Pandangan Orientalis tentang al-Qur’an:
Pada: November 02, 2011
Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang menyatakan dirinya, bersih dari keraguan, dijamin keseluruhan isinya terjaga, dan tiada mungkin dibuat tandingannya. Barangkali sifat-sifat inilah yang membuat kalangan non-muslim, khususnya orientalis-missionaris Yahudi dan Kristen.
Tetapi tidaklah mengherankan, karena sejak al-Qur’an diturunkan, sudah disinyalir bahwa orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela sampai umat Islam mengikuti keinginan dan keagamaan mereka. Selain itu, mereka ingin agar umat Islam melakukan apa yang mereka lakukan seperti menggugat, dan mempersoalkan yang sudah jelas dan mapan sehingga timbul keraguan terhadap yang benar dan sahih.
Dalam rangka memberi kesan seolah-olah obyektif dan otoritatif, orientalis-missionaris biasa berkedok sebagai pakar (expert scholar) mengenai bahasa, sejarah, agama, tamaddun Timur, baik yang ‘jauh’ (far eastern, seperti Jepang, Cina dan India) maupun yang ‘dekat’ (Near Eastern, seperti Persia, Mesir dan Arabia).
Dari buku-buku yang ditulis orientalis-missionaris, secara sembunyi maupun secara terbuka, mereka memang benci terhadap al-Qur’an. Diantara ucapan mereka antara lain, Galastowne berkata:
“Selama masih terdapat pengaruh buku ini (al-Quran) Inggeris tidak akan mencapai tujuan sedikitpun di negeri Arab, kecuali pengaruh kitab ini telah dihilangkan. Oleh karena itu, Keluarkanlah rahasia ‘buku ini’ di kalangan umat Islam, niscaya tembok penghalang rencana kalian hilang.”
Dalam kesempatan lain ia berkata:
“Selama al-Qur’an masih ada di tengah umat Islam, Eropa tidak akan sanggup mengalahkan Timur, sekaligus mereka (Eropa) tidak aman terhadap dirinya.”
Ucapan di atas melukiskan betapa barat sangat takut terhadap Islam dan kebangkitan kebangkitan umat Islam. Mereka tahu, jalan satu-satunya kebangkitan kaum muslimin hanya dengan al-Qur’an, tidak ada jalan lain. Maka bisa dipastikan, mereka berusaha segala daya dan berbagai cara, agar pengaruh al-Qur’an tidak lagi nampak di kalangan kaum muslimin.
Pada tahun 1927, Alphonso Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan mantan guru besar di Unversitas Birmingham, Inggeris mengumumkan bahwa: “Sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani”. Kitab suci Bible berbeda dengan al-Qur’an dari sisi orisinalitasnya. Bible terlalu banyak campur tangan manusia di dalamnya, sehingga sulit dibedakan mana yang benar-benar wahyu dan mana yang bukan wahyu. Saint Jeremo pernah melontarkan bahwa banyak fakta penulis Bible, diketahui bukan menyalin perkataan yang mereka temukan, tetapi menuliskan apa yang mereka pikir sebagai maknanya. Sehingga yang terjadi bukan pembetulan kesalahan tetapi penambahan kesalahan. Inilah barangkali yang menyebabkan orientalis-missionaris cemburu terhadap al-Qur’an. Karena kekecewaan tersebut, pada tahun 1720 Master of Trinity College, R Bentley menyeru umat Kristen agar mengabaikan kitab suci mereka. Arthur Jeffery tahun 1937 berambisi membuat edisi kritis al-Quran, hendak mengubah Mushaf Usmani yang ada dengan mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah mengajar di Columbia University ini, konon ingin mmerestorasi teks al-Qur’an berdasarkan kitab al-Mashahif karya Ibn Abi Dawud as-Sijistani yang ditengarai merekam becaa-bacaan dalam beberapa mushaf tandingan. Bagi orientalis-missionaris, isnad tidak penting. Dan karenanya riwayat syadz boleh saja dianggap sahih, riwayat garib dan ahad boleh saj menjadi mutawatir dan masyhur, dan yang cacat disamakan dengan yang sempurna. Dalam hal ini, tehnik dan strategi merka menjungkirbalikkan kriteria dan nilai, menganggap penting yang sepele dan menyepelekan yang penting. Ada pula orientalis yang ingin mengubah susunan ayat dan surat al-Qur’an secara krnologis, mau mengoreksi bahasa al-Quran atau mengubah sebagian redakssi ayat-ayatnya. Kajian orientalis terhadap al-Quran tidak sebatas mempertanyakan otensitas al-Qur’an. Isu klasik yang diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster terhadap Islam maupun kandungan al-Quran. Ada pula yang membandingkan ajaran al-Qur’an dengan adat-istiadat jahiliyah, Romawi dan lain sebagainya. Biasanya merekakatakan bahwa cerita-cerita dalam al-Qur’an keliru dan tidak sesuai dengan versi bible yang mereka anggap akurat.
