Pendapat Allamah Thabathaba’i tentang Nikah Mut'ah
Pada: January 06, 2012
Allamah Thabathaba’i mengeluarkan pendapat mengenai nikah mut’ah. Menurut beliau, kejahatan-kejahatan seksual seperti perzinaan, pemerkosaan, aborsi, banyaknya tempat-tempat pelacuran dan tempat-tempat yang berbau perzinaan di berbagai negara di dunia, termasuk negara yang mayoritas beragama Islam, serta berbagai akibat yang ditimbulkannya seperti penyakit AIDS, menunjukkan bahwa satu bentuk perkawinan saja tidak cukup mengatasi persoalan yang sangat kompleks. Dengan banyaknya penyimpangan seksual dan akibat buruk yang ditimbulkannya menurut Thabthaba’i tidak cukup hanya satu bentuk perkawinan saja, yakni nikah permanen, tetapi harus ada nikah mut’ah sebagai alternatif bila tidak sanggup menikah secara permanen.
Nikah mut’ah juga dapat merupakan langkah dasar untuk dapat diteruskan menjadi nikah permanen. Menurut Murtadha Muthahhari, kondisi untuk melakukan nikah mut’ah tidak hanya terbatas pada masa studi. Bagi seorang pria dan wanita yang ingin nikah secara permanen tetapi tidak memperoleh kesempatan untuk saling mengenal dengan baik, maka melakukan nikah mut’ah dalam jangka waktu tertentu merupakan eksperimen. Apabila merasa yakin dan puas dengan pasangannya, mereka dapat mengikatkan nikah tersebut dalam bentuk permanen. Tetapi apabila tidak, mereka dapat berpisah. Di sini nikah mut’ah dipahami merupakan suatu kesempatan untuk saling mengenal. Bila memungkinkan dapat dijadikan nikah permanen, dan bila tidak akan berakhir sesuai kesepakatan semula.
Bagi remaja putera maupun puteri dengan dorongan seksual sangat dirasakan sedangkan belum mampu menghadapi perkawinan permanen, atau masih menjalani studi. Murthadha Muthahhari mengenai nikah mut’ah ini memberikan batasan kepada wanita bahwa puteri tidak boleh menjadi istri dari dua pria sekaligus. Pembatasan semacam ini bagi si wanita akan mewajibkan pula pembatasan bagi pria, kecuali bila jumlah wanita terlalu banyak. Apabila setiap wanita terkait hanya khusus kepada seorang pria saja, dan seorang pria hanya terkait kepada seorang wanita saja, maka hal ini akan memudahkan seorang pria muda dan seorang wanita muda untuk dapat menempuh masa studinya tanpa terjerumus kepada penyimpangan seksual atau menahan diri untuk tidak menikah.
Adapun dasar hukum nikah mut’ah menurut Thabathaba’i adalah firman Allah dalam Q.S An-Nisa (4): 24.
Terjemahnya:
dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki [282] (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian [283] (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu [284]. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Thabathaba’i menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata Istimta’ dalam ayat tersebut adalah nikah mut’ah tanpa diragukan karena ayat ini termasuk dalam kategori ayat-ayat madaniyyah yang terdapat dalam surat al-Nisa’. Jadi kata Istamta’tum dalam ayat diatas merupakan dalil adanya nikah mut’ah. Selanjutnya Thabathaba’i berpendapat bahwa nikah ini telah ada d itengah-tengah para sahabat dan dilakukan oleh mereka. Didengar dan disaksikan oleh Nabi saw. dan nikah ini tidak diungkap kecuali dengan istilah ini, yakni nikah mut’ah. Dengan demikian maka tidak dapat dielakkan bahwa firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 24 itu mengandung makna nikah mut’ah. Kata Istamta’tum menurutnya tidak akan dapat dialihkan kepada makna yang lain, karena istilah ini telah berlaku dikalangan awam dan juga para sahabat.
Kemudian Thabathaba’i menegaskan bahwa hukum nikah mut’ah itu adalah pengertian dari ayat ini. Pengertian ini diambil dari orang-orang terdahulu, yakni dari para sahabat, dari para tabi’in, seperti Ibnu Abas, Ibnu Mas’ud, Lu’ai bin Ka’ab, Qatadah Mujahid as Sa’adi, Ibnu Jubair, Ali Hasan dan lain lain dari para imam ahli al-Bait. Jadi semua para sahabat dan tabi’in yang beliau sebutkan memahami ayat 24 surat an-Nisa itu adalah berbicara tentang nikah mut’ah yang dipahami dari kata Istamta’tum juga dari riwayat-riwayat yang ada.
Riwayat dalam kitab al-Kafi dengan sanad dari Abu Bashir, berkata:
“Aku bertanya kepada Abu Ja’far, yakni Imam Muhammad al-Baqir tentang nikah mut’ah. Ia katakan bahwa mut’ah itu ditemukan melalui ayat al-Quran, yakni ayat 24 surat an-Nisa dimana disebutkan kata Istimta’tum yang dipahami sebagai dasar kebolehan Nikah Mut’ah. Juga dalam kitab al-Kafi disebutkan ada riwayat dari Abdurrahman bin Abi Abdullah, ia berkata: aku mendengar Abu Hanifah bertanya kepada Abu Abdullah (Imam Ja’far as-Shadiq) tentang mut’ah. Beliau berkata, mut’ah yang mana yang hendak kamu tanyakan?. Ia berkata saya telah bertanya kepada anda tentang mut’ah haji. Kemudian beritahukan kepada saya tentang mut’ah wanita, benarkah itu?. Maka Imam Ja’far berkata subhannalah tidakkah kamu membaca kitab Allah Azza wa Jallah? apabila kamu telah bersenang-senang (istimta’tum) dengan salah seorang diantara mereka, maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban (Q.S. An-Nisa (4) : 24). Maka Abu Hanifah berkata: Demi Allah seolah-olah aku belum membaca ayat ini sama sekali.”
Kepustakaan:
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya. Muhammad Husain at-Thabathaba’i, al-Mizalfi Tafsir al-Qur’an, jilid IV Bairut: Muassah al-Islamiy li al-Mathbaat, 1411 H/1991 M. Murthadha Muthadhari, Hak-hak Wanita dalam Islam, terj. M. Hashim, Jakarta: Lentera Basritama, 2001