Dinasti Ikhsyidiyah; Sejarah, Kemajuan, dan Kemundurannya
Pada: November 07, 2011
Pembentukan
Dengan runtuhnya Dinasti Thuluniyah, Mesir kembali berada dalam kekuasaan Bani Abbas di Baghdad. Namun lahirnya Dinasti Fathimiyah di Thunisia mendatangkan ancaman baru. Oleh karena itu khalifah al-Radhi mengangkat Muhammad Bin Taghj menjadi amir di Mesir.
Di Mesir, Muhammad Bin Taghj dapat memulihkan keamanan dan membangun kembali pemerintahan wilayah. Untuk memberikan penghargaan atas jasa-jasanya, khalifah memberikan gelar al-Ikhsyid. Apapun alasannya, legalitas gelar Ikhsyid menunjukkan betapa kuatnya pengaruh Muhammad Ibnu Taghj di Mesir.
Dua tahun setelah pengangkatannya sebagai gubernur langkah Muhammad Ibnu Taghj mengikuti langkah Ahmad Ibnu Thulun, dengan menganeksasi Syam dan Palestina ke wilayahnya, setahun kemudian menguasai Makkah dan Madinah. Akhirnya, dengan memanfaatkan lemahnya kekuatan Bani Abbas di Mesir, maka pada 935 M, Abu Bakar Muhammad Ibnu Taghj memaklumkan dirinya terlepas dari khalifah Abbasiyah.
Muhammad Ibnu Taghj al-Ikhsyidi setelah wafat diteruskan oleh empat orang anak cucunya yang menjadi amir yaitu: Abu al-Qasim Naghur Ibnu Muhammad, Abu Hasan Ali Ibnu Muhammad (960-965 M), Kafour al-Ikhsyidi (965-967 M), Abu al-Fawaris Ahmad Ibnu Ali (967-972 M). Akan tetapi amir kedua dan ketiga itu sebenarnya hanya dua pengusaha boneka, penguasa yang sesungguhnya adalah Kafour. Kehidupan kedua amir itu diatur oleh Kafour, tidak diberi kesempatan untuk bergaul dengan orang lain dan tidak bisa berbuat layaknya seorang penguasa tertinggi, keduanya hanya menjadi amir dalam sangkar istana.
Kemajuan
1. Kemajuan di bidang pengembangan wilayah
Sebagaimana penguasa sebelumnya untuk menjaga stabilitas keamanan di Mesir, penguasa Ikhsyidi berusaha menguasai wilayah Suriah secara keseluruhan utamanya daerah Sugur sebagai benteng dari serangan Byzantium.
Setelah itu, Ikhsyidi melebarkan sayap hingga ke negeri Hijaz dan menjadi Musyrif (pengawas) al-Haramain. Kafour sebagai pengganti Ikhsyidi meneruskan menjaga keutuhan wilayah bahkan meluas hingga ke pegunungan Taurus.
2. Kemajuan di bidang kebudayaan
Kemajuan di bidang ini tidaklah jauh berbeda dengan kemajuan yang dicapai oleh dinasti sebelumnya. Di antara hasil budayanya adalah dibangunnya sebuah istana di Pulau Raudah yaitu Istana al-Mukhtar, istana ini dikelilingi oleh tanaman yang dinamakan tanaman al-Kafuriy. Di samping itu pula para penguasa Bani Ikhsyidi juga mencetak mata uang yang bergambar penguasa-pemguasa Ikhsyidi, di samping nama khalifah Baghdad.
3. Kemajuan bidang sosial dan politik
Hal ini didasari oleh keinginan rakyat Mesir untuk merasakan keamanan, maka sebagai politikus ulung, Ikhsyidi menerima tawaran damai dari penguasa Byzantium dan al-Hamdaniyah. Ia memandang bahwa untuk menciptakan negara yang aman dan sejahtera, harus menjamin negara dari ancaman luar, sedangkan Byzantium dan al-Hamdaniyah dapat menjadi ancaman bagi stabilitas Ikhsyidiyah.
4. Bidang keilmuan
Keadaan sosial internal Ikhsyidiyah memungkinkan perkembangan ilmu, apalagi Kafour sebagai penguasa yang senang terhadap sastra dan seni dan sangat mencintai ilmu. Para penyair berdatangan ke Mesir di antaranya adalah penyair kondang Abu al-Tayyib al-Mutanabbi. Pada masa Kafour ini pula muncul sejarawan terkenal seperti al-Haddad dan al-Hasan Bin Zaulaq.
Kemunduran
Sejak 966 Kafour berkuasa secara resmi, menjadi amir keempat dinasti Ikhsyidiyah yang sebelumnya dijabat secara ad interim selama 22 tahun. Setelah Kafour wafat (968 M) diangkatlah Ahmad Bin Ali al-Ikhsyidi yang masih berusia 11 tahun sebagai amir kelima. Lemahnya penguasa ini menimbulkan kondisi instabilitas yang memicu lahirnya pertentangan antara pembesar di lingkungan istana.
Suasana perebutan ambisi itu terus mewarnai istana menyebabkan lemahnya dinasti ini di segala bidang, dan akhirnya pada 358 H. di bawah panglima Jauhar al-Siqily, tentara Fatimiyah memasuki Fustat menguasai Mesir dan mengumumkan akhir sejarah Daulah Ikhsyidiyah.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ibrahim Ahmad al-Adawy, Tarikh Alam al-Islami, Kairo: Ma’had al-Dirasah al-Islamy, 1999. Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia Jakarta: Djambatan, 1992. Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993.