Kaidah Tafsir Sahabat Nabi saw
Pada: December 11, 2011
Sahabat merupakan generasi pertama yang menerima al-Quran, 'menyaksikan' turunnya al-Quran secara bertahap, sahabatlah orang pertama yang menerima penafsiran dari Rasulullah saw., bahkan para sahabat tidak meneruskan bacaan al-Quran lebih dari 10 ayat sebelum mengetahui dan memahami maksudnya dengan cara beriman, berilmu atau beramal.
Disamping sumber penafsiran sahabat langsung kepada al-Quran, Sunnah Rasulullah dan ahl al-Kitab, ijtihad sahabat juga memiliki keistimewaan dimana mereka lebih mengetahui asal-usul peletakan bahasa Arab dan segala macam rahasianya, pengetahuan mereka terhadap adat istiadat bangsa Arab, hal-ihwal Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab dimana al-Quran diturunkan serta kemampuan dan wawasan keilmuan mereka yang begitu dalam dan luas.
Berdasarkan dari beberapa argumen, tafsir sahabat sudah sepantasnya didahulukan dari pada penafsiran orang-orang setelahnya, bahkan sebagiannya harus didahulukan, sebagaimana kaidah berikut:
قول الصحابي مقدم على غيره فى التفسير وإن كان ظاهر السياق لا يدل عليه
Artinya: “Perkataan atau penafsiran sahabat didahulukan dari penafsiran para ulama setelahnya, meskipun zahir kalimatnya tidak menunjukkan hal itu”
Maksud dari kaidah tersebut adalah tafsir sahabat lebih didahulukan dari tafsir yang lain, selain tafsir Nabi saw., meskipun makna redaksinya tidak menunjuk demikian, selama makna tersebut tidak bertetangan dengan tafsir Nabi saw. Jika tafsir sahabat bertentangan dengan tafsir Nabi saw, maka tafsir sahabat ditolak.
Meskipun demikian, tafsir sahabat juga memiliki tingkkatan-tingkatan yang pada akhirnya akan berpengaruh kepada hukum penggunaan tafsir sahabat. Untuk lebih jelasnya, Admin akan menjelaskan hal tersebut sebagai berikut:
1. Tafsir sahabat yang bebas dari intervensi apapun
Tafsir sahabat yang tidak bisa diintervensi oleh rasio, maka hal itu dihukumi marfu’ yang berkonsekwensi kewajiban merujuk kepada tafsir sahabat tersebut, seperti asba>b al-nuzu>l, berita tentang alam gaib sepenjang tidak diambil dari kisah-kisah israiliyat dan sejenisnya. Hal itu ditegaskan oleh al-Zarqani dan al-Zarkasyi dalam kitabnya.
Salah contohnya, ayat نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم dimana Jabir ibn Abdillah mengatakan bahwa sebab turunya ayat tersebut adalah perkataan orang Yahudi bahwa suami yang mendatangi istrinya dari belakang, anaknya akan cacat.
2. Tafsir yang merujuk kepada bahasa
Sahabat jika menafsirkan al-Quran dengan merujuk kepada bahasa yang ada para mereka maka tidak ada keraguan untuk menjadikannya sebagai pegangan atau rujukan bahkan harus diterima sebagai sebuah tafsir yang benar karena mereka adalah ahl al-lisan (pemilik bahasa) Arab.
Salah satu contohnya, ketika para sahabat menafsirkan kata القصر dalam QS. al-Mursala>t: 32 ((إنها ترمي بشرر كالقصر dengan mengatakan bahwa mereka membuat tiga kayu bakar dengan panjang + 1 siku lalu membangunnya untuk musim dingin, bangunan itulah yang disebut القصر.
3. Tafsir yang merujuk kepada ahl al-kitab
Sebagaimana diketahui bahwa riwayat israiliyat dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu:
- Riwayat sah karena didukung oleh al-Quran dan hadis Nabi.
- Riwayat batil karena bertentangan dengan al-Quran dan hadis Nabi.
- Riwayat yang tidak dibenarkan dan tidak didustakan.
Salah satu contohnya adalah penjelasan tentang kisah Nabi Musa dalam ayat 26 dari surah al-Maidah: فإنها محرمة عليهم أربعين سنة يتيهون فى الأرض. Lengkapnya kisah tersebut terdapat dalam tafsir ibn Jarir.
4. Tafsir yang menggunakan ijtihad
Penafsiran sahabat yang bersumber pada ijtihad mereka dalam dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu:
- Tafsir sahabat yang hasil ijtihadnya sama
Jika ijtihad sahabat terhadap satu kasus atau masalah, hasilnya sama, maka dapat dipastikan ijtihad mereka dapat dijadikan hujjah karena hal itu masuk kategori ijma’ sahabat.
- Tafsir sahabat yang hasil ijtihadnya berbeda
Jika terjadi perbedaan pendapat penafsiran sahabat terhadap sebuah kata al-Quran, kalimat atau ayat al-Quran, maka dilakukan al-tarji>h{ kepada salah satu pendapat sahabat dengan tingkatan sebagai berikut:
- Mendahulukan pendapat yang sesuai dengan al-Quran.
- Mendahulukan pendapat yang sesuai dengan al-Quran al-sunnah.
- Mendahulukan pendapat sahabat yang paling benar cara qiyasnya.
- Tafsir seorang sahabat yang ijtihadnya tidak ditentang oleh sahabat lain
1. Ijtihad tersebut masyhur (terkenal)
Pendapat seorang sahabat yang sudah masyhur kemudian tidak ditentang oleh sahabat lain maka tidak disangsikan lagi bahwa pendapat tersebut dapat dijadikan sebagai hujjah, bahkan dianggap sebagai ijma’ oleh mayoritas ulama, sebagaimana ungkapan Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ al-Fatawa.
2. Ijtihhad tersebut tidak masyhur (terkenal)
Sedangkan penafsiran sahabat yang tidak tersebar dan dikenal luas atau tidak jelas apakah tafsir sahabat tersebut dikenal luas atau tidak, maka dinggap hujjah oleh imam mazhab empat.
Surga Makalah®
Kepustakaan:
Abd Rahman ibn Nasir al-Sa’di, al-Qawaid al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an CD-ROM al-Maktabah al-Syamilah. al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz. II, 37 dan al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz. II. Abu al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidi, Asbab Nuzul al-Qur’an, Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411 H. Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wi;l al-Qur’an, Juz. II Dimasyq: Muassasah al-Risalah, 1420 H./2000 M.