Referensi Makalah; Kaidah Tafsir Nabi saw.
Pada: November 16, 2011
Rasulullah saw. adalah penafsir pertama terhadap al-Quran dan pemberi penjelas terhadap al-Quran. Penafsiran dan penjelasan Rasulullah terhadap al-Quran beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Ada yang berfungsi sebagai bayan ta’kid (memperkuat dan menggarisbawahi kembali isi al-Quran) dan ada yang bersifat bayan tafsir (memperjelas, merinci dan membatasi pengertiannya).
Disamping itu, Rasulullah saw dibekali dengan wahyu dan diberikan garansi ma’shum terhadap penafsirannya sehingga penafsiran tafsirnya memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki penafsir lain dan sudah pasti benarnya. oleh karena itu, tafsir Nabi didahulukan dari yang lain.
Berikut adalah kaidah-kaidah yang terkait dengan tafsir Nabi saw yang memposisikan tafsirnya pada posisi tertinggi:
Kaidah Pertama
إذا عرف التفسير من جهة النبي صلى الله عليه وسلم فلا حاجة إلى قول من بعدهArtinya: “Jika ada penafsiran Nabi saw, maka penafsiran lain setelahnya tidak dibutuhkan lagi.
Dalam bahasa lain, penjelasan dan penafsiran Nabi terhadap lafaz-lafaz al-Quran didahulukan dari penjelasan apapun.
Di antara cara atau metode yang digunakan Rasulullah saw. dalam menafsirkan al-Quran adalah:
1. Tafsir Nabi menggunakan ayat al-Quran
Rasulullah saw. seringkali menafsirkan al-Quran dengan menggunakan ayat-ayat al-Quran yang lain. Salah satu contohnya adalah ketika ayat الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم (al-An’am: 82) para sahabat bertanya “Wahai Rasulullah saw. kalau demikian artinya, lalu siapa diantara kami yang tidak berbuat zalim?.
Kemudian Rasulullah menjelaskan maksud dari kata zalim tersebut dengan menggunakan ayat lain, padahal sahabat berusaha menafsirkannya dengan pendekatan bahasa. Namun Rasulullah saw. menegur sahabat dengan mengatakan bahwa makna zalim tidak seperti yang dimaksud, akan tetapi zalim dalam ayat ini adalah kesyirikan, dengan membaca QS. Luqman: 13.
يا بني لا تشرك بالله إن الشرك لظلم عظيم
2. Tafsir Nabi dengan pendekatan bahasa
Diantara contoh penafsiran Nabi saw. dengan menggunakan pendekatan bahasa, yaitu pada saat menceritakan tanya jawab Allah swt. terhadap Nabi Musa dan kaumnya tentang tablig al-risalah, kemudian Nabi membaca ayat:
وكذلك جعلناكم أمة وسطا لتكونوا شهداء على الناس
lalu menafsirkan lafaz وسطا dengan العدل dimana makna etimologi dari lafaz وسطا adalah adil dan setengah.
3. Tafsir Nabi dengan penjelasan muradiyah
Tafsir Nabi dengan cara penjelasan muradiyah merupakan tafsir yang paling banyak dilakukan oleh Rasulullah saw., baik penafsiran Nabi tersebut dengan cara menafsirkan terlebih dahulu kemudian membaca ayat yang ditafsirkan, atau membaca ayatnya terlebih dahulu kemudian menafsirkannya, ataukah penafsiran Nabi didahului sengketa atau kesalahpahaman sahabat terhadap ayat, ataukah Nabi bertanya tentang maksud ayat kepada sahabat, akan tetapi mereka tidak menjawabnya atau keliru memahaminya.
Sebaliknya, terkadang Nabi menafsirkan ayat al-Quran dengan membacakan ayatnya terlebih dahulu, seperti ayat 6 dari surah al-Muthaffifin, dengan mengatakan:
حتى يغيب أحدهم فى رشحه إلى أنصاف أذنيه
Salah satu cara Nabi menafsirkan ayat-ayat al-Quran adalah dengan mengamalkan ayat tersebut. Semisal pascaturunya surah al-Nashr, Rasulullah banyak membaca سبحانك ربنا وبحمدك اللهم اغفر لي pada saat ruku’ dan sujud.
Semua cara atau metode penafsiran Nabi di atas, dapat dijadikan contoh penerapan kaidah yang terkait dengan tafsir Nabi yang harus didahulukan dari penafsiran-penafsiran yang lain.
Kaidah Kedua
ألفاظ الشارع محمولة على المعانى الشرعية، فإن لم تكن فالعرفية، فإن لم تكن فاللغويةArtinya: “lafaz-lafaz syariat di makna-makna syariat, jika tidak ditemukan makna syariatnya, maka diberi makan uruf (kebiasaan), jika tidak ada, maka dilarikan pada makna linguistiknya”.
Sejalan dengan kaidah di atas adalah kaidah berikut:
تقديم المعنى الشرعي على المعنى اللغوىArtinya: “Mendahulukan makna syariat dari pada makna bahasanya”
Jika terdapat suatu kata memiliki dua makna atau lebih, salah satunya adalah makna bahasa, sedangkan makna yang lain adalah makna syariat dan kedua makna tersebut berbeda, maka makna yang didahulukan adalah makna syariat karena al-Quran diturunkan untuk menjelaskan syariat kecuali jika ada dalil yang menunjukkan makna lain.
Semua penjelasan tersebut berlaku jika tidak ada indikasi atau dalil yang mengarahkan dari maknanya (syariat, uruf dan bahasa) kepada makna lain, semisal contoh yang terdapat indikasi pengalihan makna dari makna syariat kepada makna bahasa adalah kalimat وصل عليهم dalam surah al-Taubah: 103 dengan mengembalikan kepada makna bahasanya yaitu doa’, karena ada indikator dari hadis lain yaitu:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أتاه قوم بصدقتهم قال "اللهم صل عليهم"Artinya: “Rasulullah saw. jika datang kepadanya suatu kaum dengan membawa sedekah/zakatnya, dia berkata “Ya Allah, berilah mereka rahmat”.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Muhammad Isma’il Ibrahim, al-Qur’an wa I’jazuh al-‘Ilmi Bairut: Dar al-Saqafah al-‘Arabiyah, t.th. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Juz. VII Jakarta: Lentera Hati, 2005. Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih li al-Bukhari, Juz. VI Bairut: Dar Ibnu Kastir, 1407 H./1987 M. Khalid ibn Us|man al-Sabt, Qawa’id al-Tafsir, Jam’an wa Dirasah, Juz. I al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Sa’udiyah, Dar ibn ‘Affan, 1417 H./1997 M. Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj, al-Naisaburi, al-Jami’ al-Shahih li Muslim, Juz. III Bairut: Dar al-Jail, t.th. Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa al-Turmuzi, al-Jami’ al-Shahih Sunan al-Turmuzi, Juz. IIBairut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, t.th. Fahd ibn Abd Rahman ibn Sulaiman al-Rumi, Buhus fi Ushul al-Tafsir wa Manahijih, t.p. Maktabah al-Taubah, 1419 H. Taqiyuddin Ahmad ibn Abd Halim ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, Juz. VIIt.t.: Dar al-Wafa’, 1426 H./2005 M.