Kemunduran Dinasti al-Muwahhidun
Pada: January 27, 2012
Setelah wafatnya Abu Ya’qub Yusuf I, tidak dapat bertahan lama, menjadi penyebab mundurnya dinasti al-Muwahhidun. Sumber sejarah menyebutkan bahwa pasca pemerintahan Abu Ya’qub Yusuf I, yakni ketika Abu Yusuf al-Mansur tampil menggantikannya, akhir pemerintahannya telah menunjukkan tanda-tanda kemunduran bagi dinasti al-muwahhidun ini. Kemajuan yang telah dicapai oleh pemimpin terdahulu, tidak mampu dipertahankan lagi oleh pemimpin sesudahnya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kemunduran Dinasti al-Muwahhidun, antara lain:
Faktor Internal
Salah satu indikasi faktor internal yang menyebabkan terjadinya kemunduran dinasti al-Muwahhidun ini adalah tampilnya pemimpin yang tidak mampu menangkap peluang dan mengakomodasi berbagai trend pengembangan, yakni ketika Muhammad al-Nashr (1184 M) tampil menggantikan pemimpin sebelumnya, dengan usianya yang relatif muda, kurang lebih 17 tahun usianya ketika itu. Ia belum memiliki kapabilitas serta kematangan emosional yang memadai. Padahal untuk menjadi pemimpin sebuah wilayah yang luas, sangat dibutuhkan managerial skill serta pengetahuan dan pengalaman yang cukup, agar memiliki kredibilitas di dalam mengendalikan roda pemerintahan. Akibat dari berbagai kelemahan yang dimiliki al-Nashr tersebut, maka di dalam mengendalikan pemerintahannya lebih banyak dipegang oleh menteri-menterinya yang saling merebut mengambil simpati khalifah yang masih muda, sehingga situasi ini dimanfaatkan oleh lawan-lawan al-Muwahhidun, termasuk sisa-sisa al-Murabithun yang belum dapat dilumpuhkan, kembali melakukan perlawanan. Termasuk munculnya pemberontakan dari Bani Ghaniyyah yang pernah ditaklukkan oleh penguasa sebelumnya, yaitu Abu Ya’qub. Mereka kembali melakukan perlawanan dengan motifnya menjatuhkan kekuasaan al-Muwahhidun.
Di samping itu, kurangnya kontrol dan perhatian pemerintah pusat terhadap daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan, menyebabkan adanya keinginan mereka untuk memisahkan diri. Hal ini menunjukkan bahwa adanya wilayah yang luas yang tidak bisa dimenej dengan baik, justeru sangat berpotensi terhadap terjadinya instabilitas dalam negeri, karena adanya ancaman desintegrasi. Ancaman desintegrasi ini, seperti munculnya Yaghamrasan ibn Zayyan di Tlemen pada tahun 1236 M yang dapat mendirikan kerajaan, Abd al-Wadiyyah yang merdeka di Maghrib. Pada tahun berikutnya Abu Zakariyya sebagai gubernur al-Muwahhidun di Ifriqiyyah menyatakan kemerdekaan dari Tunis dan mendirikan Dinasti Hifsiyyah. Keadaan ini semakin memperparah kondisi dan akhirnya membawa kepada kejatuhan Dinasti al-Muwahhidun ini, yakni pada tahun 1269 M, saat ibu kota Maroko jatuh ke tangan Dinasti Marawiyyah. Dengan berdirinya Dinasti Marawiyyah, maka berakhirlah Dinasti al-Muwahhidun yang pernah jaya dan sempat bertahan selama satu abad lebih.
Faktor Eksternal
Bersamaan dengan kemunduran Dinasti al-Muwahhidun, sebagai akumulasi dari berbagai persoalan sosial politik dalam negeri, pasukan Salib yang telah dikalahkan oleh Salahuddin di Palestina kembali ke Eropa dan mulai menggalang kekuatan baru di bawah pimpinan Alfonso IX. Kekuatan Kristen ini mengulangi serangannya ke Andalusia dan berhasil mengalahkan kaum muslimin. Karena penguasa al-Muwahhidun merasa terdesak, akhirnya meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara (Maroko). Sedangkan Cordova jatuh ke tangan penguasa Kristen pada tahun 1238 M, menyusul Seville jatuh pada tahun 1248 M. Serangan-serangan yang dilakukan pasukan Kristen ini telah menjadikan seluruh Spanyol lepas dari kekuasaan Islam, kecuali Granada.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, Jilid III, Jakarta: PT.Ichtiar Baru van-Hoeve, 1993. C.E.Broswort, The Islamic Dynasties, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul “Dinasti-dinasti Islam”, Bandung: Mizan, 1993.