Pokok-pokok Ajaran al-Maturidiyyah
Pada: January 08, 2012
Seperti yang telah diungkap sebelumnya, ajaran al-Maturidiyyah dinisbahkn dari nama al-Maturidi yang sekaligus sebagai pendirinya. Menurut al-Maturidi, untuk mencapai suatu pengetahuan yang benar, diperlukan tiga macam sumber, yaitu; (1) Pancaindra (al-a'yun), (2) Berita (al-akhbar), dan (3) Akal (al-nadzar). Kebenaran yang paling tinggi dalam urusan agama adalah wahyu, dan bukan akal.
Adapun pokok-pokok Ajaran al-Maturidiyyah adalah sebagai berikut:
Akal dan Wahyu
Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam dibicarakan dalam konteks manakah diantara keduanya, akal atau wahyu sebagai sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan, tentang berterima kasih kepada Tuhan, tentang apa yang baik dan apa yang buruk, serta kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.
Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan menciptakan fitrah bagi manusia untuk mengetahui adanya Tuhan melalui akal, dan Allah menciptakan jalan menuju agama dan mengetahui Tuhan melalui akal dan pendengaran. Akal khussus untuk mengetahui adanya Tuhan sedangkan pendengaran untuk mengetahui syari'at-syari'at dan peribadatan-peribadatan.
Menurut al-Maturidiyyah kecuali kawajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk, akal mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal yang lainnya yaitu mengetahui tentang Tuhan, berterima kasih kepada Tuhan, mengetahui yang baik dan yang buruk adapun kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk harus dikatehui berdasarkan wahyu.
Adapun ayat-ayat al-Quran yang dijadikan dalil oleh Maturidiyyah untuk menopang pendapat mereka adalah:
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar." (QS. Fushshilat: 53)
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan." (QS. Al-Ghâsiyah: 17)
Iman dan Kufur
Dalam masalah iman, aliran al-Maturidiyyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian ini dikemukakan al-Maturidi sebagai bantahan terhadap al-Karamiyyah, salah satu subsekte Murji’ah. Ia berargumentasi dengan ayat al-Quran surat al-Hujarat 14:
"Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami Telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami Telah tunduk', Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu."
Ayat tersebut dipahami al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani oleh kalbu. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah. Al-maturidi tidak sampai disitu. Menurutnya, tashdiq, seperti yang dipahami diatas, harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. kemudian al-Maturidi menambahkan, pernyataan dengan lisan dan amal perbuatan merupakan pelengkap untuk menyempurnakan iman seseorang, sebab imam adalah kepercayaan didalam hati.
Sifat-sifat Allah swt
Al-Maturidi menetapkan sifat-sifat Allah Swt, tetapi ia mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu diluar Dzat-Nya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada Dzat-Nya dan tidak pula terpisah dari Dzatnya. Sifat-sifat tersebut tidak mempunyai eksistensi yang mandiri dari Dzat, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa banyaknya sifat-sifat itu akan membawa banyaknya yang qadim (kekal), sifat-sifat Tuhan itu mulazamah ada bersama dzat tanpa terpisah.
Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawa kepada pengertian anthropomorphisme, karena sifat tidak berwujud yang tersendiri bagi dzat, sehingga berbilang sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang qadim (ta’adduu al-qudama).
Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan suara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baru (hadis). Al-quran dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baru (hadis). Kalam nafsi tidak bisa kita ketahui hakekatnya dan bagaiman Allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak dapat kita ketahui.
Al-Maturidi menerima sesuatu yang disifatkan Allah kepada diri-Nya sendiri, baik berupa sifat maupun keadaan. Sekalipun demikian, ia menetapkan bahwa Allah maha suci dari antropomorfisme (menyerupai bentuk manusia) dan dari mengambil ruang dan waktu. Dalam hal ini penulis memahami bahwa kalam Tuhan menurut paham al-Maturidi hadis (baru), hanya saja dia tidak mengatakan makhluq sebagaimana pendapat Mu’tazilah.
Pengutusan Rasul
Menurut pandangan al-Maturidiyyah pengutusan rasul merupakan hikmah dari Allah swt, dengan meletakkan argumentasi-argumentasi sebagai berikut:
Sekiranya Allah menciptakan badan tanpa menjelaskan apa yang dikomsumsinya maka penciptaan tersebut akan sia-sia dan tidak ada yang sia-sia bagi Allah, maka harus mengutus rasul.
Kebutuhan manusia akan Syari’at yang mengatur kehidupan dan kegemaran-kegemaran mereka, karna setiap manusia menginginkan tercapainya semua keinginan-keinginannya, maka harus ada peraturan yang mengatur hal-hal tersebut, maka dengan ini perlu adanya pengutusan rasul
Allah Swt menciptakan akal yang kecenderungnnya kepada kebaikan dan menjauhi keburukan karena sebagaimana diketahui akal tidak bisa menjalankan kebaikan dan meninggalikan keburukan, maka akal membutuhkan kepada keterangan akan siapa yang mengadakan kebaikan dan keburukan tersebut dan itu diperlukan pengutusan rasul. Pandangan al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan rasul ketengah-tengah ummatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.
Pelaku Dosa Besar
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar tidak kafir dan tidak kekal dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal didalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal didalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad.
Melihat Tuhan
al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh al-Quran, antara lain firman Allah dalam surat al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri”.“Kepada Tuhannyalah mereka Melihat”.
Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak diakhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak diakhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan diakhirat tidak sama dengan keadaan didunia.
Perbuatan Manusia
Menurut al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya. Dalam hal ini, al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya dalam diri manusia dan manusia bebas memakainya. Daya-daya tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan menusia. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan menusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian, kerena daya diciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia.
Dalam masalah pemakaian daya ini, al-Maturidi membawa paham Abu Hanifah, yaitu adanya masyi’ah (kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak Tuhan, tetapi ia dapat memilih yang diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya, dengan demikian, berarti manusia dalam faham al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.
Kepustakaan:
Imam Muhammad Abu Zahra, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing House 1996. Ahmad Hanafi, Teologi Islam, Jakarta : Bulan Bintang 2001. Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah yang diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dengan judul Aliran dan Teori Filsafat Islam , Jakarta: Bumi Aksara. M.M.Syarif (edit), History of Muslim Philisophy, Wiesbaden, Otto Harrassowits, 1963. Sayyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Razak, Rasihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia 2007. Abu Bakar Aceh, Perbandingan madzhab Ahl al-sunnah wal Jama'ah, Jakarta: Yayasan Baitul Baal. Ali abdul Fatah al-Magribi, Imam ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah Abu Mansur al-Maturidi wa arouhu al-Kalamiyyah, t.tp: Matba'ah al-Da'wah al-Islamiyyah, 1985. M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, Jakarta: Penamadani 2003. Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta 1997. Mahmud Ahmad Khafaji, Dirâsât ‘Aqdiyyah fi Fikr al-Imam al-Ghazali al-Qathbain al-Tsâlits wa al-Râbi’ min al-Iqtisod fi al-I’itiqad.