Skip to main content

Metode Tafsir Sayyid Qutub (Fi Zhilal al-Quran)

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: November 20, 2011

Tafsir Fi Zhilal al-Quran, karang Sayyid Qutub (lihat biografinya di sini) terdiri atas delapan jilid, dan masing-masing jilidnya yang diterbitkan Dār al-Syurūq, Mesir, mencapai ketebalan rata-rata 600 halaman.
Term Zhilāl yang berarti “naungan” sebagai judul utama tafsir Sayyid Qutub, memiliki hubungan langsung dengan kehidupannya. Sebagai catatan mengenai riwayat hidup Sayyid Qutub, dan juga telah disinggung pada uraian yang lalu bahwa dia sejak kecilnya telah menghapal al-Quran, dan dengan kepakarannya dalam bidang sastra, dia mampu memahami al-Quran secara baik dan benar dengan kepakarannya itu, serta segala kehidupannya selalu mengacu pada ajaran al-Quran. Oleh karena itu, Sayyid Qutub menganggap bahwa hidup dalam “naungan” al-Quran sebagai suatu kenikmatan. Hal ini, sesuai yang termaktub dalam tulisan muqaddimah tafsirnya:
الحياة فى ظلال القرآن نعمة. نعمة لايعرفها إلا من ذاقها. نعمة ترفع العمر وتباركه وتزكيه. والحمد لله ... لقد من على بالحياة فى ظلال القرآن فترة من الزمان.
Artinya: Hidup di bawah naungan al-Quran adalah kenikmatan. Kenikmatan itu tidak dapat diraih kecuali bagi orang yang merasakannya. Kenikmatan itu mengangkat umur, memberkatinya dan mensucikannya. Segala puji bagi Allah … yang telah menganugrahkan kepadaku kehidupan di bawah naungan al-Quran dalam periode di zaman ini.
Berdasar pada kutipan di atas, betapa indahnya penggambaran Sayyid Qutub terhadap makna Fi Zhilal al-Qur’an sebuah kitab tafsir yang dialami penulisnya sendiri dengan spirit, pemikiran, perasaan, serta eksistensinya seluruhnya. Sayyid Qutub mengalami semua itu dari waktu ke waktu, sampai masa wafatnya, dan tentu saja (menurut hipotesa penulis) hingga kini, rohnya mengalami kenikmatan.
Apabila karya tafsir Fi Zhilal al-Quran dicermati aspek-aspek metodologisnya, ditemukan bahwa karya ini menggunakan metode tahliliy, yakni metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari seluruh aspeknya secara runtut, sebagaimana yang tersusun dalam mushaf. Dalam tafsirnya, diuraikan korelasi ayat, serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula, diuraikan latar belakang turunnya ayat (sabab nuzul), dan dalil-dalil yang berasal dari al-Quran, Rasul, atau sahabat, dan para tabiin, yang disertai dengan pemikiran rasional (ra’yu.)
Kerangka metode tahlili yang digunakan Sayyid Qutub tersebut, terdiri atas dua tahap dalam menginterpretasikan ayat-ayat al-Quran. Pertama, Sayyid Qutub hanya mengambil dari al-Quran saja, sama sekali tidak ada peran bagi rujukan, referensi, dan sumber-sumber lain. Ini adalah tahap dasar, utama, dan langsung. Tahap kedua, sifatnya skunder, serta penyempurna bagi tahap pertama yang dilakukan Sayyid Qutub. Dengan metode yang kedua ini, sebagaimana dikatakan Adnan Zurzur yang dikutip oleh al-Khalidi bahwa Sayyid Qutub dalam menggunakan rujukan skunder, tidak terpengaruh terlebih dahulu dengan satu warna pun di antara corak-corak tafsir dan takwil, sebagaimana hal itu juga menunjukkan tekad beliau untuk tidak keluar dari riwayat-riwayat yang sahih dalam tafsir al-matsur.
Dapatlah dipahami bahwa rujukan utama karya tafsir Fi Zhilal al-Qur’an yang ditulis Sayyid Qutub adalah dalil-dalil ma’śūr itu sendiri. Antara lain sebagai contoh yang dapat penulis kemukakan di sini, adalah penafsiran Sayyid Qutub tentang QS. al-Fātihah, dimana setelah dijelaskan makna “al-Fātihah” dengan bahasa sastranya, Sayyid Qutub kemudian memulai tafsiran-nya terhadap term “بِسْمِ اللَّهِ” dan secara interpretatif dia memperkuat makna term tersebut dengan QS. al-Alaq “اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ”.
Selanjutnya, kalimat “الْحَمْدُ لِلَّهِ” masih dalam QS. al-Fātihah, oleh Syaid Qutub mengkaitkannya makna kalimat dengan sebuah hadis yang dikutipnya dalam sunan Ibn Mājah, dari ‘Umar, bahwa Rasulullah saw menyampaikan kepada sahabat-sahabatnya, “seorang hamba adalah hamba Allah yang selalu berkata (berdoa) : يارب لك الحمد كما ينبغى لجلال وجهك وعظيم سلطانك. “.
Di samping tafsir ayat bi al-ayat dan tafsīr ayat bi al-hadiś, Sayyid Qutub juga dalam beberapa ayat, mengutip pendapat sahabat, kemudian pendapat para tabiin. Hal ini dapat ditemukan misalnya ketika Sayyid Qutub menafsirkan QS. al-Baqarah:2/188.
لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Terjemahnya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
