Tujuan Utama Penetapan Hukum dalam Islam
Pada: January 11, 2012
Agama merupakan persatuan akidah, ibadah, hukum dan undang-undang yang telah disyariatkan oleh Allah swt. untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (hubungan vertikal) dan hubungan antar sesama manusia (hubungan horizontal).
Agama Islam diarahkan kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki penciptaNya yang maha bijaksana. Demikian halnya hukum Islam, juga memiliki tujuan. Tujuan hukum Islam pada hakikatnya adalah tujuan pencipta hukum itu sendiri. Tujuan hukum Islam menjadi arah setiap perilaku dan tindakan manusia dalam rangka mencapai kebahagiaan hidupnya dengan mentaati semua hukum-hukumNya.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa pembuat hukum yang sesungguhnya adalah Allah. Ia tidak membuat sesuatu yang sia-sia. Tetapi Allah mempunyai tujuan dalam mengadakan syariat yaitu untuk manjaga kemaslahatan manusia و ضعت لمصا لح العبا د
Adapun maslahah yang merupakan tujuan Allah dalam syariatNya itu mutlak diwujudkan, karena kemaslahatan dan kesejahteraan duniawi dan ukhrawi tidak akan mungkin dicapai tanpa maslahah, terutama yang bersifat daruriyah, yang meliputi lima hal yaitu pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Al-Syatibi dalam karyanya al-Muwafakat fi Ushul al-Syariah, menyebutkan bahwa dari segi substansi maqasid al-Syari'ah adalah kemaslahatan. Beliau kemudian membagai al-Maqasid kepada dua bagian, Yaitu maksud syari’ (qasdu al-Syāri’) dan maksud Mukallaf (qasdu al-Mukallaf), maksud tesebut kemudian dibagi kepada empat macam:
قصد الشا رع في وضع الشريعة
(Maksud Syari’ dalam menetapkan aturan hukum).
Menurut Imam al-Syatibi, Allah menurunkan syariat tiada lain untuk mengambil kemaslahatan. Konsep maslahah menurut pandangan beliau, dalam hal ini menggunakan kata yang berbeda-beda tetapi mempunyai arti yang sama dengan maqasid al-Syari'ah , yaitu al-maqasid al-Syari'ah fi al-Syariah dan maqasid min syari’ al-Hukm yang berarti hukum-hukum yang disyariatkan untuk kemaslahatan manusia dunia dan akhirat. Pengertian yang diberikan al- Syatibi ini bertolak dari pandangan bahwa semua kewajiban diciptakan oleh Allah dalam rangka merealisasikan kemaslahatan manusia. Tidak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan menurut al-Syatibi sama dengan taklif ma la yutaq (membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan) dan hal ini tidak mungkin terjadi pada hukum-hukum Allah. Pandangan ini diperkuat Muhammad Abu Zahrah yang mengatakan bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan manusia dan tidak satupun hukum yang disyariatkan baik dalam Alquran dan sunnah melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan.
Menurut Ibnu Qayyim, tujuan hukum Islam adalah untuk kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan umat manusia di dunia dan di akhirat. Hukum Islam bersendi dan berasaskan hikmah dan kemaslahatan dalam hidupnya. Syariat Islam adalah keadilan, rahmat (kasih sayang), kemaslahatan dan kebijaksanaan sepenuhnya. Setiap persoalan yang keluar dan menuju keaniayaan, menyimpang dari kasih sayang, menyimpang dari kemaslahatan menuju kemafsadatan, menyimpang dari kebijaksanaan menuju hal yang sia-sia, itu bukanlah hukum Islam.
قصده في وضعها للإ فهام(Maksud Syari’ dalam menetapkan syariahnya adalah agar dapat dipahami).
Pada bagian ini ada dua hal yang sangat penting untuk dibahas yaitu:
Pertama, syariah ini diturunkan dalam bahasa arab, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Yusuf/ 12: 2 yang artinya;
"Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya."
Dalam hal ini Imam al-Syatibi berkata: ”Siapa yang hendak memahaminya, maka dia seharusnya memahami dari sisi lidah arab terlebih dahulu karena tanpa ini tidak mungkin memahaminya secara mantap”.
Kedua, bahwa syariah ini ummiyah, maksudnya untuk dapat memahaminya tidak membutuhkan bantuan ilmu-ilmu alam seperti ilmu hisab, kimia, fisika dan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar syariah mudah dipahami oleh semua kalangan manusia. Apabila untuk memahami syariah ini memerlukan bantuan lain seperti ilmu alam, paling tidak ada dua kendala besar yang akan dihadapi manusia umumnya, yaitu kendala dalam hal pemahaman dan dalam pelaksanaan. Syariah mudah dipahami oleh siapa saja dan dari bidang ilmu apa saja karena ia berpangkal kepada konsep maslahah (Fahuwa ajra ‘ala I’tibari al- Maslahah).
قصده في وضعها للتكليف
(Maksud Syari’ dalam menetapkan syariahnya adalah untuk dilaksanakan).
Hukum syariah yang penuh keberkatan tersebut adalah hukum syariah yang disampaikan kepada orang-orang yang ummi, di antara landasan bahwa syariah ini ummiyah adalah karena pembawa syariah itu sendiri (Rasulullah saw.) Firman Allah dalam Q.S. al- Jumu’ah/ 62: 2. yang artinya:
"Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). Dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata."
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah swt. mengutus Nabi Muhammad saw. dalam keadaan ummi. Olek karena itu untuk memahami maqasid al-Syari'ah, serta mengetahui perintah dan larangan yang terdapat dalam Alquran atau sunnah, seseorang itu tidak disyaratkan harus lebih dahulu mengetahui ilmu sebab akibat dan ilmu pasti.
قصده في دخول المكلف تحت حكمها(Maksud Syari’ menetapkan hukum terhadap mukallaf)
Kenyataan menunjukkan bahwa manusia hidup dalam suatu komunitas, masing- masing mempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang terkadang dalam memenuhi kepentingannya itu terdapat pertentangan kehendak antara satu dengan yang lainnya. Agar masing-masing individu tidak terjadi tindakan yang sehendak hati, diperlukan aturan hidup secara pasti mengikat dan menuntun mereka dalam bertindak. Dengan adanya aturan tersebut yaitu hukum, setiap individu tidak merasa dirugikan kepentingannya atas batas-batas yang layak.
Bagi manusia secara keseluruhan, hukum itu telah ditetapkan oleh Allah swt. adapun maksud dan tujuan dalam menetapkan hukum adalah untuk membebaskan manusia dari keinginan nafsu. Dimaksudkan agar mereka dapat menjadi hamba secara ikhtiar dan bukan secara idtirar (terpaksa). Artinya manusia harus menjadi hamba Tuhan yang taat kepadaNya atas kemauan dan kebebasan sendiri.
Untuk menunjukkan keharusan manusia menjadi hamba secara ikhtiar, terdapat tiga dalil yang menjadi dasar pertimbangan, yaitu:
Ada nash yang tegas menunjukkan bahwa manusia diciptakan Tuhan untuk beribadah kepadaNya dan menaati perintah dan menjauhi laranganNya, sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al- Baqarah/ 2: 21.
Bahwa terdapat nash yang menunjukkan tercelanya orang yang melanggar perintah Allah dan berpaling dari padaNyadisertai ancaman siksaan secara tidak langsung (kelak di akhirat) atas setiap pelanggaran. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al- Nazi’at/ 79: 27-31.
Kenyataan empirik dan tradisi menunjukkan bahwa maslahat keagamaan dan keduniaan tak dapat diperoleh jika kita memperturutkan nafsu. Hal ini disebabkan nafsu dapat membawa pertumpahan darah dan kebinasaan yang merupakan kontradiksi bagi kemaslahatan itu sendiri. Karena itu, manusia sepakat mencela siapapun yang memperturutkan nafsunya, bahkan umat- umat terdahulu yang tidak memperoleh syariat atau yang telah punah syariatnya, berusaha mewujudkan kemaslahatan dengan jalan mencegah orang menuruti nafsunya. Hal itu merupakan kebenaran universal yang diakui oleh naql (al-Quran dan sunnah) dan ‘aql.
Kepustakaan:
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, Ibnu Taimiyah, Al-Siyasah al-Syariyah fi islah al-Ra’i wa al-Ra’iyah, Beirut: Dar al-Kutub al-Arabiyah, t.t. Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos, 1997, Muchtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum, Fiqh Islam, Bandung: Al Ma’arif, 1993, Alaiddin Koto, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.