Said Nursi dan Pemikirannya
Pada: December 27, 2011
Asal mula munculnya filsafat sebagai ilmu pengetahuan, dimulai karena kekaguman (keta’ajjuban) manusia. Kalau manusia sudah merasa kagum, biasanya ia merasa tidak tahu dan hal yang tidak diketahuinya itu merupakan problema yang harus dicarikan solusi melalui gerak rasionalitas, dengan mempergunakan nalar sekuat mungkin, sehingga diperoleh pengetahuan. Pengetahuan semacam ini, mungkin saja dapat diperoleh yang dimulai dengan pertanyaan: knowledge of what is yakni apakah sesuatu itu ? dan juga knowledge of what tobe, yakni tentang apa yang seharusnya diperbuat ? pertanyaan-pertanyaan seperti ini, tentu membuat manusia untuk berfikir (menalar), sehingga melahirkan suatu ilmu pengetahuan.
Karena hasil akhir filsafat adalah perolehan ilmu pengetahuan, maka konsep filsafat tersebut merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam Islam, karena agama Islam tersebut sejak pertama diturunkannya menggunakan kata iqra yang oleh sebagai mufassir mengartikan term iqra sebagai perintah untuk menalar. Di dalam berbagai ayat, juga ditemukan sejumlah term yang mendorong pemikiran rasional misalnya; afalā ta’qilūn (apakah kamu tidak menggunakan akal; afalā tubsirūn (apakah kamu tidak melihat); afalā tanzurūn (apakah kamu tidak meneliti, tidak menggunakan nalar); yā ulil al-bāb (hai orang yang me-miliki otak dan akal).
Jelaslah bahwa filsafat Islam, bukan jiplakan dari pemikiran Yunani Kuno, tetapi filsafat Islam tersebut berasal dari interpretasi ayat-ayat al-Quran yang diwahyukan Tuhan. Ajakan ayat-ayat al-Quran untuk mengobservasi, meneliti dan mengkaji realitas-realitas di alam semesta, termasuk diri manusia sendiri, telah mendorong umat Islam pada masa-masa lalu untuk menggeluti bidang filsafat, sehingga mereka berhasil menjadi mercusuar dunia, terutama pada abad-abad ke ketujuh sampai sembilan Masehi. Dalam masa itu, tampil filsuf Islam misalnya al-Kindi (796-873 M), al-Farabi (872-950 M), Ibnu Sina (980-1037 M), al-Maskawaih (w. 1030 M), al-Ghazali (1058-1111 M), dan masih banyak lagi selainnya.
Salah satu filosof atau pemikir Islam dan sekaligus sebagai sufi yang masyhur pasca al-Ghazāli, adalah Said Nursi (1293-1379 H). Tokoh ini, berasal dari sebuah desa bernama Nursi di perkampungan Khaizan, wilayah Bitlis yang terletak di sebelah Timur Anatoli. Tanda-tanda sebagai seorang yang kelak menjadi pemikir, tampak sejak Said Nursi masih kecil. Hal ini seperti terlihat, bahwa beliau selalu banyak bertanya dan gemar menelaah masalah-masalah yang belum dimengerti.
Dalam dunia pendidikan, Said Nursi mulai belajar di madrasah, dan terakhir dia sekolah di Bayazid dengan di bawah bimbingan Syaikh Muhammad Jalali. Di sinilah Said Nursi belajar Nahwu dan sharaf, dan berhasil membaca seluruh buku yang pada umumnya dipelajari di sekolah-sekolah agama. Dalam kesehariannya, dia selalu membaca duaratus halaman buku yang bahasanya sangat sulit dimengerti. Namun demikian, dia mampu memahaminya tanpa harus merujuk pada catatan kaki atau catatan pinggir, dan tanpa dibantu oleh syaikh.
Tidak lama kemudian, popularitas Said Nursi tersebar luas. Para ulama silih berganti melakukan berbagai dialog ilmiah dengannya dan berupaya untuk menyudutkannya dengan berbagai pertanyaan. Tetapi semua pertanyaan dan masalah yang dikemukakan terjawab dengan sangat argumentatif, sehingga oleh mereka digelari “Said Masyhur”.
Di masa-masa akhir pemerintahan Usmani dan masa-masa pembentukan Republik Turki, Said Nursi berkelana dari kota ke kota hingga pelosok terjauh negerinya. Dari sekian daerah yang dikunjunginya, said Nursi melihat kekafiran modern berakar dari sains dan filsafat, bukan dari kebodohan sebagaimana dikemukakan orang-orang sebelum dia. Paradoksnya, ketidak tahuan umat Islam terhadap sains dan teknologi membuat mereka tertinggal dari Barat di bidang ekonomi dan militer. Tetapi sains dan teknologi yang telah mendatangkan kekuatan bagi Barat untuk mencapai superioritas ekonomi dan militer di dunia membuat orang-orang Barat kehilangan keimanan dan moral tradisional mereka, sehingga jatuh ke dalam psimisme yang berlebihan. Akibatnya, moralitas sekuler dan kepentingan diri sendiri menggusur nilai-nilai agama dan nilai-nilai tradisional lainnya.