Hemat penulis, orientalis-missionaris, tidak akan menemukan jalan memahami esensi dan eksistensi al-Qur’an, jika tidak memiliki iman dan penelaahan ilmiyah dan obyektif alias jujur. Mereka-mungkin-mempunyai komentar tentang al-Quran tetapi tidak pernah menyentuh dan merengkuh isinya. Orientalis-missionaris memang tidak membutuhkan isi, seandainya mereka sudah mengetahui isinya sekalipun, mereka akan membuangnya juga karena tidak memiliki kepentingan dengannya.
Orientalis dan Hadis Nabi saw: Mengenai hadis, ulama salaf dan khalaf, tidak pernah ada yang meyakini bahwa seluruh hadis yang ada itu asli dan sahih semuanya. Sebaliknya, tidak ada pula yang berkeyakinan bahwa semua hadis itu palsu belaka. Hanya orang yang bodoh dan tak berilmu mengatakan demikian. Tetapi orientalis-missionaris cenderung pada pendapat kedua. Padahal dua pendapat di atas sama ekstrimnya. Oleh karena itu, dalam rangka mengecek kebenaran dua pendapat ekstrim itu, dalam ilmu hadis terdapat penelitian terhadap orang yang menyampaikan hadis/Rijal al-hadis. Namun itulah masalahnya, karena mayoritas orientalis tidak percaya adanya sanad hadis. Orientalis semisal Alois Sprenger, yang pertama sekali mempersoalkan status hadis, berpendapat bahwa hadis adalah kumpulan anekdot-anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). Begitu pula William Muir orientalis asal Inggeris, yang mengkaji biografi Muhammad saw dan sejarah perkembangan Islam, berkata; Dari 4.000 hadis yang dianggap sahih oleh Imam Bukhari, paling tidak separuhnya harus ditolak dari segi isnad, belum lagi dari segi matannya. Selang beberapa waktu muncul Ignaz goldziher, orientalis asal Hungaria yang pernah belajar di Universitas al-Azhar Kairo sekitar tahun 1873-1874, sepulang ke Eropa ia dinobatkan sebagai orientalis yang paling banyak mengerti soal Islam. Pendapat Goldziher, lebih parah dari para pendahulunya, katanya; dari sekian banyak hadis, sebagian besarnya, tidak dijamin keasliannya, alias palsu. Menurut dia lagi, hadis adalah produk bikinan masyarakat Islam beberapa abad setelah Muhammad wafat, bukan berasal dan tidak asli dari nabi. Demikian kesimpulan orientalis-missionaris setelah bekerja bertahun-tahun mengkaji hadis nabi saw. Adapun kaki tangan orientalis-missionaris, telah menyebar pula di dunia timur, seperti dikemukakan oleh Ahmad Muhammad Syakir, ketika membahas penyimpangan sebagian ulama memahami hadis; “Kamu lebih tahu urusan duniamu”.