Sayyid Qutub dalam menginterpretasikan ayat tersebut, dia meng-kedepankan dua riwayat ma’śur, yakni riwayat yang pertama adalah dari Ibn ‘Abbas (sahabat), sedangkan riwayat yang kedua berasal dari Mujāhid, Sa’īd bin Jubair, Ikrimah, Hasan, dan Qatādah (dari kalangan tabiin). Selanjutnya, Sayyid Qutub memberikan komentar berdasarkan alur pemikirannya sendiri (ra’yu) terhadap ayat tersebut dengan tetap mengacu pada kandungan riwayat ma’śur yang telah dikutipnya.
Dalam upaya memperkaya metode penafsirannya tersebut, Sayyid Qutub selalu mengutip penafsiran-penafsiran ulama lainnya yang sejalan dengan alur pemikirannya. Adapun rujukan utama Sayyid Qutub dalam mengutip pendapat-pendapat ulama, adalah merujuk pada beberapa karya tafsir ulama yang diklaim sebagai karya tafsir bi al-ma’śur kemudian merujuk juga pada karya tafsir bi al-ra’y. Dari sini dipahami bahwa metode penafsiran Sayyid Qutub, juga tidak terlepas dari penggunaan metode tafsir muqaran.
Selanjutnya,dalam menganalisis berbagai ayat yang ditafsirkannya, Sayyid Qutub senantiasa mendasarkan dirinya pada multi metode sesuai dengan kandungan ayat. Dalam hal ini, Sayyid Qutub menginterpretasikan ayat dengan cara tashwir (gambaran artistik); tajsim (imajinasi perasaan dan perupaan); mengungkap kisah. Namun analisis interpretatif yang paling menonjol digunakan Sayyid Qutub dalam menafsirkan ayat al-Quran adalah aspek kesusastaraan al-Quran, karena sebagaimana yang telah disebut-kan berkali-kali bahwa Sayyid Qutub adalah sangat pakar dalam bidang ilmu kesusastraan.
Terkait dengan itu, al-Khalidi secara tegas menyatakan bahwa Sayyid Qutub dalam karya-nya Fi Zhilal al-Qur’ān memilki sastra yang tinggi, serta gaya sastra yang indah. Sayyid Qutub menggunakan hal itu sebagai sebuah sarana dalam tafsirnya, sehingga Zhilal datang sebagai bentuk (bingkai) umum yang di dalamnya terpaparkan. Zhilal seutuhnya dapat dikatakan sebagai contoh mengenai sastra, dan merupakan bagian dari sebab-sebab bisa diterimya Zhilal di kalangan kaum muslimin dewasa ini. Bakat sastra Sayyid Qutub serta gaya sastranya yang sedemikian berpengaruh merupakan dasar baginya untuk memasuki alam al-Quran yang luas, mengeluarkan perbendaharaan-per-bendaharaannya yang disukai ini. Apabila karya-karya tafsir klasik dan kontemporer dibaca yang terbangun dalam metodologis sastra, fikih, filosof, atau ahli hukum, sungguh akan dipilih dan diutamakan yang pertama, yakni sastra karena lebih terkesan olehnya dan membuat orang terpesona. Inilah yang didapati oleh pembaca Fī Zhilal Tafsir al-Qur’an.
Renungan sastranya yang begitu indah dan mempesona, Sayyid Qutub menampilkan sebagian dari sifat-sifat Allah dalam klausa “رَبِّ الْعَالَمِينَ” yang dikutipnya dari QS. al-Fātihah, yakni bahwa term Rabb secara ke-bahasaan mengandung makna kemutlakan bagi Allah swt mengadakan perbaikan dan pemeliharaan terhadap alam semesta, dan semua makhluk-Nya. Allah swt tidak menciptakan alam semesta kemudian membiarkannya begitu saja, melainkan Dia mengelolahnya secara baik dan memelihara. Setiap alam dan ciptaan-(Nya), dijaga dan dirawat dengan pemeliharaannya. Hubungan antara Khaliq dan makhluk selamanya berlangsung secara terus menerus di setiap situasi dan kondisi. Dengan gaya bahasa seperti ini, secara jelas dapat dipahami kandungan klausa rabb al-alamin tersebut, yakni bahwa pemuliaan Allah swt terhadap alam ini begitu tinggi, hubungan antara Allah dengan alam dan semua makhluk-Nya, terutama manusia adalah keselarasan dan naungan (zhilal) yang indah.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Sayyid Qutub, Fi Zhilal al-Qur’an, jilid I Kairo: Dar al-Syuruq, 1993. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1992. Sayyid Qutub al-Tashwir al-Fanni fi al-Qur’an, diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar dengan judul Keindahan al-Qur’an yang Menakjubkan, Jakarta: Robbani Press, 2004. Abdillah F. Hasan, Tokoh-tokoh Mashur di Dunia Islam, Surabaya: Jawara, 2004. Shalah Abd. al-Fattah al-Khalidi, Sayyid Qutub al-Syahid al-Hayy, Amman: Maktabah al-Aqsha, 1981. Shalah Abd. al-Fatah al-Khalidi, Madhal Ila Zhilal al-Qur’an, diterjemahkan oleh Salafuddin Abu Sayyid, Pengantar Memahami tafsir Fi Zhilalil Quran Sayyid Qutub, Solo-Surakarta: Intermedia, 2001.
Makalah tentang Sayyid Qutub dan tafsirnya, dapat anda dapatkan secara gratis di sini, kami harap anda menghindari plagiasi dan mengedit terlebih dahulu.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar