Sejarah Perkembangan Hermeneutika
Pada: January 26, 2012
Perkembangan hermeneutika dari diskursus teologi ke pembahasan filsafat bersamaan dengan perubahan pandangan hidup masyarakat barat moderen dan post moderen, abad ke 18 dianggap sebagai awal priode berlakunya proyek modernitas, yaitu pemikiran rasional yang menjanjikan pembebasan dari irrasional mitologi, agama dan khurafat. Inilah babak sekuralisasi, yang mengarah kepada desakralisasi ilmu dan intitusi sosial.
Ilmu diletakkan berlawanan dengan agama yang dianggap penyebab kemunduran kebuntuan perkembangan kehidupan manusia. Dampak semua itu melahirkan berbagai derekontruksi dalam wacana religius yang melumpuhkan sendi-sendi agama, seperti, yang dimaksud dengan Tuhan bukan lagi yang Maha kuasa, tapi telah berubah menjadi akal kolektif, jadi Tuhan berada dalam akal manusia, bukan diluarnya, medium komunikasi Tuhan bukan lagi dalam bentuk wahyu, tapi tuhan menyampaikan pesannya kepada ciptaannya lewat bahasa universal. Ia berbicara dengan manusia dengan bahasa bangsanya. Pada meliu pemikiran inilah makna hermeneutika berubah menjadi metodologi filsafat.
Dalam suasana iklim ini, muncullah seorang teolog dan filosof yang berkebangsaan jerman, friedrich Schleirmacher (1768 - 1834), ia diedintikkan sebagai babak baru dalam makna hermeneutika, Ia dianggap sebagai filosof sekalipun ia bekerja sebagai pendeta, ia juga dikenal sebagai bapak hermeneutika moderen, karena ia adalah filosof jerman selalu memikirkan tentang hermeneutika, ia juga pendiri kristen protestan liberal. Ia pertam-tama meletakkan sebuah teori universal dalam takwil yang tak terbatas mencakup teks-teks keagamaan, kemudian menformat dalam sebuah istilah lingkaran setan hermeneutika Hermeneutic Circle, yang berarti sebuah bagian tak bisa dipahami kecuali dalam kerangka kully (universal), sebuah kalimat tak bisa dipahami kecuali melibatkan konteks jumlah atau ibarat yang dianggap bagian darinya, begitupun tak mungkin memahami satu ibarat atau jumlah selain dari sela kalimat-kalimat yang menbentuknya, jadi pemahaman disini adalah konklusif dari persiteruan dan perebutan makna secara terus menerus antara partikel dan universalitas atau kully, lingkaran ini menurutnya tak boleh terabaikan dalam setiap hal yang terkait dengan pemahaman, karena itu ia menganggap bahwa memungkinkan bagi kita (sipembaca), memahami pengarang yang hidup pada masa lampau dengan lebih baik ketimbang pemahaman sipengarang itu sendiri kepada subyektifitasnya, karena kita lebih mampu melihat sipengarang dalam konteks histories yang lebih global dan universal dari pada konteks pengarang itu sendiri.
Disamping teori diatas, friedrich schleiermacher juga mangajukan teori pemahaman ketata bahasaan (grammatical understanding). Jadi kedua teori ini, schleiermacher bertujuan untuk, yang secara oprasionalnya merupakan suatu kerja rekontruksi, artinya hermeneutika bertugas merekontruksi pikiran pengarang.
Tujuan pemahaman bukanlah makna yang diperoleh dari dalam materi subyek, tapi lebih merupakan makna yang muncul dalam pandangan pengarang yang telah direkostruksi tersebut. Jadi interpretasi yang benar, menurut teori Schleiermacher, tidak saja melibatkan pemahaman konteks kesejarahan dan budaya pengarang tapi juga pemahaman terhadap subyektifitas pengarang. Jika kesadaran pengarang di lihat dalam konteks cultural yang lebih luas, maka ia (interpreter) dapat memahami pengarang lebih baik dari pengarang memahami dirinya sendiri. Teori tentang interpretasi psikologis banyak mendapat kritikan karena subyektifitasnya.
Kemudian mucullah Wilhelm Dilthey (1833-1911), seorang filosof, kritikus sastera, sejarawan asal jerman. Menkritik Schleirmacher, bagi dia hermeneutika adalah “ tehnik memahami ibarat (redaksi) tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan ekspresi dari pengalaman hidup masa lalu. Untuk memahami pengalaman tersebut interpreter (mufassir) harus memiliki kesamaan yang intens dengan pengarang, bentuk kesamaan yang dimaksud merujuk kepada sisi psikologiy Schleiermacher. Sekalipun ia menolak asumsi Schleimeirmacher bahwa setiap hasil karya pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran pengarang. Ia menganggap asumsi ini anti-historis, sebab ia tidak menpertimbangkan pengaruh eksternal dalam perkembangan pikiran pengarang. Selain itu, Dilthey juga mencoba mengangkat hermeneutika menjadi suatu disiplin ilmu yang memisahkan ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam, dan mengembangkannya menjadi metode-metode dan aturan-aturan yang menentukan obyektifitas dan validitas setiap ilmu.
Kemudian ide ini mendapat dukungan hangat dari seorang ahli sejarawan italia, yang bernama Emilio Betti, jadi Dilthey mengaggap bahwa hermeneutika universal memerlukan prinsip-prinsip epistemologi yang mendukung pengembangan ilmu-ilmu sosial.
Selanjutnya martin heidegger (1889-1976) mengembangkan pendekatan hermeneutika Delthey sebagai dasar ilmu kemanusiaan, kearah kajian ontologis, jika kajian historis Delthey melibatkan kesadaran tentang kehidupan dalam konteks kesejarahan, Heidegger menggabungkan kajian tentang makna kesejarahan dengan makna kehidupan, baginya, teks tidak cukup dikaji dengan kamus dan grammar, ia memerlukan pemahaman terhadap kehidupan, situasi pengarang dan audiennya. Bukan saja heidegger yang lahir dengan interpretasi dengan ontologisnya, tapi Hans-Gorg Gadamer.juga. Baginya, hermeneutika bukan sebagai metode, sebab pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis. Maksudnya, kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode tapi melalui dialektika, dimana lebih banyak pertanyaan dapat diajukan, ini dapat dipahami sebagai filsafat praktis. Dalam proses memahami teks selalu didahului oleh pra-paham sang pembaca dan kepentingannya untuk berpartisipasi dalam makna teks. Jadi mendekati teks itu harus dengan seperangkat pertanyaan atau dengan potensi kandungan makna dalam teks. Jadi dengan demikian kita memasuki proses pemahaman yang terkondisikan oleh realitas sejarah. Jika para interpreter bible mencoba masuk dalam teks asli dengan maksud untuk memahami teks tersebut sesuai maksud penulisnya, Maka hermeneutika menurut Gadamer adalah interpretasi teks sesuai dengan konteks ruang dan waktu interpreter.
Kemudian perkembangan terakhir bagi hermeneutika yang signifikan untuk kita sebutkan disini adalah, Jurgen Habermas (1929) dalam teori kritik sosial, ia menganggap hermeneutika Gadamer kurang memiliki kesadaran sosial yang kritis. Kalau bagi Gadamer pemahaman didahului oleh pra-penilaian, tapi bagi Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan sang interpreter, dan khususnya komunitas-komunitas interpreter yang terlibat dalam interpretasi. Jadi inti hermeneutika Habermas adalah terpusat kritiknya terhadap distorsi-distorsi dan propaganda ideologi yang dianggap tirai untuk terjadinya komunikasi dan kontinyiutas antara pengarang dan sipembaca. Jadi hermeneutika Habermas adalah hermeneutika kritik sosial, sebagai kecendrungan menuju apa yang disebut hermeneutika syakk (hermeneutika ragu-ragu dan curiga). Jadi turats (karya-karya klasik) yang tampil secara pemahaman dianggap poros pijakan efektief dalam pendekatan Gadamer menjadi problem krusial. Bukan saja tidak menbolehkan komunikasi yang kontuniunitas orisinal malah menjadi penghalang secara kordinatif.
Seorang katholik filosof kelahiran perancis yang bernama Poll Ricoeur(1913-), ia banyak sepakat dengan Gadamer, khususnya tujuan-tujuan hermeneutika, sekalipun corak pendekatan-pendekatanya lebih didominasi oleh bentuk synthetic (tiruan), desebabkan karena ia meggabung banyak kecendrungan yang berbeda-beda pada abad ke 20, utamanya struktural (binyawy), ilmu tentang simbol (alegori), fisafat sastera Anglo-Amerika. Dalam teori interpretasinya ia mencoba mencari integrasi dialektis dari dikhotomi Dilthey, yaitu penjelasan (erklaren) dan pemahaman ontologis. Ricoeur berangkat dari perbedaan fundamental antara paradigma interpretasi teks tertulis (discourse) dan dari percakapan (dialogue), Teks berbeda dari percakapan karena ia terlepas dari kondisi asal yang yang menhasilkannya, niat penulisnya sudah kabur, audiennya lebih umum, dan refrensinya tidak dapat lagi dideteksi. Konsep yang utama dalam pandangan Ricoeur, adalah bahwa begitu makna obyektif di ekspresikan dari niat subyektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya menurut pandangan hidup (worldview) pengarang, tapi juga menurut interpretasi pandangan hidup si pembaca.
*Berbagai Sumber