Sepenggal Sejarah Syiah sampai Syiah Imamiyah
Pada: October 08, 2011
Berita wafatnya Nabi saw yang didahului sakit beberapa hari, cukup mengejutkan para sahabat. Bahkan Umar bin Khattab sempat mengalami shock mental, sehingga tidak mempercayai kebenaran berita tersebut dan mengancam akan membunuh orang yang mempercayainya. Meninggalnya Rasulullah menjadikan persatuan di kalangan kaum muslimin menjadi goyah.
Masalah yang dihadapi kaum muslimin saat itu berkaitan dengan pengganti Rasulullah saw. menjadi khalifah. Hal ini terjadi karena sebelum wafatnya, Rasul tidak memberi petunjuk/wasiat tentang siapa yang akan menggantikannya, sehingga masalah kepemimpinan menjadi perhatian di kalangan para sahabat. Tidak adanya kejelasan tentang pemilihan pemimpin setelah Rasulullah wafat menjadikan kaum muslimin saat itu merasa sama-sama berhak untuk menggantikan Rasulullah saw. untuk memimpin umat. Sejarah kemudian mencatat bahwa Abu Bakar-lah yang terpilih dan disetujui oleh masyarakat Islam di waktu itu untuk menjadi pengganti atau khalifah Rasul dalam mengepalai negara. Kemudian Abu Bakar digantikan oleh Umar bin Khattab, dan Umar digantikan oleh Usman bin Affan.
Menjelang berakhirnya dekade kedua masa Khulafa ar-Rasyidin di akhir pemerintahan khalifah Usman, perpecahan dan pertikaian kaum muslimin semakin kuat. Sebab utama goyangnya kesatuan umat muslimin tersebut berpangkal dari pertikaan politik yang bercorak keagamaan di antara kelompok-kelompok muslim yang sedang bersaing. Pertikaian tersebut menyebabkan terbunuhnya Usman bin Affan oleh kaum pemberontak.
Sepeninggal Usman bin Affan, maka kandidat terkuat yang akan menggantikannya adalah Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, ia mendapat tantangan dari berbagai pihak. Pihak pertama berasal dari Thalhah dan Zubair, keduanya mempunyai keinginan untuk menduduki kursi kekhalifahan yang mendapat dukungan dari ‘Aisyah. Tantangan kedua berasal dari pendukung Usman, mereka berpendapat bahwa terdapat konspirasi di balik terbunuhnya Usman. Selanjutnya mereka membangun kekuatan untuk menentang Ali bin Abi Thalib, bahkan mereka menuduh Ali bin Abi Thalib mempunyai andil dalam rencana pembunuhan tersebut. Syiria di bawah pimpinan Muawiyah yang merupakan kerabat dekat Usman menuntut Ali bin Abi Thalib untuk menghukum pembunuh Usman bin Affan.
Gerakan oposisi yang dipimpin oleh Aisyah-Thalhah-Zubair melahirkan perang Jamal pada tahun 36 H/ 656 M. Dalam peperangan tersebut Thalhah dan Zubair tewas, dan Aisyah dikembalikan ke Mekkah. Sementara reaksi keras dari Muawiyyah dan pengikutnya melahirkan perang Shiffin yang berbuntut pada masalah tahkim yang menguntungkan pihak Muawiyyah dan sebaliknya merugikan pihak Ali bin Abi Thalib.
Persoalan-persolan yang pada awalnya berkisar pada masalah politik bergeser menjadi masalah teologi. Peristiwa tahkim yang terjadi di Shiffin memunculkan berbagai kelompok-kelompok. Yang pertama muncul adalah kelompok Khawarij, Syi’ah dan Murjiah.
Ibnu Mandzur mendefinisikan Syi’ah sebagai kelompok orang yang menyepakati sesuatu dan sama-sama meyakini keyakinan-keyakinan tertentu. Dalam perkembangan selanjutnya sebutan Syi’ah dialamatkan kepada kelompok atau para pengikut yang sangat mengkultuskan Ali bin Abi Thalib dan Ahlul Bait Rasulullah yang lainnya. Muhammad Jawād Maghniyah, seorang ulama beraliran Syi’ah memberikan definisi Syi’ah sebagai kelompok yang meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. telah menetapkan dengan nas (pernyataan) yang pasti tentang khalifah (pengganti) Rasul saw. dengan menunjuk Ali bin Abi Thalib. Dan seorang ulama Sunni, yaitu ‘Ali Muhammad al-Jurjāni memberi pengertian bahwa Syi’ah adalah mereka yang mengikuti Ali bin Abi Thalib dan percaya bahwa imamah tidak keluar dari keturunan Rasul/ Ahlul Bait. Karena adanya anggapan bahwa Ali bin Abi Thalib-lah yang paling berhak menggantikan Rasulullah setelah wafatnya, maka mereka berpendapat bahwa Abu Bakar, Umar, dan Usman telah merebut dan mengambil hak kekhilafahan dari Ali bin Abi Thalib.
Penganut aliran Syi’ah dan juga beberapa pakar Ahli Sunnah berpendapat bahwa benih Syi’ah muncul sejak masa Nabi saw. atau paling tidak secara politis benihnya muncul, saat wafatnya Nabi saw (pembaitan Abu Bakar di Saqifah). Ketika itu keluarga Nabi saw. dan sejumlah sahabat memandang bahwa Ali bin Abi Thalib lebih wajar dan lebih berhak menjadi khalifah ketimbang Abu Bakar. Hal ini dikemukakan dengan beberapa alasan. Seperti yang dikemukakan oleh Abd. Halim Mahmūd bahwa Ali bin Abi Thalib memiliki hubungan yang erat dan dekat dengan Nabi. Ali bin Abi Thalib termasuk barisan pertama yang masuk Islam.
Menikah dengan putri kesayangan Rasulullah, Rasul mempersaudarakan dirinya sendiri dengan Ali, akhlak dan kepribadiannya menonjol begitupula dengan pembelaannya terhadap Nabi saw. Kalangan Syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti Rasulullah. Mereka menolak kekhalifaan Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib-lah yang berhak menggantikan Nabi saw. Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dalam pandangan Syi’ah tersebut sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan oleh Nabi saw. pada masa hidupnya.
Perbedaan pendapat di kalangan para ahli mengenai awal kemunculan Syi’ah adalah hal yang wajar. Para ahli melihat fakta sejarah perpecahan umat Islam mulai muncul pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan memanas pada pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah perang Shiffin. Adapun kaum Syi’ah berpendapat bahwa perpecahan itu sudah ada sejak wafatnya Nabi saw. dan kekhalifahan berada di bawah pimpinan Abu Bakar. Tampaknya Syi’ah sebagai gerakan politik muncul secara terang-terangan di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, tetapi secara doktrin sudah ada segera setelah Nabi wafat.
Meskipun mempunyai landasan keimanan yang sama, Syi’ah tidak dapat mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan sejarah, kelompok ini terpecah menjadi beberapa sekte. Hal ini dipicu oleh perbedaan tentang imamah. Sekte-sekte tersebut di antaranya Syi’ah Imamiyah, Zaidiyah, Isma’iliyah, dan Gulat.
Referensi Makalah®