Akhirnya, Said Nursi berpendapat bahwa alam adalah kumpulan tanda-tanda Ilahi dan karena itu sains dan agama bukanlah dua bidang yang berseberangan. Keduanya adalah ekspresi yang (tampak) berbeda dari satu kebenaran yang sama. Pikiran harus dicerahkan dengan sains, sedangkan hati harus diterangi dengan agama.
Dalam pemikirannya, untuk membuktikan keberadaan dan keesaan Ilahi, hari kebangkitan, kenabian, asal Ilahiah, al-Quran, alam gaib, dan para penghuninya atau dimensi-dimensi immaterial, perlunya ibadah, moralitas, karakter ontologis manusia dan lain-lain, Said Nursi semula mencoba mem-erkuat Islam dengan filsafat modern barat. Kemudian dia melihat bahwa cara tersebut sama halnya dengan merendahkan Islam dan bahwa pokok-pokok islami terlalu dalam untuk dijangkau dengan prinsip-prinsip filsafat manusia. Dia lalu beralih kepada al-Quran saja. Namun pada gilirannya, setelah mencermati berbagai ayat al-Quran, justru Said Nursi berpendapat bahwa filsafat adalah jalur menuju kemajuan dan pencerahan ruhani. Bahkan sempat perpendapat bahwa pola pikir filsafat Barat bisa digunakan untuk menegakkan dan memperkuat kebenaran Islam. Dari sini, maka dipahami pemikiran Said Nursi yang secara lahiriyah terlihat tetap menggunakan filsafat Barat, justru di sisi lain dengan pemikirannya itu ternyata dapat sangat erat dengan filsafat Islam. Ini berarti bahwa Said Nursi satu-satu pemikir modern yang telah menemukan konsep baru filsafat dalam bingkai yang islami.
Dalam The Oxford Encyclopedia of Islami word disebutkan bahwasejak kelahiran filsafat, maka Filsafat Islam merupakan salah satu tradisi intelektual besar di dalam dunia Islam, dan telah mempengaruhi serta dipengaruhi oleh banyak perspektif intelektual lain, termasuk teologi skolastik (kalām) dan sufisme doktrinal (al-ma’rifah al-irfān). Mungkin sebab pengaruh-pengaruh intelektual lain, sehingga Ibrahim Madkūr menjelaskan bahwa kedudukan filsafat Islam sesungguhnya mengalami keraguan dalam suatu zaman. Sebagai akibatnya adalah di antara mereka yang mengingkari (menolak) kehadiran filsafat Islam itu, dan sebagian lainnya justru menerimanya, bahkan telah menyelamatkannya. Dengan penjelasan ini, maka dapat dipahami bahwa filsafat Islam dalam satu sisi tidak diterima oleh semua orang. Mungkin alasannya, karena ada anggapan bahwa filsafat Islam terasimilasi dari filsafat Yahudi (barat).
Meskipun diakui bahwa pemikiran-pemikiran filsofis di kalangan filosof-muslim yang pesat perkembangannya sejak dulu sampai kini pada umumnya berkisar pada filsafat Ketuhanan, dan sangat jarang yang mengkhususkan diri pada masalah alam semesta beserta isinya termasuk. Dengan kata lain, orientasi filsafat Islam selama ini bersifat vertikal dan jarang yang menghampiri persoalan-persoalan yang bersifat horizontal (masalah sosial dan alam semesta). Hal ini, sangat erat kaitannnya dengan situasi yang berkembang pada waktu itu, di mana masalah Ketuhanan menjadi topik yang selalu aktual diperbincangkan oleh kaum muslimin. Di lain pihak, kaum muslimin ingin mempertemukan antara berita-berita wahyu yang diyakini sebagai kebenaran dengan teori-teori filsafat yang bersumber dari ratio murni itu. Hal inilah yang dilakukan oleh Said Nursi yang dalam beberapa pernyataanya dipahami bahwa wahyu Allah yang diturunkan, menurut filsafat Islam adalah mutlak kebenarannya, sementara ratio yang juga merupakan alat pikir manusia yang diberikan oleh Allah, bilamana dipergunakan dengan sebaik-baiknya, juga akan mencapai kebenaran. Hanya saja, dalam konsep filsafat Islam adalah, ada manusia yang tidak mampu mencapai pada tarap kebenaran yang sempurna, sehingga ia bersifat nisbi (relatif). Bilamana kebenaran nisbi tersebut tidak bertentangan dengan wahyu, maka dapat diperpegangi.
*Berbagai sumber