Fundamentalisme-Radikalisme Islam
Pada: January 18, 2012
Dalam istilah Bahasa Arab, fundamentalis Islam sering disebut dengan term ushūliyyah al-Islāmiyah (dasar-dasar Islam), shahwah al-Islāmiyah (kebangunan Islam); al-ba’ats al-Islāmiy (kebangkitan Islam); dan harakah Islāmiyah (gerakan Islam). Sebagian orang yang kurang simpati sering menyebutnya dengan istilah muta’ashshibīn (orang-orang fanatik) dan atau mutatharrifīn (orang-orang radikal). Ninian Smart mengidentikkan Fundamentalisme-Radikalisme Islam dengan neo-tradisionalisme Islam, sedangkan Haleh Ashfar menyebutnya dengan istilah revitalisme Islam.
Musa Keilani mendefinisikan fundamentalisme Islam sebagai gerakan sosial dan keagamaan yang mengajak umat Islam kembali kepada prinsip-prinsip dasar Islam yang fundamental, kembali kepada kemurnian etika dengan cara mengintegrasikan secara positif (dengan doktrin agama), kembali kepada keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan masyarakat, dan manusia dengan kepribadiannya sendiri.
Definisi fundamentalis yang menitik beratkan pada “keharusan kembali kepada prinsip-prinsip fundamental agama”, juga dikemukakan oleh beberapa sarjana Barat seperti Jan Hjarpe dan Leonard Binder. Bila penekanan ini yang dipakai, dalam pandangan Dawam Raharjo semua orang Islam yang percaya kepada Rukun Iman yang enam dan Rukun Islam yang lima, dapat disebut sebagai Islam fundamentalis. Hal ini karena, apa yang disebut ajaran fundamental dalam Islam tercakup dalam Rukun Iman dan Rukun Islam. Namun fundamentalis Islam mengalami pergeseran (penyempitan) makna dengan penekanan pada pemahaman keagamaan yang literalis dan rigid sebagaimana dikemukakan oleh Allan Tylor, Patrick Bannerman, Daniel Pipes, Bassam Tibi dan Bruce Lawrence.
Menurut Taylor, kaum fundamentalis Islam adalah kelompok yang melakukan pendekatan konservatif dalam melakukan reformasi keagamaan, bercorak literalis, dan menekankan pada pemurnian doktrin. Bagi Bannerman, kaum fundamentalis adalah kelompok ortodoks yang bercorak rigid dan ta’ashub yang memiliki cita-cita untuk menegakkan konsep-konsep keagamaan dari abad ketujuh Masehi, doktrin Islam zaman klasik. Sementara Daniel Pipes menyebut kaum fundamentalis Islam sebagai kelompok yang berkeyakinan bahwa syariah adalah peraturan yang kekal dan abadi sepanjang zaman, tanpa perlu ditafsirkan ulang untuk menyesuaikan dengan perubahan zaman. Bahkan Bassam Tibbi mengartikan Fundamentalisme-Radikalisme Islam secara lebih tegas, yakni sebagai kelompok aliran keagamaan yang menolak segala hal baru. Bagi Lawrence, selain menekankan corak rigid, kaum fundamentalis memiliki penegasan otoritas keagamaan sebagai holistik dan mutlak, tanpa memberikan penghargaan kepada kritisisme ataupun pemikiran reduktif.
Uraian di atas menunjukkan bahwa paham fundamentalis Islam mengandung muatan ideologis dan sosiologis. Kaum fundamentalis Islam memiliki keyakinan dan semangat yang sangat kuat mempertahankan hal yang mendasar dalam doktrin keagamaannya, dengan pemahaman yang rigid dan literal. Pemahaman ini kemudian menjadi acuan dan rujukan dalam berfikir dan bertindak, baik secara individu maupun kolektif. Dalam perspektif sosiologis, kelompok ini merupakan fenomena masyarakat Islam yang memiliki orientasi gerakan dalam membangun masyarakat Islam secara kaffah dengan mencontoh pada masyarakat ideal sebagaimana yang tumbuh dan berkembang pada masa awal perkembangan Islam. Ketika fundamentalis Islam sudah mengarah pada gerakan-gerakan keagamaan yang ekstrim dan tanpa kompromi, maka fenomena tersebut sudah mengarah pada radikalisme.
Radikalisme Islam sendiri sebenarnya tidak merupakan masalah, sejauh ia hanya sampai pada pemikiran (ideologi) para penganutnya. Tetapi ketika radikalisme pemikiran bergeser menjadi gerakan-gerakan yang mengarah pada kekerasan dan menghancurkan segala hal yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya maka ia menimbulkan persoalan. Hal ini terutama terjadi ketika harapan kaum fundamentalis-radikal dihalangi dan memperoleh perlawanan dari kekuatan politik dan atau kekuatan lainnya yang mencoba menghadang upaya-upaya yang dilakukan dalam memperjuangkan cita-cita mereka, khususnya dalam penegakkan syariah.
Secara sederhana dapat disebutkan bahwa gejala fundamentalisme-radikalisme Islam yang berkembang di masyarakat ditandai oleh beberapa hal. Pertama, adalah kecenderungan untuk menafsirkan teks secara literal dengan mengabaikan konteks. Kedua, adanya orientasi pada penegakan syariah, atau syariah minded. Ketiga, adanya kecenderungan eksklusif dalam berfikir dan bertindak.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, Jakarta: Paramadina, 1999. Smart, Religion and the Western Mind, New York: State University of New York Press, 1987. Haleh Afshar, “Islam and Feminism: An Analysis of the Political Strategies” dalam Mai Yamani (ed), Feminisme and Islam, New York: New York University Press, 1996. Allan R. Taylor, The Islamic Question in Middle East Politics, London: Westview, 1988. Patrick Bannerman, Islam and Perspective: A Guide to Islamic Society, Politics and Law, (London: Routledge, 1988. Daniel Pipes, In the Path of God: Islam and Political Power, New York: Basic Books, 1983. Bassam Tibi, The Crisis of Modern Islam: A Preindustrial Culture in The Scientific-Tecnological Age, Salt Lake City: The University of Utah Press, 1988. Bruce Lawrence, The Defenders of God: The Fundamentalist Revolt Against the Modern Age, (London: I.B. Tauris), 1990.