Masa Depan Mistisisme dalam Islam (Upaya Rekonsiliasi)
Pada: November 04, 2011
Bermula dari gerakan pemurnian tasawuf pada abad kelima hijriah yang dipelopori al-Gazāli (w. 503 H), merupakan cikal bakal eksisnya masa depan mistisisme Islam. Dalam hal ini, al-Gazāli dengan ajaran dan konsep ma’rifah-nya mampu merekonsiliaasi kebenaran syariah (lahiriyah) dengan kebenaran sufisme (batiniyah), yang disebut hakikat.
Sekedar contoh dapat dilihat bagaimana al-Gazāli menjembatani ajaran fanā dalam kondisi sakr (mabuk/ terkesima). Dalam hal ini, al-Gazāli menyatakan bahwa kesatuan Tuhan terhadap orang yang dalam keadaan sakr, sebenarnya bukanlah kesatuan hakiki, tetapi kesatuan majāzi (simbolistik). Rekonsiliasi yang dilakukan al-Gazāli ini, nampaknya bagi satu pihak memberikan jaminan untuk memper-tahankan prinsip bahwa Tuhan dan alam ciptaannya (khususnya manusia) adalah dua hal yang berbeda, sehingga satu sama lain tidak mungkin bersatu, di pihak lain memberikan kelonggaran pula bagi kaum sūfi untuk memasuki pengalaman kesufian.
Konsep ma’rifah al-Gazāli tersebut, dikembangkan lebih lanjut para sūfi generasi berikutnya, yang pada kenyataannya mereka sepakat bahwa ajaran mistisisme Islam tidak dapat diterapkan secara tekstual dan kaku ter-hadap masyarakat, apalagi di tengah-tengah masyarakat modern.
Kondisi obyektif ajaran mistisisme Islam yang telah dibangun para sūfi sepeninggal al-Gazāli, mengalami rekonsiliasi yang lebih mapan lagi dengan munculnya Ibn Taimiyah (w. 728 H). Upaya yang telah dilakukan oleh Ibn Taimiyah adalah bukanlah merupakan tasawuf yang baru sama sekali, melainkan sebagai pengembangan dan pembaruan yang telah, khususnya pada aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis. Menurutnya, konsep maqāmāt dalam misitisisme Islam merupakan tahapan spritual yang disebut a’māl al-qulūb yang harus ditempuh oleh kandidat sūfi yang aplikasi dan interpretasinya bersifat kontekstual dan historis. Berdasarkan hal ini, maka dipahami bahwa ajaran mistisisme Islam, tetap saja dapat diamalkan oleh setiap orang secara kontekstual, yakni merelevansikan dengan keadaan.
Berdasarkan hal di atas, maka menurut admin bahwa metoda sufisme yang layak diterapkan untuk keadaan sekarang adalah tidak mesti pergi jauh (uzlah) berlama-lama di gunung-gunung dengan meninggalkan anak, istri dan masyarakat, tetapi cukup masuk ke dalam wilayah maqam-maqam yang telah ditentukan, kemudian memperaktekkan hidup zuhud dalam arti aktif dan terlibat dalam masyarakat dengan menunjukkan sikap hemat, sikap sederhana, menghindari hidup berlebihan dan menghayati praktek-praktek keagamaan secara batini.
Ada yang meramalkan bahwa kebangkitan agama yang bersifat spritual batini ketimbang religius konvensional, sangat layak dikembangkan untuk masa sekarang, karena manusia di abad ini tidak mau lagi terlalu terikat pada suatu agama formal yang diorganisasikan. Tampaknya, konstatasi seperti ini cukup memperoleh pembenaran secara empirik. Dengan demikian, ajaran-ajaran misitisisme Islam sebagai suatu konsep alternatif, tentu sangat dapat diamalkan untuk memecahkan masalah-masalah hidup manusia dalam berbagai dimensinya. Pengamalan mistisisme Islam seperti yang disebutkan ini, justeru sangat relevan dengan kehidupan masyarakat yang didambakan untuk masa sekarang dan prospek masa depan, yaitu kesederhanaan dan kemampuan untuk menjaga jarak secara mental dengan dunia yang jika tersosialiasai secara kontinyu, tentu akan bermuara pada konsepsi ma’rifutullah sebagai tujuan akhir misitisisme Islam itu sendiri.
Pada sisi lain adalah bahwa yang sangat epektif bila dimasyarakatkan untuk masa kini dan masa mendatang adalah upaya kesadaran dari dalam untuk memoderasi ajaran mistisisme Islam dan untuk mengeliminr konflik antara syariat dan tasawuf atau hakikat. Dengan kata lain, masa depan mistisisme Islam akan lebih eksis bilamana telah terkompromi antara syariat dan hakikat atau tasawuf menjadi bangunan baru yang cukup memuaskan bagi semua pihak, baik dari kalangan syar’i ataupun lebih-lebih kalangan para sufi.
Dengan memadukan syariat dan tasawuf akan menghidupkan ke-gairahan dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran agama. Dalam hal ini, kedalaman spritual yang ditimbulkan oleh ajaran mistisisme Islam bisa didayagunakan untuk mendukung kegairahan mempelajari ilmu-ilmu agama beserta pengamalannya.
Sebaliknya, dengan syariat dan ayat-ayat suci al-Quran maupun hadis-hadis, pengamalan ajaran mistisisme Islam mulai mendapat hati dari pihak ulama ahli syariat, bahkan akan diterimanya sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang paling kaya raya kerohanian dan tuntutan moral.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
P.J. Bearman, et. all, (ed), The Encyiclopedia of Islam, vol. XLedien Brill: Tuta Sub Aegide, 2000. Abū Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazāli, al-Munqiz min al-Dalāl Kairo: Dār al-Fikr, t.th. Kamaruddin Khan, The Political Thougt of Ibn Taymiyah (Islamabad Pakistan: Islamic Research Institute, 1973. Masyharuddin, “Ibn Taimiyah dan Pembaruan Tasawuf” dalam IAIN Walisongo Press (eds), Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Paul Edward (Editor in Chief), The Encyclopedia of Philosophy, Vol. V-VI,New York:Macmillan Publishing Co. Inc. & The Free Press; London: Collin Macmillan Publishers: 1997.