itu terjadi jika memang keduanya tak mungkin (tidak dapat) lagi dikompromikan (تعارض حقيقي).
Begitu pula, dalil syara' yang mewajibkan (perintah) ataupun mengharamkan (melarang) untuk pertama kali tidak dapat disebut nasakh, dikarenakan sebelumnya tidak ada hukum (البراءة الأصلية); yang kemudian dihapus olehnya.
Juga, ketika yang datang belakangan adalah dalil aqli (dan bukan dalil syara' ) maka itu tak bisa pula disebut nasakh. Contohnya, penghapusan (gugurnya kewajiban/beban) disebabkan kematian, hilang ingatan ataupun lalai atau lupa.
Namun, dimanakah relevansi rumusan defenisi ini terhadap etimologi nasakh itu sendiri?
Jelas bahwa makna التبديل tercover di dalamnya, oleh karena nasakh berarti mengganti ketentuan hukum yang ada dengan hukum baru yang dibawa oleh nash syara' yang datang belakangan. Makna الإزالة juga terpakai di dalamnya, dimana hukum yang datang lebih awal ditiadakan atau dihilangkan. Begitu pula makna التحويل, oleh karena nasakh mengisyaratkan pula pengalihan dasar pengamalan hukum dari suatu nash ke nash yang datang belakangan. Akan halnya makna النقل, ia tidak sejalan dengan ruh nasakh karena nasakh bukanlah menyalin, menukil ataupun mencatat (sekalipun dengan redaksi yang berbeda; menyadur).
Selanjutnya, dalil atau nash syara' yang datang belakangan dan berfungsi menghapus atau mengganti ketentuan hukum syara' sebelumnya disebut nâsikh. Dan hukum yang diganti atau dihapus tersebut disebut mansûkh.
Syarat Nasakh
Dari paparan defenisi atau pengertian nasakh di atas maka didapatlah empat syarat, sebagai berikut:
- Yang dinasakh (mansûkh) haruslah berupa hukum syara'.
- Yang menasakh (nâsikh) harus berupa dalil syara'.
- Adanya tarâkhi (jeda; selang waktu) antara hukum syara' yang mansûkh dan dalil syara' yang nâsikh.
- Antara hukum syara' yang mansûkh dan dalil syara' yang nâsikh tak mungkin lagi dikompromikan dan tak bisa lagi diatasi, sehingga terkesan ada ta'ârudh haqîqî antara keduanya.
Ada lagi satu syarat yang juga perlu kiranya dikemukakan, yaitu: hukum yang (ingin) dinasakh, dalam formulasinya, tidak mengandung keterangan bahwa ia berlaku untuk selamanya atau seterusnya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Az-Zarqani, Manâhil al-Irfân fî Ulûm al-Qur`ân, Beirut: Dar Al Kutub Al 'Ilmiyyah, 2003. Al Qaththan, Mabâhits fî 'Ulûm al-Qur`ân, Riyadh: Maktabah Al Ma'arif, 2000. Muhammad bin Alawi, Zubdah al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân, Jeddah: Dar Al Syuruq, tth. Subhi Ash-Shalih, Mabâhits fî 'Ulûm al-Qur`ân, diindonesiakan oleh Tim Pustaka Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran, Jakarta, 2004. As-Suyuthi, al-Itqân fî Ulûm al-Qur`ân, Kairo: Dar Al-Hadits, 2004. Az-Zarkasyi, al-Burhân fî Ulûm al-Qurân, (Kairo: Dar Al-Hadits, 2006. Abdul Jalal H.A., Ulumul Qur'an, Dunia Ilmu Surabaya, 1998. Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dar Al Fikr Al Arabi, tth. Ali Muhammad dan Adil Ahmad dalam muqaddimah beliau atas al-Nâsikh wa al-Mansûkh min al-Hadîts oleh Ibnu Syahin, Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyyah, 1992. An-Nahhas, al-Nâsikh wa al-Mansûkh fî al-Qur`ân, Beirut: Muassasah Al Kutub Ats-Tsaqafiah, 1996. Abdul Karim Zaidan, al-Wajîz fîUshûl al-Fiqh, Beirut: Muassasah Al Risalah, 1996