Hierarki Nasakh dan Cara Penggunaannya
Pada: November 01, 2011
Nasakh merupakan salah satu metode interpretasi hukum syariat. Hanya saja ia tidak serta-merta digunakan. Ketika muncul kesan pertentangan (تعارض), maka yang pertama dilakukan adalah al-jam'u (mengkompromikannya) dengan metode takhshîsh (antara yang 'âm dan yang khâsh) atau taqyîd (antara yang muthlaq dan yang muqayyad) atau bayân (antara yang mujmal dan yang mubayyan). Jika al-jam'u tak bisa dilakukan (تعارض حقبقي), barulah nasakh ditempuh. Jadi nasakh berada pada urutan terakhir dari upaya interpretasi.
Ketika Allah swt me-nasakh ayat-ayat-Nya dan menggantikannya dengan ketentuan hukum yang baru, maka itu demi kemaslahatan hamba-hamba-Nya jua. Yang nâsikh memang lebih baik, lebih bermanfaat, lebih persuasif. Di dalamnya terdapat keringanan dan rukhshah. Kalaupun dirasakan lebih berat maka itu adalah ujian keimanan yang berujung pada bertambahnya pahala dan kebaikan (hasanât). Toh, Allah swt Maha Berkehendak dan Maha Kuasa atas segala sesuatu serta Maha Bijaksana. Kepunyaan-Nya lah apa yang ada di langit dan di bumi. Dia Maha Mengetahui apa yang terbaik buat hamba-hamba-Nya.
Dalam hal ini, disimpulkan hikmah nasakh sebagai berikut:
- Menjaga kemaslahatan hamba.
- Sebagai metode pengembangan syariat (tasyrî') menuju kesempurnaan; sesuai situasi dan kondisi manusia.
- Ujian keimanan; apakah seorang mukallaf bersedia mengamalkan apapun yang dikehendaki oleh-Nya.
- Kebaikan dan kemudahan; tambahan pahala jika nâsikh dirasakan lebih berat dan kemudahan jika nâsikh dirasakan lebih ringan.
Lebih jauh, nasakh membuktikan bahwa Islam tetap relevan dan signifikan sepanjang zaman (صالح لكل زمان و مكان). Nasakh mengindikasikan semangat pembaharuan. Sebaliknya, nasakh menstimulasi umat (khususnya da'i dan para ulama) agar menjauhi kejumudan, stagnasi dan kekerasan yang bisa menghambat kemajuan Islam dalam kancah peradaban dunia modern.
Nasakh menginspirasi para ulama untuk menerapkan metode tadarruj (bertahap) ketika mereka menawarkan solusi atas berbagai persoalan yang ada (khususnya yang berkaitan dengan hukum dan perundangundangan Islam) sehingga kecantikan dan kelembutan Islam tidak ternodai.
Nasakh menjadi hujjah yang kokoh atas keotentikan al-Qur'an sebagai kitab suci yang diturunkan oleh Allah swt, dan bukan berasal dari diri pribadi Muhammad saw yang nota-bene tidak tahu baca tulis (ummiy).
Nasakh mengingatkan orang-orang beriman akan nikmat dan rahmat Allah swt yang dianugerahkan kepada mereka.
Barangkali, salah satu sisi yang perlu direnungi dari eksisnya beberapa ayat yang telah dinasakh hukumnya adalah boleh jadi ia diberlakukan kembali pada kondisi tertentu, jika memang sejalan dengan dakwah dan perundangundangan Islam sebagai agama yang senantiasa memperhatikan idealitas dan mempertimbangkan realitas.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Muhammad Chirzin, Al Qur'an dan Ulumul Qur'an, Yoyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998. Rosihon Anwar, Ulumul Qur'an, Bandung: Pustaka Setia, 2006. Syafe'i, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, 2006. Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, Kairo: Dar Al Manar, 1367. Muhammad Qurays Shihab, Membumikan Al Qur'an, Bandung: Mizan, 1992.Abdullah Al Bassam, Taudhîh al-Ahkâm min Subul al-Salâm, Makkah: An-Nahdhah Al Haditsah, 1997.