Ia berkata;
“Hadis ini digembar-gemborkan oleh banyak orang Mesir, orientalis Eropa, kaki tangan orientalis serta budak-budak missionaris. Mereka menjadikan hadis ini sebagai dasar menolak ahli sunnah dan pendukungnnya. Jika mereka hendak menolak sunnah, mengingkari syariat dalam kehidupan sosial, mereka mengatakan ini adalah urusan dunia. Mereka berpegang pada riwayat hadis ini. Allah SWT tahu bahwa sesungguhnya mereka tidak beriman kepada inti agama, tidak kepada sifat Uluhiyah Allah dan tidak pula kepada risalah Nabi Muhammad saw. Jika mereka beriman, itu hanya sebatas lisan saja.”
Secara umum orientalis sangat memperhatikan kajian sunnah dan al-Qur’an secara khusus. Menurut mereka, jika dapat menanamkan keraguan terhadap sunnah, maka secara otomatis dapat menanamkan keraguan terhadap al-Qur’an, bahkan Islam itu sendiri. Oleh karena itu, dalam kesempatan lain, Gibb berbicara tentang sunnah, berkata:
“Sesungguhnya Islam di bangun di atas landasan hadis-hadis Nabi lebih banyak, dari pada landasan al-Qur’an. Tetapi jika kita dapat membuang hadis-hadis palsu, maka sedikitpun Islam tidak ada yang tersisa”.
Akhirnya, dapat kemukakan bahwa di satu pihak, kekeliruan pemahaman tentang kedudukan, fungsi dan sejarah perkembangan hadis timbul akibat dangkalnya pengetahuan agama. Dan di pihak lain, ia terjadi akibat pendangkalan agama yan dilakukan oleh musuh-musuh Islam-khususnya para orientalis yang tidak beranggung jawab yang mengatasnamakan penelitian ilmiyah untuk tujuan-tujuan tertentu. Gerakan gazwu al-fikr dunia barat telah membanjiri dunia timur, sehingga ibarat air bah, alirannya yang sangat deras, menggunung dan bergelombang telah menghanyutkan umat Islam, termasuk tokoh-tokoh intelektual. Meskipun dari kalangan orientalis kebanyakan fanatis dan sangat bersemangat ‘menyerang’ Islam, tetapi harus diakui berkat pengorbanan dan jasa orientalis, terdapat beberapa penulis yang sampai hari ini karyanya masih digunakan umat Islam. Diantara nama-nama yang berjasa dengan karya tulis mereka adalah:
T.W. Arnold dengan bukunya Preaching of Islam, sebuah karya yang sangat tinggi mutunya. Stanley Lahe/Poole mengarang ‘Saladin’, (Salahuddin al-Ayyubi) dan buku ‘Moors In Spain’ (Bangsa Arab di Spanyol)
A.W. J-Wensick, pengarang ensiklopedi yang sangat rapi menurut abjad yang memuat hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis sebanyak empat belas yang masyhur, juga dari buku-buku sirah(biografi) dan perang-perang terkenal. Dalam buku ini terdapat nama-nama perawi dan nama-nama kitab tempat pengambilannya dan cara pengarang menyusun buku ini. Semuanya diterangkan secara panjang lebar di dalam muqaddimahnya. Kitab ini terdiri atas 7 kitab tebal. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ustadz Fuad Abdul Baqi’ yang diberi nama Miftah Kunuzi al-Sunnah. Buku ini diberi kata pengantar oleh Sayyid Rasyid Ridha dan Ahmad Muhammad Syakir.
Studi barat terhadap Islam,atau orientalisme dapat diibaratkan sebagai ular berbisa. Meskipun berbisa, kalau di jamah oleh tangan ahli, bisa tersebut dapat diambil manfaatnya. Tetapi, pasti beberapa orang, ada juga yang mati karena bisa yang mematikan itu. Lebih parah lagi, jika umat Islam sendiri, bahkan di kalangan pakarnya, yang menyebarkan dan menyuntikkan bisa itu ke dalam tubuh umat Islam.
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber